Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA sudah lama mengenal G-spot. Ini adalah titik sensitif yang berada di bagian atas dinding vagina. Nama G merujuk pada Ernest Grafenberg, ahli ginekologi Jerman yang menemukan titik itu dan mengumumkannya pada 1950. Stimulasi pada titik ini akan meningkatkan gairah seksual pada wanita hingga "titik didih". Maklum, area G-spot memiliki persarafan yang sangat sensitif terhadap senÂtuhan.
Masalahnya, menurut A. Mulia Puguh, dokter spesialis kebidanan dan kandungan Rumah Sakit Husada, Jakarta, sensitivitas G-spot—juga vagina—secara umum bisa berkurang. Selain kondisinya yang tak lagi fleksibel setelah melahirkan, sensitivitas G-spot berkurang karena perubahan hormon menjelang dan saat mengalami menopause. Operasi pengangkatan rahim juga bisa membuat G-spot kurang sensitif karena sebagian saraf di area itu terputus bersama tercabutnya rahim.
Salah satu solusi yang ditawarkan Puguh untuk mengembalikan sensitivitas itu adalah penanaman implan di G-spot. "Cukup dengan operasi kecil dengan risiko komplikasi kecil," kata Puguh di kliniknya di Jalan Gadjah Mada, Jakarta, Selasa pekan lalu. Operasi dengan bius lokal ini hanya membutuhkan 20 menit.
Dalam operasi ini, dokter akan membuat sayatan satu-dua sentimeter di area G-spot untuk memasukkan material implan. Setelah implan dimasukkan, sebuah jahitan di bagian dalam dilakukan. Tujuannya untuk menjamin agar implan tidak berpindah atau copot. Setelah itu, baru dua-tiga jahitan di bagian luar sayatan dilakukan. Begitu rampung, pasien perlu puasa berhubungan seksual sekitar sebulan untuk menunggu luka bekas operasi sembuh.
Puguh menjelaskan, pemasangan implan pada G-spot mulai berkembang di Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Cina dua tahun belakangan. Dokter yang menekuni anti-aging ini mulai melakukan tindakan serupa dalam setahun terakhir. Hingga saat ini, sekitar 30 pasien menjalani pemasangan implan pada titik erotik tersebut dan mengaku puas.
Salah satunya adalah Karina—bukan nama sebenarnya. Umurnya 56 tahun dan harus menjalani operasi pengangkatan rahim karena ada miom (tumor jinak) berdiameter tujuh sentimeter. Operasi dilakukan karena khawatir miom tersebut berubah menjadi ganas. Bersamaan dengan operasi itulah Karina sekaligus menjalani operasi kecil pemasangan implan pada G-spot-nya.
Karina mengaku, sebelum penanaman implan dilakukan, ia sudah mendapat penjelasan tentang manfaat tindakan itu. Ibu dua anak ini setuju karena suaminya, yang kini usianya 58 tahun, masih aktif secara seksual. Warga Jatibening, Bekasi, Jawa Barat, ini merasa perlu mengimbangi keinginan sang suami. Laiknya perempuan normal, karyawati swasta ini juga ingin menikmati hubungan tersebut. Ia pun kerap mendapatkan kepuasan berulang—sesuatu yang tak mudah didapat perempuan seumurnya.
Implan yang dipakai Puguh berbahan polytetrafluoroethylene (PTFE). Ini adalah bahan sintetis yang biasa dipakai dalam operasi plastik untuk membentuk hidung, dagu, bibir, dan sebagainya. Badan Obat dan Makanan Amerika (FDA) sudah menyetujui penggunaan PTFE untuk berbagai tujuan operasi plastik itu. Implan untuk G-spot berbentuk kerucut imut berwarna putih dengan diameter lingkaran bawah sekitar satu sentimeter dan tinggi setengah sentimeter.
Selain implan, di dunia kedokteran berkembang teknik suntik kolagen untuk menggembungkan G-spot. Tujuannya sama, yakni membuat titik tersebut lebih menonjol sehingga gampang terstimulasi saat perempuan berhubungan intim. Teknik yang lazim disebut G-Shot ini dikembangkan pertama kali oleh dokter kandungan asal Los Angeles, Amerika, David Matlock, pada 2002. Penelitian yang dia lakukan terhadap sejumlah pasiennya menunjukkan hasil menggembirakan. Sebanyak 87 persen responden mengaku mengalami peningkatan rangsangan seksual. Setelah tahu hasilnya positif, teknik ini terus berkembang di berbagai belahan dunia.
Di Indonesia, Puguh, yang pernah belajar teknik G-Shot di Amerika, melakukan tindakan itu tiga-empat tahun lalu. Teknik dengan suntik lebih sederhana, yakni dengan memasukkan dua-empat cc kolagen ke area G-spot. Mudah, tapi manfaatnya tidak permanen. Dalam jangka empat-delapan bulan, kolagen akan terserap tubuh sehingga pasien perlu disuntik kolagen lagi. Menurut para ahli, kolagen memang aman bagi tubuh, tapi tindakan berulang-ulang terasa tidak nyaman bagi pasien.
"Akhirnya, teknik suntik saya tinggalkan dan diganti implan yang permanen," ujar Puguh. Meski di Amerika dikembangkan teknik implan, ia memilih belajar ke Korea. Selain lebih murah, teknik ini sangat berkembang di Negeri Ginseng. Tahun lalu Puguh hadir dalam pertemuan ilmiah yang digagas Korean Society of Ginecoplastic Surgery. Dalam acara ini, semua bedah tentang vagina dibahas, termasuk implan pada G-spot.
Selain pemasangan implan, Puguh menambahkan, pada pasien menopause mendapat terapi hormon testosteron untuk mendongkrak sensitivitas G-spot. Mereka juga mendapat tambahan hormon estrogen untuk mengatasi vagina yang kering akibat menopause. Tanpa tambahan estrogen, perempuan tersebut akan kesakitan saat berhubungan seks. Terapi hormon juga diberikan kepada pasien yang diangkat rahimnya dan menerima implan G-spot. Dalam urusan ini, Karina mengaku terapi hormon akan dijalani setahun setelah pemasangan implan. "Sekarang belum," kata perempuan yang sejak tiga tahun lalu memasuki masa menopause ini.
Puguh menyatakan implan G-spot masuk kategori kedokteran alternatif, sehingga belum semua dokter bisa menerimanya. Ia berani menjalankan tindakan itu dengan pertimbangan pasien sepakat menjalani dan tidak mengalami komplikasi. Selain infeksi dan keputihan, komplikasi yang mungkin terjadi adalah implan tersebut mendesak saluran kencing. Meski kasusnya jarang, komplikasi ini bisa ditangani oleh urolog, dokter spesialis yang mempelajari kelainan saluran kemih dan genital manusia.
Sejumlah dokter ahli kebidanan dan kandungan yang dihubungi Tempo mengaku tidak tahu tentang implan G-spot. Hal itu, antara lain, diungkapkan dokter Muharam dan Budi Wiweko dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Pernyataan serupa disampaikan dokter Harrina Erlianti Rahardjo, ahli urologi FKUI-RSCM yang intensif menangani kasus-kasus gangguan seksual perempuan. Ia mengaku belum mendengar pembahasan topik ini dalam forum-forum ilmiah tentang kedokteran seksual. "Menarik, tuh. Saya coba mencari-cari informasi," ucapnya.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo