Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=1 color=#FF0000>TEMPO DOELOE</font><br />Bersua Thatcher di Chesham Place

14 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UCAPAN belasungkawa mengalir dari berbagai penjuru dunia untuk Margaret Hilda Roberts, yang wafat pada usia 87 tahun, Senin pekan lalu. Masih banyak yang mengenang ketangguhan Perdana Menteri Inggris 1979-1990 itu. Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dalam ungkapan dukanya menyebut si Wanita Besi sebagai pemimpin hebat dengan pendirian yang teguh dan kuat.

Gambaran Margaret Thatchermenikah dengan Denis Thatchersebagai wanita kuat seperti kata Lee juga ditemui Bambang Harymurti. Majalah Tempo dalam rubrik Luar Negeri edisi 5 Desember 1992 melaporkan wawancara eksklusif Bambang dengan Thatcher. Wawancara berlangsung di kantor Thatcher di Chesham Place, pusat Kota London, sepekan sebelum Thatcher mengunjungi Indonesia untuk menerima penghargaan dari Persatuan Insinyur Indonesia.

Ketika Bambang memasuki kantor itu, baru beberapa detik berdiri di depan pintu, seorang polisi datang menya­panya dengan tegas, tanpa kehilangan keramahannya. Bambang, yang ketika itu kepala biro Tempo di Washington, segera menjelaskan tujuannya: janji mewawancarai Nyonya Thatcher.

Setelah mengecek janji itu dan tanda pengenal Bambang, si polisi mempersilakannya menunggu di kursi tamu. Tak lama muncul petugas keamanan perempuan membawanya ke kamar kerja Thatcher, yang waktu itu sudah pensiun dari jabatan perdana menteri.

Di ruang tunggu, Bambang menyempatkan membolak-balik berbagai catatan yang ia siapkan. "Sudah sepuluh tahun menjadi wartawan, tapi baru sekarang saya merasa senewen menghadapi sebuah wawancara," kata Bambang. Sejumlah buku yang dibacanya selalu menyebutkan bahwa Thatcher selalu mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh untuk menghadapi suatu acara. Karena itu, dia tak toleran kepada orang yang tak bersungguh-sungguh.

Setelah akhirnya bertemu dengan Thatcher, Bambang membenarkan apa yang ditulis di berbagai buku tadi. "Ia penuh percaya diri. Ia seperti seorang kepala sekolah, suka menggurui," demikian Bambang melapor ke Jakarta.

Mengenakan setelan serba hitam, sang nyonya terlihat berwibawa. Ruang kantornya dipenuhi hiasan foto Perang Falkland—di bawah Perdana Menteri Thatcher, pada 1982, Inggris merebut kembali Kepulauan Falkland dari Argentina—dan foto para menteri di masa kabinetnya.

Walau sudah tak lagi menjabat perdana menteri, nyonya ini tetap sibuk. Ia sering berkeliling dunia memberikan berbagai ceramah. Beberapa saat sebelum wawancara dengan Tempo, misalnya, Thatcher baru saja terbang dari Frankfurt, Jerman. Ia berceramah di depan para industriawan di sana.

Dalam setiap ceramahnya, Thatcher hampir tak pernah lupa menyerang para birok­rat masyarakat Eropa yang dianggapnya kurang demokratis dan kurang menyelami aspirasi rakyat. Dan, seperti biasa, ceramah wanita yang dikenal pembenci sikap kompromistis itu selalu menghiasi halaman koran dan mengisi acara televisi. Ini seperti ketika memberikan sambutan yang menghantam para pemimpin Masyarakat Ekonomi Eropa di Brussel. Thatcher menilai para pemimpin Eropa kurang tegas dalam menyelesaikan kemelut di Yugoslavia, di sisi lain terlalu memaksakan terwujudnya Eropa bersatu.

Mungkin ini pengaruh "jimat" yang selalu berada di tasnya. Dalam bahasa Indonesia, tulisan "jimat" itu kira-kira begini: "Anda tak dapat memperkuat si lemah dengan melemahkan si kuat, Anda tak dapat menolong si miskin dengan menghancurkan si kaya, Anda tak dapat membantu orang dengan cara mengerjakan sesuatu yang seharusnya dikerjakannya sendiri." Itulah kata-kata pidato Abraham Lincoln, presiden dari negara yang sangat dikaguminya: Amerika Serikat.

Dalam wawancara dengan Tempo ini, Thatcher berbicara banyak hal, dari soal mengapa ia bersedia ke Indonesia sampai masalah ekonomi dunia, gerakan Nonblok, dan hak asasi. "Saya selalu tertarik pada kejadian-kejadian di Indonesia, terutama pembangunan industri manufakturnya. Saya juga tertarik melihat bagaimana Presiden Soeharto menyatukan negara besar yang terdiri atas 1.700 pulau itu," kata Thatcher. Wawancara yang semula direncanakan cuma setengah jam itu molor hingga menjadi 45 menit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus