Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Olahraga Para Raja

Polo semakin digemari di Indonesia. Seperti golf, polo bukan sekadar olahraga, melainkan juga menjadi sebuah gaya hidup dan tempat membangun jaringan.

14 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tan Hock melesat di atas kuda cokelat. Ia mengincar bola putih sekepalan yang tergeletak di atas rumput. Pria 66 tahun ini mengangkat tinggi mallet—tongkat bambu dengan batang pemukul di ujungnya. Ketika kudanya sudah mendekati bola, Tan mengayunkan mallet dengan kencang. Sayang, pukulannya meleset. Bola kembali dikuasai lawan.

Pertandingan polo Estancia Jagorawi Cup yang berlangsung di Singapura pada akhir bulan lalu ini boleh saja panas. Tapi di club house yang hanya berjarak sepuluh meter dari lapangan suasananya justru cair, penuh keriaan.

Seratusan penonton yang terpecah dalam kelompok-kelompok kecil asyik mengobrol di bangunan berbentuk teras yang menghadap lapangan. Dengan bir dingin, wine, atau champagne di tangan, mereka seperti tak menghiraukan segala yang terjadi di lapangan, bahkan tak sedikit yang memunggunginya. Sesekali, bila perebutan bola berjalan sengit, baru terdengar sorak-sorai menyemangati.

"Pertandingan polo memang seperti ini, tempat orang-orang bertemu, ngobrol, kadang malah pertandingannya tidak dilihat," ujar Daya Zakir, President Director PT Concepto Polo Indonesia, yang mensponsori Estancia Jagorawi Cup.

Daya adalah salah seorang pentolan olahraga polo di Indonesia. Di atas tanah milik keluarganya di Cibinong, Jawa Barat, lapangan Nusantara Polo Club seluas delapan hektare didirikan pada 2005.

Klub yang didirikan kakak-adik Hashim Djojohadikusumo dan Prabowo Subianto ini bertetangga dengan Jagorawi Golf & Country Club—juga milik keluarga Daya Zakir. Klub itu terletak tak jauh dari pintu keluar jalan tol Jagorawi Km 24. Ini adalah satu-satunya tempat berkumpul penggemar olahraga polo di Indonesia.

Selain empat hektare lapangan rumput, di sini terdapat club house berbentuk bangunan semi-terbuka.

Salah satu anggota klub itu adalah Eliyah Attia, perempuan asal Prancis yang baru memulai polo sejak Agustus tahun lalu. "Olahraga ini membuatku ketagihan," ujarnya di sela latihan, dua pekan lalu. Sore itu ia ditemani seekor anjing Pomeranian jantan yang rajin membuntutinya sejak turun dari kuda.

Salah satu yang membuat ketagihan, olahraga ini bisa menjadi senjata pembunuh stres. "Saat di atas kuda, kamu tidak lagi berpikir tentang masalahmu, pekerjaanmu. Kamu menyatu dan berfokus pada kudamu," kata Del J. Mear, yang telah lima tahun ini ketagihan polo. Mear adalah pria asal Amerika Serikat yang mengelola bisnis di bidang arsitektur di Jakarta."Sewak­tu berebut bola di atas kuda, adrenalin rasanya naik semua," Iman Kusumo, Ketua Indonesia Polo Association, menambahkan.

Lain lagi Rahayu Saraswati, 27 tahun. Salah satu hal yang dikaguminya dari polo adalah kesetaraan gender. Berbeda dengan olahraga lain yang memisahkan pria dan wanita, polo tak mengenal hal itu. "Satu tim bisa terdiri atas laki-laki dan perempuan sekaligus," kata anak kedua Hashim ini.

Satu tim polo terdiri atas empat penunggang kuda. Mereka memperebutkan bola plastik untuk dimasukkan ke gawang lawan. Sangat mirip hoki, hanya pemain polo harus naik kuda. Permainan ini telah dikenal di Persia sejak abad kelima sebelum Masehi. Mereka menyebutnya chaughan, yang berarti tongkat pemukul.

"Polo merupakan olahraga yang awalnya dimainkan para raja dan elite militer dengan kuda terbaiknya," ujar Iman. Bagi mereka, sementara golf adalah rajanya olahraga, polo adalah olahraganya para raja.

Para penakluk Asia—dari Alexander Agung, Genghis Khan, hingga pasukan kerajaan Inggris—kesengsem permainan ini. Pasukan Inggris kemudian mengadopsi olahraga ini ketika menduduki India pada abad ke-19.Hingga kini, keluarga aristokrat Inggris dan negara persemakmurannya, seperti Pangeran William, Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei, dan Sultan Ahmad Shah dari Pahang, Malaysia, aktif bermain polo.

Sekarang tidak harus memiliki darah biru untuk bisa menjajal olahraga ini. Tapi memiliki modal layaknya bangsawan tetaplah wajib. "Sebagian besar biaya tersedot ke kuda," kata Daya.

Harga seekor kuda unggulan yang terlatih dari Argentina mencapai US$ 5.000-250.000 (Rp 50 juta-Rp 2,5 miliar). "Kuda Indonesia juga bisa digunakan untuk polo, asal dilatih," ucap Daya, yang memiliki dua kuda asalkan Manado dan Bandung untuk bermain polo.

Pemain yang memiliki kuda pribadi seperti Mear menitipkannya di istal klub."Biaya perawatan, seperti makan dan obat, bisa mencapai Rp 3 juta per bulan per ekor," kata Daya.Karena mahal, tak semua pemain punya tunggangan pribadi. Banyak yang menyewa dengan biaya Rp 800 ribu-Rp 1 juta per jam.

Jangan membandingkan kuda pemain polo dengan kuda penarik delman. Bagai Arnold Schwarzenegger di masa muda, kuda Argentina ini punya badan sterk, kekar, dengan otot yang menonjol kencang, dan tubuh yang mengkilap. Rambut lehernya dipangkas hingga tersisa satu-dua sentimeter agar tidak mengganggu pemain yang menungganginya.

Latihan khusus mutlak diperlukan, karena kuda polo harus mudah dikendalikan untuk melakukan manuver mendadak, pandai membaca isyarat pemain, pun tak takut beradu badan dengan kuda lain di lapangan.

Sekitar 50 pegawai klub mulai bekerja sejak pukul lima subuh. Dari memberi makan empat kali sehari, membersihkan kandang, memandikan, hingga melumuri kaki kuda dengan es dan leg clay khusus untuk mendinginkan kaki seusai latihan.

Di luar perkara kuda, masih ada peralatan lain yang harus disiapkan pemain, seperti tali kekang, sadel kulit, helm, sepatu bot selutut, dan mallet."Satu set peralatan polo bisa sekitar Rp 10 juta," kata Daya. Sebagian besar masih diimpor. Eliyah, misalnya, membeli helm dengan warna favoritnya, fucshia, di Argentina.

Bukan hanya peralatan, bermainnya pun sering di luar negeri. Para penikmat olahraga ini tak segan pergi bermain ke Thailand, Australia, Singapura, bahkan Argentina, yang disebut sebagai ibu kota polo.

Selain bertemu dengan pemain lain, alasan bermain di luar negeri adalah karena musim hujan yang panjang di Indonesia."Di Indonesia musim polo hanya sekitar tujuh bulan, sementara di Singapura bisa sampai sepuluh bulan," ucap Mear.

Dalam pertandingan di Indonesia, klub tak jarang mengundang sosialita, pejabat, dan pebisnis. Dalam Nusantara Cup 2012, Agustus lalu, misalnya, mantan peragawati Nana Krit, Syahrini juga Basuki Tjahaja Purnama, turut hadir. "Seperti golf, polo bukan sekadar olahraga, melainkan juga menjadi sebuah gaya hidup dan tempat membangun network," ujar Stephan Attia, Co-Founder Concepto Polo Indonesia.

Tapi berani keluar duit saja tak cukup. Keberanian menunggang kuda tetap yang utama. "Sudah ada beberapa teman yang saya ajak, tapi mereka ketakutan begitu ada di atas kuda," kata Daya sambil tertawa.

Ratnaning Asih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus