Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENAYAN tak pernah kehabisan lakon skandal. Korupsi yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat satu per satu terungkap. Partai-partai seperti peserta arisan, menunggu giliran anggotanya terjerat. Bahwa kini Setya Novanto—politikus senior Partai Golkar anggota Dewan tiga periode—disorot, hampir dipastikan ia tidak akan menjadi yang terakhir.
Semua berpangkal pada menggelembungnya kekuasaan Dewan. Menjadi alat stempel kekuasaan Soeharto pada masa Orde Baru, lembaga itu menjelma menjadi pencengkeram pemerintah setelah reformasi. Aneka hal mereka garap. Pada penyusunan anggaran, Dewan bahkan mengurus sampai ke pernik-perniknya.
Di tangan politikus yang mumpuni dan berintegritas, kewenangan luas itu akan dipakai betul mengawasi pemerintah. Yang kini terjadi, kekuatan mahabesar Dewan justru lebih banyak digunakan anggotanya untuk lobi-lobi di bawah meja. Hasilnya, 65 politikus dari berbagai partai politik terjerat aneka perkara korupsi sejak tujuh tahun lalu. Mereka terbukti menyelewengkan kekuasaan—termasuk jual-beli dukungan pada pemilihan pejabat dan penilapan dana dalam penyusunan anggaran negara.
Setya Novanto masuk Senayan pada Oktober 1999, bersamaan dengan mengembangnya kekuasaan Dewan. Ia pernah dituduh membobol Bank Bali bersama A.A. Baramuli dan Tanri Abeng, tokoh-tokoh dalam lingkaran dalam pemerintahan B.J. Habibie. Mereka menjadi obyek pemeriksaan Panitia Khusus Dewan periode 1997-1999, yang dibentuk untuk menyelidiki perkara itu. Toh, Setya lolos dari skandal pembobolan bank melalui rekayasa hak penagihan utang ini.
Sang pengusaha segera menjadi tokoh penting Partai Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat. Ia terpilih kembali pada 2004 dan 2009 dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur. Tiga tahun lalu, ia ditunjuk menjadi ketua fraksi pemilik 106 kursi dari total 560 anggota Dewan. Di struktur kepengurusan partai, ia pun menempati pos strategis, yaitu bendahara umum. Dalam posisi-posisi itulah ia diduga memainkan peran pada pembengkakan anggaran Pekan Olahraga Nasional di Riau setahun lalu.
Keterlibatan Setya terungkap dari kesaksian terdakwa korupsi proyek Riau, Lukman Abbas. Menurut mantan Kepala Dinas Olahraga Riau itu, Setya memimpin pertemuan yang ia hadiri bersama Gubernur Rusli Zainal. Sejumlah anggota Dewan dari Golkar datang. Bukan kebetulan jika pejabat Riau memilih pintu Fraksi Golkar: Rusli salah satu ketua partai itu.
Pertemuan di ruang Setya itu diduga mengawali pengucuran suap Rp 9 miliar ke Senayan, sebagai upah penambahan dana proyek Pekan Olahraga melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. Dana lalu mengalir ke fraksi lain di Komisi Olahraga. Duit ilegal ini meninggalkan jejak ketika seorang anggota Dewan dari Partai Demokrat mengembalikan jatahnya ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Rusli telah menjadi tersangka perkara ini. Lukman Abbas malah sudah dijatuhi hukuman lima setengah tahun penjara. Walhasil, tak ada jalan mundur bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengusut perkara ini. Putusan sidang untuk terdakwa Lukman bisa menjadi bahan awal menjerat Setya Novanto. Gubernur Rusli Zainal juga sepatutnya memberikan keterangan yang sebenar-benarnya demi membuka skandal atau, paling tidak, membuatnya tidak sendirian menerima hukuman.
Jejak uang yang dikembalikan seorang anggota Dewan ke komisi antirasuah juga sangat penting ditelusuri. Sang politikus perlu dilindungi, agar bersedia menjelaskan sumber uangnya. Ia bisa saja dianggap sebagai "peniup peluit"—atawa whistleblower. Di masa lalu, politikus Agus Condro menjalankan peran ini dalam perkara cek pelawat yang menjerat 26 anggota Dewan periode 1999-2004.
Senayan tak pernah kering dari stori skandal. Hampir bisa dipastikan, skandal proyek Pekan Olahraga Nasional ini bukan yang terakhir. Aktivitas lobi di bawah meja akan meningkat menjelang pemilihan 2014, ketika partai-partai politik memerlukan dana besar untuk mematut diri. Komisi Pemberantasan Korupsi perlu lebih menajamkan pemantauan ke gedung Dewan. Ide menempatkan personel Komisi dalam rapat-rapat penyusunan anggaran layak dijalankan.
Tak kalah penting, masyarakat perlu merekam dan menghukum anggota Dewan yang telah mengkhianati pemilihnya itu. Mereka tidak layak dipilih kembali pada pemilihan umum tahun depan. Kekuasaan besar Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya dipegang oleh politikus-politikus yang jujur dan memiliki integritas. Jika tidak, Senayan akan terus menjadi episentrum korupsi yang menampilkan skandal demi skandal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo