SEORANG lelaki setengah baya duduk di atas bale-bale reot.
Tubuhnya yang kurus itu terguncang-guncang oleh batuk yang
beruntun hebat. Diludahkannya dahak bercampur darah. Di
sebelahnya duduk isteri dan ketiga anaknya yang masih kecil. Di
atas satu-satunya kursi yang ada di ruangan yang pengab itu
duduk ketua RT.
"Kemungkinan besar bapak menderita penyakit TBC," ucap seorang
petugas PPTI (Persatuan Pemberantas Penyakit Tuberkulosa) yang
berjalan mondar-mandir di situ. Petugas itu segera membuka
jendela yang selama ini ditutup supaya, kata mereka, menghindari
masuknya setan dan guna-guna yang membawa penyakit. Adegan di
atas tampak dalam film TBC dapat dicegah dan disembuhkan.
Film yang waktu putarnya 30 menit itu merupakan hasil kerja-sama
antara PPTI dan 3 perusahaan obat. Kopi film tersebut akan
dikirim ke berbagai propinsi yang melaksanakan program
pemberantasan penyakit Tuberkulosa secara luas. Yang berukuran
16mm akan diputar di Puskesmas dan yang 35 mm di gedung bioskop.
PPTI merupakan badan swasta pertama di Indonesia yang
menggunakan film sebagai sarana penerangan kesehatan. Diharapkan
dengan film ini masyarakat "mau memeriksa diri ke Puskesmas bila
ada tanda-tanda penyakit ini," tutur dr A.S. Gunardi, wakil
ketua PPTI.
Rombongan reog BKAK main dalam film ini yang menelan biaya Rp 22
juta. Secara keseluruhan cukup baik. Sayang cara penularan
penyakit tidak digambarkan secara visuil, tapi hanya dengan
ucapan orang dan gambaran kuman TBC saja.
Ada 770 Puskesmas Kecamatan di seluruh Indonesia yang
melaksanakan program pengobatan penyakit Tuberkulosa secara
cuma-cuma. Puskesmas lain masih memungut biaya, Rp 150 untuk
setiap kali kunjungan, lengkap dengan suntik dan obat-obatan.
Keseimbangan Tubuh
Tuberkulosa dapat dicegah dan disembuhkan. Jika berobat secara
tekun, rajin dan teratur, kesembuhan 100% dapat dicapai. Dari
suatu survei di daerah Malang oleh WHO tahun 1962-1965,
diketahui 3-6 di antara 1000 penduduk Indonesia menderita TBC.
Di antara anak-anak 10-14 tahun, ternyata 40% ketularan penyakit
tersebut. Survei yang sama pada daerah yang sama dilakukan 15
tahun kemudian. Ternyata angka tersebut turun 11%. Di daerah
Tangerang, ketika survei diulang 9 tahun kemudian, angkanya
turun 7%.
Pengobatannya dengan suntikan Streptomycine, tablet INH dan
vitamin B6 membutuhkan waktu cukup lama, kira-kira setahun
dengan jumlah kunjungan 122 kali. Streptomycine mempunyai efek
sampingan yang cukup serius. "Obat ini termasuk golongan
ototoxic, merupakan racun bagi alat pendengaran dan keseimbangan
tubuh," tutur dr Hendarto Hendarmin, spesialis THT di Jakarta.
Dokter ini menjelaskan bahwa penderita yang terganggu
pendengarannya akibat obat ini jumlahnya cukup besar. Namun
tidak semua orang menderita efek yang sama.
Pemerintah akan mulai menggunakan paduan ohat-obatan yang
diminum. Jadi tanpa suntikan. Keuntungannya selain tidak usah
disuntik, waktu pengobatannya pun lebih pendek. Sekitar 3-6
bulan saja. Obat baru itu, Rifampicin, akan dicoba di pilot
proyek pada 1-2 Puskesmas di masing-masing propinsi Jatim,
Jateng, Jabar, Bali, Kalbar dan Sumbar.
Walaupun ada kelebihannya, penggunaan Rifampicin bukan tidak ada
bahayanya. Cara pemakaiannya yang tidak tepat dapat
mengakibatkan kuman TBC kebal terhadap obat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini