Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu siang di lantai lima ruang perawatan pasien kanker Rumah Sakit Dharmais, Jakarta. Serombongan perempuan berdandan cantik dengan tubuh meruapkan aroma wangi datang menyambangi pasien satu per satu. Dengan wajah bersahabat, mereka mengajak pasien yang tergolek lemah itu berbincang dan bersenda gurau. ”Kami minta kepada mereka untuk tetap tegar dan punya semangat hidup,” kata Esterina Sutiono, 48 tahun, salah seorang anggota rombongan itu.
Mereka menyempatkan diri mengunjungi pasien di sela seminar tentang deteksi dini kanker payudara di rumah sakit khusus kanker tersebut, Selasa pekan lalu. Ester adalah salah satu anggota Cancer Information & Support Center (CISC), organisasi yang mewadahi sukarelawan kanker. Anggotanya kebanyakan bekas penderita kanker, keluarganya, atau ada juga penderita kanker yang masih berjuang melawan penyakitnya.
Para sukarelawan ini rajin menye-lenggarakan seminar gratis tentang kanker. Pada 23 Agustus nanti, organisasi ini kembali mengadakan seminar gratis tentang kanker secara umum. Mereka terdorong untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kanker karena sebagian besar penderita baru mengetahui penyakitnya setelah stadium lanjut. Akibatnya, pengobatannya menjadi jauh lebih sulit dan peluang untuk menyembuhkannya berkurang.
Pernyataan Ester dibenarkan oleh Dr Rachmawati dari Rumah Sakit Kanker Dharmais. ”Hampir 70 persen pasien datang sudah menderita kanker stadium akhir,” ujarnya. Dia mengatakan kematian akibat kanker yang tergolong tinggi di Indonesia pada umumnya terjadi karena terlambatnya pasien ditangani.
Di dunia, kata Rachmawati, setiap tahun ada tujuh juta penderita kanker yang meninggal. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan setiap tahun ada 6,25 juta penderita kanker baru, dan dua pertiganya ada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Meskipun belum ada data akurat, Departemen Kesehatan memperkirakan penderita kanker di Indonesia enam persen dari populasi atau sekitar 12,5 juta orang.
Angka pertumbuhannya pun tergolong tinggi. Dari 100 ribu penduduk, setiap tahun ada 100 orang yang terkena kanker baru. Artinya, ada tambahan 200 ribuan orang yang terkena kanker setiap tahun. Rumah Sakit Dharmais sendiri pada 2006 menangani 1.231 pasien, dan 36 persen di antaranya penderita kanker payudara. Jumlah itu meningkat terus dari tahun ke tahun. Apalagi Indonesia menghadapi masalah lain: dokter ahli yang masih terbatas jumlahnya.
Itu sebabnya Ester berharap berbagai seminar tadi bisa meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kanker. Muncul pula kesadaran untuk melakukan deteksi dini. ”Jangan sampai mereka mengalami nasib seperti kami,” katanya.
Selain mengadakan seminar, anggota organisasi berbasis sukarela ini setiap pekan berkeliling mengunjungi penderita kanker di rumah-rumah sakit. Awalnya, keramahan Ester dan kawan-kawannya kurang mendapat sambutan hangat. Tak sedikit pasien dan keluarganya yang malah memandang sinis. ”Ibu-ibu kan sehat bugar, tidak sakit seperti kami, pantas bisa ngomong begitu,” komentar sengit itu terucap dari mulut salah seorang penderita kanker payudara.
Toh, para perempuan yang datang berombongan itu tak tersinggung, apalagi lantas naik pitam. Mereka tidak membalas dengan kata-kata, tapi melakukan tindakan nyata. Masing-masing segera membuka kemeja memperlihatkan tubuh bagian atas mereka. Pemandangan yang terpampang membuat para pasien langsung menangis dan minta maaf.
Baru ketahuan perempuan-perempuan yang dikira sempurna itu ternyata bernasib serupa. Mereka cuma punya satu payudara. Satunya lagi tanggal direnggut keganasan kanker. Kesamaan nasib akhirnya membuat pasien percaya dan mau diajak bicara.
CISC bukan satu-satunya komunitas yang peduli terhadap kondisi penyandang kanker. Ada juga Cancerbuster Community, yang berdiri akhir Mei 2006. Anggota komunitas ini hampir semuanya remaja. Mereka bekas penderita kanker yang berhasil sembuh. Tak aneh kalau fokus pelayanan mereka adalah pasien kanker anak-anak.
Mereka juga kerap menjenguk pasien yang dirawat di Rumah Sakit Dharmais dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk memberikan dukungan dan semangat. Terutama buat pasien-pasien kanker yang tak mampu. Sekadar menyediakan telinga untuk mendengarkan curahan hati mereka, sambil tak lupa memberikan suvenir seperti mainan dan komik.
Aksi serupa dilakukan para remaja peduli kanker yang tergabung dalam komunitas Red Link. Walaupun anggotanya bukan bekas penderita kanker, mereka tetap berusaha memberikan dukungan buat teman-teman seusianya yang kurang beruntung. Mereka tak segan mengadakan bakti sosial untuk menggalang dana bagi penderita kanker yang tak mampu. Kesamaan semua komunitas itu adalah mereka mencoba menyalakan semangat pasien yang hampir padam digerogoti kanker.
Mengacu pada pengalamannya sendiri, Ester yakin para penderita kanker tidak cuma membutuhkan pengobatan medis, tapi juga perlu menumpahkan segala unek-uneknya. ”Mereka butuh teman untuk mencurahkan perasaan hatinya. Sebagai sukarelawan, kami berusaha memberikan dukungan agar mereka tidak kehilangan harapan,” katanya. Penderita kanker memang tak cuma menanggung beban secara fisik, tapi juga psikis.
Para sukarelawan ini berusaha membimbing pasien dalam menjalani pengobatan. Sekadar mengingatkan jadwal minum obat dan memberikan semangat bagi pasien yang tengah menjalani kemoterapi dan radiasi, mereka juga mendampingi pasien menjelang dan ketika menjalani terapi.
Tak jarang pula mereka berada di sisi pasien saat ajal menjemput. Mereka tak cuma memberikan dukungan kepada pasien, tapi juga kepada keluarganya. ”Soalnya, tak jarang anggota keluarga jauh lebih stres ketimbang pasien kanker itu sendiri,” ujar Ester, yang sempat divonis menderita kanker payudara stadium II-B.
Selain rajin mengunjungi pasien kanker yang dirawat di rumah sakit, komunitas yang mengusung semboyan ”You Are Not Alone” ini rutin mengadakan pertemuan seminggu sekali. Dalam pertemuan itu, menurut sukarelawan CISC, Benny Samuel, biasanya hadir seorang dokter dan psikolog untuk berbagi pengetahuan. ”Pertemuan itu jadi ajang sharing,” katanya.
Tak aneh bila ajang ini biasanya dipenuhi air mata. Setiap kali pertemuan, ada saja cerita sedih yang diungkapkan. Misalnya kisah perjuangan seorang perempuan penderita kanker yang disodori surat cerai ketika tengah berbaring di rumah sakit. Lewat ajang itu, mereka menguatkan diri satu sama lain. Dengan saling menolong, beban jadi lebih ringan.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo