Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama angin, kedua kaki mengayuh pedal dan mengayuh hidup. Karena itu kereta angin, bagi biker macam Perry H. Josohadisoerjo, bukan untuk sekadar dikayuh. Pada pedalnya, pada rangkanya, pada jeruji kedua rodanya, terletak simbol keseimbangan. Setiap detail sepeda dirancang begitu anggun sempurna.
Sejak kecil, Perry, yang tumbuh di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, sudah menggiatkan kedua kakinya mendayung pedal sepeda. Beranjak remaja, ketika kawan-kawannya sesama anak Menteng sibuk mengendarai motor trail ala Ali Topan, Perry tetap setia pada sepeda. Hobinya bersepeda terus berlanjut sampai dewasa. Tidak keliru bila pengusaha muda ini dinobatkan sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Penggemar Sepeda Jakarta (IPSJ).
Koleksi Perry memang tidak tanggung-tanggung. Di rumahnya yang ada di kawasan Jakarta Selatan, kita bisa menjumpai Le Jeneu, sepeda sport produksi Prancis, yang dibelinya langsung di Paris pada 1983. Harganya? "Lebih dari sejuta rupiah, kurs waktu itu," katanya.
Ada lagi koleksi yang dia banggakan: Colnago Gold C-35, buatan pabrik sepeda legendaris Colnago, Italia. Pada 1997, Perry membeli sepeda limited edition inihanya ada 60 biji di seluruh duniadi sebuah pameran di Inggris. Saat itu, Perry berkisah, sepeda yang di beberapa bagian bersalut emas ini sudah dipesan oleh Clint Eastwood, bintang film koboi yang terkenal itu. Tapi, setelah beradu otot dengan si penjual, Perry bisa memboyong Colnago pulang ke Jakarta. Adapun Clint Eastwood harus bersabar menunggu kiriman sepeda emas yang berikutnya. Perry pun tergolong dalam daftar pendek pemilik Colnago C-35 bersama Paus Yohanes Paulus II dan Clint Eastwood.
Colnago, yang harganya setara dengan mobil BMW seri 7, segera menjadi kesayangan Perry. Si pemilik kerap mengendarainya di Kawasan Niaga Terpadu Sudirman, Jakarta Selatan. Tapi, untuk keamanan, lapisan emas sudah diganti dengan baja biasa. Katanya, "Takut dirampok orang."
Perry tidak sendirian. Ada banyak orang yang terbius asyiknya mengayuh pedal sepeda. Fenomena ini bisa kita saksikan setiap Minggu di Kafe Mak O'om, di Desa Jombang Timur, Kabupaten Tangerang, Banten. Mulai pukul 6 pagi, satu per satu penggemar sepeda mendatangi bangku-bangku kafe.
Di sinilah para biker bertukar cerita. Topik utama adalah penemuan trek atau jalur baru yang menantang, juga perburuan onderdil yang berharga murah. Ada pula yang bersemangat mengisahkan seorang kawan yang mengunjungi pacarnya yang tinggal di Malang, Jawa Timur, dengan bersepeda dari Jakarta. Entahlah, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan kunjungan pacar yang heroik ini. Yochi Hartono, 33 tahun, termasuk penyepeda yang rajin menyambangi Kafe Mak O'om. Bersama sang istri, Yochi mengayuh pedal kereta angin kebanggaannya, KHS FXT PRO US, di jalur cross country Komunitas Jalur Pipa Gas. Sedikitnya 150 penyepeda dari seantero Jabotabek, dari anak-anak sampai manula, tiap akhir pekan meramaikan jalur yang terletak di perbatasan Jakarta-Banten ini.
Komunitas Jalur Pipa Gas, menurut Yosi, dibentuk oleh para pecandu sepeda pertama kali pada 1999. Tak perlu membayar iuran untuk bisa mengayuh sepeda di jalur ini. "Siapa pun boleh," katanya. Tak mengherankan, komunitas ini selalu ramai dan hingga kini telah ada 9 klub yang bergabung. Anggotanya lebih dari 200 orang. Pukul setengah tujuh pagi, setelah ngobrol di Kafe Mak O'om, para anggota lengkap sudah. Touring pun segera digeber di jalur sepanjang 5,2 kilometer ini. Roda menggelinding, debu beterbangan, petualangan dimulai, dan segala beban hidup kontan menguap. Pokoknya, kata Yochi, "Kalau sudah di atas sepeda, bisa lupa segalanya."
Soal jatuh, tergelincir, terguling, nyungsep, merupakan seni tersendiri. "Korbannya dari celana dalam hingga ubun-ubun," tutur Perry Josohadisoerjo. Acara nyungsep tidak membuatnya kapok. Setiap akhir pekan Perry terus melaju di atas sepeda. "Paling tidak, jarak 50 atau 60 kilometer kami tempuh sekali genjot," katanya bangga.
Benar, maraknya pecandu sepeda bukan tren baru. Awal tahun 1990-an, sepeda gunung juga sempat ngetop. Pada era itu, sepeda yang mestinya digunakan di medan perbukitan, off road, sering dijumpai di jalan-jalan raya. Penggemarnya dari opa-oma sampai cucu-cicit. Klub penggemar sepeda pun bermunculan.
Namun, di masa krisis ekonomi, hobi sepeda mengalami periode surut. Maklumlah, nyepeda menuntut pundi uang yang melimpah. "Setangnya saja bisa lima jutaan," kata Yochi. Rangkanya bisa berharga Rp 9 juta. Jika merakit sendiri, total harga komponen bisa mencapai Rp 15-20 juta. Mau beli gelondongan yang sudah jadi juga silakan, harganya Rp 3 juta sampai 50-an juta.
Kisaran harga itu masih tergolong rendah untuk pecandu sekelas Perry. Penyepeda yang satu ini memang khusus kesengsem pada produk buatan Calnago. "Enteng, lagi pula enak dipakai," katanya. Tapi, itulah, ada harga ada rupa. Produk Calnago terentang dari belasan sampai ratusan juta rupiah. Selain mempunyai C-356, Perry juga memiliki Calnago C-40 buatan tahun 2002.
Bagi Perry, muahal-nya harga sepeda tak jadi persoalan besar. Apalagi, setiap detail sepeda kelas limited edition diambil dari bahan kelas wahid dan dirancang khusus untuk kesempurnaan. Rangka Calnago, misalnya, didesain spesial oleh pabrik mobil Ferrari. Kesempurnaan inilah yang dikejar dan diapresiasi oleh seorang Perry. "Saya rela mengorbankan waktu dan uang demi hobi ini," katanya.
Kini, setelah badai krisis ekonomi sedikit berlalu, hobi bersepeda kembali marak. Menurut catatan Polygon, pabrik sepeda, pembeli kereta angin terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Angka peningkatan sekitar 20 persen per tahun. Sebagian dari mereka nyaris tak mempedulikan harga. "Bayangkan, sepuluh tahun lalu sudah banyak penggila yang punya sepeda seharga mobil. Apalagi sekarang ini," kata Ronny Liyanto, Manajer Polygon.
Hobi sepeda yang sehat tapi menguras kocek, menurut Perry, bukanlah sekadar gaya-gayaan. Mengayuh sepeda, bagi bapak tiga anak ini, adalah latihan mental agar bisa mengelola hidup dengan lebih manusiawi. Lagi pula, tambahnya, "Tiap orang kan harus punya hobi." Adalah hobi yang sanggup menjaga keseimbangan emosional dan ketenteraman hidup. Perry menyebut dirinya punya temperamen yang eksplosif. "Daripada meledak-ledak di tempat kerja," katanya, "lebih baik diledakkan saat main sepeda."
Kembali Perry seperti menyerukan lagu wajib bikers:
bicycle...,so forget all your duties, oh yeah.
Agus Hidayat
Para Pemburu Angin
Meluncurlah ke Jalan Singosari di Semarang, Jawa Tengah. Ada sebuah rumah unik di sana, penghuninya ratusan sepeda. Rumah itu memang disediakan Prof. Joetata Harjahardaja, guru besar Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang, untuk tempat tinggal kereta angin. Juga bukan sembarang sepeda yang dipeliharanya, tapi sepeda kumbang. Jumlahnya 154 sepeda kuno plus 20 sepeda jenis lain.
Hobi mengumpulkan sepeda kumbang ini bermula dari kenangan masa lalu. Ketika SMA, Joetata tiap hari mengayuh sepeda kumbang dari dan menuju sekolah. "Rupanya, jadi keterusan," ujar Boma, anak Joetata. Lagi pula, "Saya sudah tua, daripada kena post-power syndrome, lebih baik menjalani hobi ini," ujarnya. Joetata mengaku mengawali koleksinya dengan dua sepeda saja pada tahun 1980-an. "Eh, jadi pengen lagi dan lagi," hingga tak terasa rumahnya penuh kereta angin. Sampai harus disediakan satu rumah khusus berukuran sekitar 14 x 10 meter. Tujuh ruang yang ada, termasuk ruang tamu dan dapur, disesaki sepeda.
Hobi uniknya ini rupanya mendapat banyak simpati. Tidak sedikit warga Semarang yang menyumbang ornamen asli sepeda, seperti bel, sadel, atau pernak-pernik lain. Kendati begitu, Joetata masih tetap harus keliling Jawa untuk berburu. Maklum, jenis sepeda kumbang paling banyak beredar di Jawa. Aksi perburuan ini dilakukannya termasuk di sela-sela berbagai kegiatan mengajar dan proyeknya .
Tak cuma di Jawa. Perburuan dilakukan pula hingga ke Jerman dan Belanda. Saking kepincutnya, sepeda merek Gazelle yang keluaran Belanda ini dibeli Joetata di Jerman. "Ada keunikan, di rantai ada semacam kipas angin," dalih Joetata. Sedangkan dari Belanda, ia membawa sepeda tanpa rantai bermerek Walen. Sejak itu, lebih dari 10 merek dikoleksi Joetata dari berbagai jenis sepeda. Misalnya Raleigh, Womes, dan Lokomotif, juga sepeda gunung merek Mercedes, dan tentu saja sepeda kesayangannya, Gazelle jenis rally buatan tahun 1923.
Awalnya, berbagai omelan dan keluhan keluarga mampir ke Joetata. Ia jalan terus. Belakangan anak-anaknya ikut-ikutan suka, begitu juga istrinya. "Akhirnya mereka menyerah juga," ujar Joetata tergelak. Untuk mengurus sepedanya, kini ia menyewa seorang pegawai. Tugasnya membersihkan dan memompa ban tiap hari, atau memperbaiki bila ada yang tak beres.
Di sela kesibukannya, tiap Minggu pagi, Joetata bersama "geng"-nya biasa nongkrong di Simpang Lima. Setelah sedikit pamer keelokan si kumbang tua miliknya yang tetap mengkilap, sepeda itu digenjotnya keliling kota.
Agus Hidayat, Dian Yuliastuti (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo