Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Saling Lempar Berkas Panas

Berkas kasus kerusuhan 27 Juli dikembalikan lagi. Jaksa dan polisi sama-sama menghindari bola panas.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANJI Inspektur Jenderal Dadang Garnida meleset. Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polri ini pernah menyatakan akan melimpahkan berkas kasus 27 Juli segera setelah pemilihan presiden, 5 Juli lalu. Kenyataannya? Sampai sekarang berkas tersangka Gubernur Sutiyoso dan kawan-kawan belum dikirim lagi ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. "Kami masih perlu memanggil saksi-saksi baru dan menyidik dari awal lagi," kata Brigadir Jenderal Aryanto Sutadi, Direktur I Keamanan dan Transnasional Mabes Polri, Kamis pekan lalu.

Perkara 27 Juli mengapung lagi pada pertengahan Juni lalu, saat tim koneksitas?beranggotakan kalangan polisi dan polisi militer?melimpahkan kasus tersebut ke kejaksaan. Tapi tiga pekan berselang, berkas sudah dikembalikan lagi ke tim koneksitas dengan alasan tidak lengkap.

Kini kepolisian yang kelabakan karena harus menyidik sejumlah saksi lagi untuk menyempurnakan berkas. Kendati telah molor dari jadwal yang dijanjikan, polisi ternyata juga tak ingin berlama-lama memeramnya. Mereka tak mau lagi menjadi bulan-bulan pers dan wakil rakyat. "Kami enggak mau lama-lama memegang berkas kasus itu. Kami ingin juga selesai cepat," kata Aryanto.

Kasus penyerbuan Kantor Pusat Partai Demokrasi Indonesia, 27 Juli 1996, memang bagaikan bola panas. Kini tak ada satu pihak pun yang berani menyimpan kasus tersebut terlalu lama. Setiap menjelang tanggal 27 Juli, polisi sebagai penyidik selalu menjadi sasaran kesalahan karena dianggap mengulur-ulur perkara itu diproses hukum. Bahkan wakil rakyat di Senayan, terutama dari Fraksi PDI Perjuangan, selalu menanyakannya saat rapat kerja dengan Kepala Polri. "Agenda kami selalu menanyakan kasus yang belum tuntas itu," kata Dwi Ria Latifa, anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PDIP.

Hanya, ketika tim koneksitas mencoba mengirim enam berkas kasus 27 Juli ke Kejaksaan Tinggi Jakarta pada pertengahan Juni lalu, kecurigaan muncul. Pertanyaannya, setelah dipendam lama, kenapa baru belakangan ini dilimpahkan. Kandidat presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY termasuk yang bereaksi. Dia menuduh bahwa pemerintah telah memberikan order pada polisi untuk mengangkat kembali kasus 27 Juli. Tujuannya untuk menjegal SBY sebagai calon presiden. Kebetulan, saat peristiwa 27 Juli, calon presiden dari Partai Demokrat itu memang menjadi Kepala Staf Kodam Jaya, di bawah Pangdam Sutiyoso.

Megawati dalam wawancaranya dengan TV7 membantah tudingan itu. Bahkan dia merasa tak enak kalau perkara itu diangkat kembali menjelang pemilihan presiden. Kalangan PDIP pun mengungkapkan hal senada. "Bagi kami, tak ada untungnya membuka kasus tersebut menjelang pemilihan presiden. Biar hukum berjalan apa adanya," kata Sabam Sirait, sesepuh PDIP.

Kenapa berkas tersebut akhirnya dikembalikan lagi? Alasannya, menurut juru bicara Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman, karena kurang lengkap. "Berkas itu tak lengkap secara formal maupun material," katanya. Secara formal, menurut Kemas, ada satu berkas yang berisi tujuh tersangka. "Padahal masing-masing tersangka punya kualifikasi berbeda," katanya.

Contohnya tersangka Sutiyoso. Dia tak bisa disamakan dengan tersangka lainnya. Dari hasil pertemuan antara pihak kejaksaan dan tim penyidik koneksitas, Rabu pekan lalu, akhirnya berkas Sutiyoso disendirikan. Dia dipisahkan dari tersangka lainnya, karena kualitas perbuatannya. Sutiyoso dalam berkas itu dianggap penggerak sekaligus yang memerintahkan aparat keamanan lainnya membekingi penyerbuan.

Dalam pemeriksaan tim koneksitas, diduga Sutiyoso mengerahkan aparatnya untuk mengumpulkan massa dan memerintahkan "menyerbu" ke Kantor PDI. Dia juga dituduh menyuruh massa yang berada di kawasan kantor Gedung Artha Graha di Semanggi naik truk sipil menuju Jalan Diponegoro.

Sebenarnya kejadian delapan tahun silam itu, menurut kesaksian Letjen (Purn.) Suyono (bekas Kasum ABRI), mulai direncanakan setelah diadakan pertemuan di rumah Presiden Soeharto di Jalan Cendana pada 19 Juli 1996. Saat itu Presiden Soeharto di hadapan beberapa petinggi militer dan Polri mengungkapkan keresahannya setelah Megawati Soekarnoputri terpilih sebagai Ketua Umum PDI lewat musyawarah nasional. Soeharto minta "setan-setan gundul" dibersihkan dari kantor partai berlambang banteng itu.

Nah, pada saat penyerbuan itu, Sutiyoso tampak berada di lokasi dengan pakaian sipil.

Sang bekas Pangdam yang kini menjadi Gubernur DKI membantah berada di tempat tersebut untuk memberikan komando penyerbuan. Menurut dia, sebagai Pangdam ia wajib berada di lokasi kerusuhan untuk tahu permasalahan. Kejadian Sabtu pagi, 27 Juli 1996, berbuntut pada pembakaran sejumlah gedung di Ibu Kota, serta menyebabkan 5 orang tewas, 23 orang hilang, dan ratusan luka-luka. Di mata Sutiyoso, kejadian ini dipicu oleh perebutan Kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, antara kelompok pendukung Soerjadi dan pendukung Megawati Soekarnoputri. Aparat keamanan, menurut dia, hanya mengawasi dan menjaga agar efeknya tak meluas.

Kendati Sutiyoso telah membantah keterlibatannya, posisinya yang penting pada kejadian itu tidak bisa dielakkan. Inilah yang membuat berkasnya mesti dipisahkan.

Ada pula syarat material yang belum dipenuhi polisi. Menurut Kemas, hal ini menyangkut kesaksian. Tidak akan kuat jika yang dicantumkan dalam berkas adalah saksi de auditu, saksi yang hanya mengetahui sesuatu berdasarkan kata orang lain. "Saksi yang memenuhi syarat adalah saksi yang melihat, mendengar, atau menyaksikan kejadian secara langsung," ujarnya.

Kelemahan semacam itu mengundang kecurigaan bahwa polisi tak serius dalam memberkas dakwaan. "Sudah diberi petunjuk soal pemisahan terdakwa, ternyata masih saja digabung. Kami enggak mau terima barang yang masih mentah," kata salah seorang anggota tim kejaksaan yang ditemui TEMPO.

Tapi pihak polisi juga tak mau disalahkan. "Kalau saling menyalahkan, kami juga bisa menyalahkan pihak kejaksaan," kata Aryanto.

Petrus Selestinus dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia termasuk yang menyesalkan kembalinya berkas yang sudah dikirim penyidik tim koneksitas. "Padahal saya melihat hasil penyidikan sudah maksimal, tapi selalu dikembalikan. Itu sudah puluhan kali. Pasti ada apa-apanya," kata Petrus. Kecurigaan timbul karena gubernur dan kepala kejaksaan tinggi termasuk dalam musyawarah pimpinan daerah. Sehingga, ada kerisian jika harus memeriksa koleganya.

Untuk memperlihatkan kesungguhan dalam menangani kasus ini, Petrus juga berharap agar tim penyidik koneksitas segera menahan para tersangka, termasuk Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta. "Untuk memudahkan penyidikan, semua harus ditahan supaya adil," katanya. Kalau tidak ditahan, menurut Petrus, tersangka akan berpotensi menghilangkan barang bukti.

Tapi usul semacam itu ditampik oleh Irjen Dadang. Menurut dia, polisi tak dapat langsung melakukan penahanan. "Kami harus sangat hati-hati. Ini masalah sejarah, jangan sampai salah sasaran. Lagi pula, kalau memang bisa di luar, mengapa harus ditahan?" katanya.

Kendati berkas masih ditangani polisi, pihak kejaksaan telah mengantisipasi kemungkinan "bola panas" dilempar kepadanya. Kini Kejaksaan Tinggi Jakarta sudah membentuk tim penuntut umum yang dikomandani Bastian Hutabarat. Dia memang berpengalaman menjadi jaksa penuntut dalam kasus yang sama, dengan terdakwa Kolonel Budi Purnama (bekas Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya), Kapten Suharto (bekas Komandan Kompi C Detasemen Intel), dan dua warga sipil. Mereka telah diadili di PN Jakarta Pusat pada Januari lalu. Sayang, tiga terdakwa bebas, hanya seorang warga sipil yang dihukum penjara dua bulan sepuluh hari. Sekarang, Bastian dibantu lebih banyak anggota dengan harapan bisa membuat dakwaan lebih baik terhadap berkas Sutiyoso dan kawan-kawan.

Di tengah proses pemilihan presiden, pengungkapan kasus 27 Juli memang bisa saja dijadikan komoditas politik. Kendati begitu, publik juga menginginkan agar kasus ini dituntaskan. Itu sebabnya Petrus Selestinus meminta agar penyidik bergerak cepat. Bahkan, jika perlu, dia siap mengajukan saksi dan bukti baru yang diperlukan. "Kasus ini sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi," ujarnya.

Ahmad Taufik, Marta Warta Silaban (TNR)


Perjalanan Berkas Sutiyoso

27 Juli 1996
Terjadi penyerbuan di Kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, yang memicu kerusuhan dan pembakaran sejumlah gedung.

2000
Bekas Pangdam Jaya, Sutiyoso, ditetapkan sebagai tersangka bersama Soerjadi (Ketua Umum PDI) dan Yorris Raweyai (tokoh Pemuda Pancasila)

Agustus 2002
Kejaksaan mengemba-likan berkas tersangka.

14 Juni 2004
Tim koneksitas mengirim lagi berkas Sutiyoso dan kawan-kawan ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Berkas pemeriksaan Sutiyoso dijadikan satu dengan berkas tersangka lain, yakni Kolonel Haryanto (bekas Asintel Kodam Jaya) dan Kolonel Tri Tamtomo (bekas Komandan Brigif 1 Pengamanan Ibu Kota Jaya Sakti.

16 Juni 2004
Tim penuntut umum dibentuk, diketuai oleh Jaksa Bastian Hutabarat.

23 Juni 2004
Berkas dikemba-likan lagi oleh kejaksaan kepada polisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus