Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menggebrak struktur harga obat

Tingginya harga obat sangat ditentukan oleh peran pedagang dan apotek. menkes dr. adhyatma akan menata kembali harga obat. ia meminta pakar ekonomi untuk membuat analisa tentang struktur harga obat.

24 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sebuah pameo menarik tentang obat. Bunyinya begini: "Industri obat sama baiknya atau sama buruknya dengan regulator bisnis obat di suatu negara." Dan di Indonesia, regulator itu adalah Departemen Kesehatan. Artinya, jika Depkes bersih, industri obat juga bersih. Begitu pula sebaliknya. Pameo ini agaknya dihayati benar oleh Menteri Kesehatan dr. Adhyatma, M.P.H., yang telah lama dikenal sebagai seorang tokoh bersih. Tanpa gentar, sejak awal masa jabatannya, Menteri sudah berniat membenahi bisnis obat. Tekadnya bulat sudah. Dalam acara dengar pendapat dengan komisi VIII DPR 15 September lalu, Adhyatma mengakui, harga obat tidak rasional dan perlu ditata kembali. "Harga obat," ujar Menkes, "merupakan satu hal yang sangat kompleks. Untuk itu, Depkes akan melaksanakan "beberapa langkah." Langkah pertama yang dimaksudnya adalah meminta pakar ekonomi untuk membuat analisa tentang struktur harga obat. "Setelah analisa selesai, dan struktur harga dapat diketahui secara mendalam, baru dapat ditentukan alternatif mana yang bisa dipakai untuk menurunkan harga obat," tutur dr. Adyathma. Gebrakan menghadapi tingginya harga obat ini bukanlah yang pertama kali dilakukan Menteri. Juni lalu, Adhyatma membuat keputusan yang menetapkan penurunan harga patokan obat inpres daftar C pengadaannya dilaksanakan melalui tender dan dipakai di puskesmas dan rumah sakit -- sebesar 10-12 persen. Berdasarkan SK itu, panitia tender pengadaan obat di daerah mesti menyesuaikan diri. Dengan begitu, sebuah langkah Depkes, sebagai regulator, sudah terbukti. Dan ini langkah penting, sebab obat esensial merupakan kelompok obat yang paling banyak dipakai rakyat. Kelompok obat esensial yang juga dikontrol Depkes adalah obat inpres daftar A dan B, yang pengadaannya dilakukan langsung oleh BUMN di bawah Depkes, masing-masing PT Indofarma dan PT Kimia Farma. Pada pembukaan Kongres FAPA (Federation of Asian Pharmaceutical Association) ke-12 di Bali pekan lalu, Adhyatma lagi-lagi menyatakan bahwa harga obat -- tidak termasuk obat khusus penyakit yang relatif jarang, seperti penyakit jantung atau kanker -- secara bertahap akan turun sampai 50 persen. "Harga obat untuk rakyat mesti diturunkan. Obat yang dipasarkan oleh apotek juga harus terjangkau oleh rakyat banyak," kata Adhyatma di Bali. Jelas ini berarti bahwa obat nonesensial pun -- yang ada di apotek seluruh Indonesia mesti, dirasionalkan harganya. Sebetulnya, upaya merasionalkan harga obat sudah lama dicanangkan, misalnya dengan pemberlakuan program DOPB (Daftar Obat Program Bersama) Oktober 1986 lalu. DOPB dicanangkan Depkes bersama ikatan-ikatan organisasi profesi yang terkait, seperti Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, dan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Karena obat DOPB memakai nama generik (otomatis tak ada biaya promosi) -- bukannya nama dagang -- maka harganya bisa ditekan sampai 50%. Program ini misalnya juga menyepakati agar apotek mengganti resep biasa (memakai nama dagang), dengan obat sejenis yang ada dalam daftar DOPB, bila pasien kurang mampu. Dan pasien tak perlu khawatir, sebab obat DOPB, yang jumlahnya baru 52 itu, punya kualitas yang sama dengan obat biasa. Tapi sejauh ini semuanya bagai khayalan saja. Langkahnya tidak kelihatan. Sampai Desember 1987, hanya 3% resep di apotek memakai DOPB. Di sebuah apotek di Jakarta, misalnya, hampir tak pernah ada resep obat DOPB. Menurut pengelola apotek itu, sebabnya mungkin karena pasien tidak tahu ada DOPB. "Atau karena takut gengsi bisa turun." Menurut sebuah sumber TEMPO di GP Farmasi, DOPB tak jalan antara lain karena tak adanya promosi. Itulah sebabnya, Menkes merasa perlu menengok kembali DOPB ini. Menurut Adhyatma, untuk perluasan DOPB perlu promosi dan imbauan kepada dokter maupun masyarakat. "Kita perlu kampanye," kata Menteri pada TEMPO, seusai menerima pengurus Gabungan Pengusaha Farmasi yang menghadap di kantornya Senin kemarin. Untuk itu, tentu saja dibutuhkan biaya, karena selama ini -- sebagaimana dikemukakan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan(POM), Drs. Slamet Soesilo -- program DOPB praktis tak punya dana. "Tapi syukurlah, tahun ini kita sudah mendapat anggaran untuk DOPB ini," kata Slamet. Toh bukan hanya itu yang dihadapi pemerintah. Soalnya, obat DOPB (untuk sektor swasta) dan obat esensial (untuk sektor pemerintah) baru sebagian kecil dari seluruh jenis obat yang beredar di Indonesia. Hasil penelitian Ditjen POM November 1987 menunjukkan bahwa sarana kesehatan pemerintah cuma menyedot 24,4% dari jumlah total (semua jenis) obat yang beredar di Indonesia. Penyedot terbesar justru apotek: 49%. Obat-obat di apotek ini, kecuali yang masuk DOPB, dibeli masyarakat tanpa subsidi. Peraturan Menteri tentang penurunan harga obat esensial, misalnya, tidak mencapai kelompok obat ini. Tidak terkontrolnya harga obat memungkinkan harga itu melonjak secara tidak rasional. Untuk sekadar contoh, bisa dilihat, misalnya, pada obat seperti Catapres dan Asthma Bisolvon. Di sebuah apotek di bilangan Matraman, Jakarta Timur, tablet antitekanan darah tinggi Catapres 150 mg dijual Rp 387, sedangkan antiasma Asthma Bisolvon, Rp 194. Padahal, harga netto apotek (HNA) Pedagang Besar Farmasi (PBF) masing-masing adalah Rp 263 dan Rp 132,25. Artinya, secara kasar harga di apotek tadi 47% lebih tinggi (untuk Catapres) dan 46% lebih besar (untuk Asthma Bisolvon) daripada HNA. Belum lagi jika diperhitungkan ongkos tambahan 100 rupiah untuk setiap resep yang diterima apotek, yang kata pengelolanya dipakai untuk biaya administrasi. Di sebuah apotek lain, harga kedua obat itu malah lebih tinggi, yakni Rp 390 dan Rp 195. Meski harga di kedua apotek itu tampak melonjak, toh banyak yang keberatan jika disebut "mahal". Menurut Drs. T. Djoharsjah M.X. dari PT Pharos Indonesia apotek -- kini jumlahnya sekitar 2.051 memang sering dituduh sebagai pengeruk keuntungan yang besar dalam bisnis obat. Padahal, yang ada itu bukan keuntungan (profit margin), melainkan margin usaha yang masih harus dipakai untuk menggaji pegawai, biaya operasional, dan biaya inventory stok obat. "Untuk melayani masyarakat, apotek harus menyediakan stok sekian ribu macam obat. Kita harus melihat turn over dari inventory itu," kata Djoharsjah. Djoharsjah mungkin benar. Cuma repotnya, banyak apotek nakal dan menjual dengan harga jauh di atas HNA. Kalau sudah begini, yang rugi tentu saja konsumen. Menurut konsensus Gabungan Pengusaha Farmasi -- terdiri atas pabrik obat, Pedagang Besar Farmasi (PBF), apotek, dan toko obat -- apotek bisa menerima margin sekitar 40 persen dari harga jual pabrik. Sementara itu, distributor, yang tergabung dalam PBF, menerima sekitar 35%. Setiap pabrik -- menurut konsensus memberikan harga jual pabrik (HJP) pada PBF ditambah pajak. Di PBF harga ini diistilahkan dengan HNA. Apotek yang mengambil obat dari PBF juga dikenai pajak HNA, disebut sebagai HET atau harga eceran tertinggi. HET inilah yang menjadi harga konsumen. Dari HJP sampai HET, harga obat sudah bertambah 75-an persen. Jadi, bila sebuah obat punya HJP Rp 100, di tangan distributor HNA-nya menjadi sekitar Rp 135. Lalu di apotik naik lagi menjadi sekitar Rp 175. Harga seratus tujuh puluh lima rupiah inilah yang dibayar konsumen. Konsensus yang dibuat GP farmasi itu, menurut Dirjen POM, memang perlu dikaji kembali. Mestinya, kata Slamet, biarkan saja pabrik mencari distributor yang paling efisien -- biar lebih kompetitif. Menurut Ketua IDI, dr. Kartono Mohamad, sistem distribusi ini berperan sekali pada peningkatan harga obat. "Apalagi bila dikaitkan dengan kecilnya pasar yang diperebutkan para produsen," ujar Kartono lagi. Sejauh ini, di tingkat distributor, omset obat kita cuma sekitar 530 juta dolar (1986). Bila dibagi dengan 287 pabrik obat, maka setiap industri cuma mendapatkan "kue" sebesar 1,8 juta dolar setahun. Menurut Ketua Bidang PBF, Helmy Attamimi, sekarang ini jumlah PBF di Indonesia ada 1.000-2.500, sebagian di antaranya berada di Jakarta. Menurut sumber lain, ada sekitar 50 PBF yang tak jelas statusnya, dengan pola distribusi yang kacau. Dengan sistem pengadaan obat ala Eropa Continental -- yakni penyaluran obat dilakukan lewat apotek dan toko obat resmi -- rantai distribusi obat di Indonesia menjadi panjang dan dengan mudah bisa meninggikan harga obat. Otomatis, harga yang semakin tinggi menyebabkan daya beli semakin turun. Pada gilirannya, pendapatanpara produsen semakin menyusut. Akibat volume pendapatan yang kecil, pabrik menaikkan harga obatnya (HJP). Mereka tidak berusaha memperbesar volume penjualan, sementara Depkes belum berusaha memperlebar volume pasar itu. Bahkan dengan sangat banyaknya merk obat yang beredar -- 12.606 merk dagang tentu saja usaha pelebaran volume penjualan buat tiap merk obat semakin sulit. "Jika laba tak bisa diperoleh dari peningkatan volume penjualan, manajer perusahaan akan mengatasinya dengan menaikkan harga," kata Kartono. Kesulitan ini masih ditambah dengan kecilnya kapasitas produksi yang terpakai -- hanya 20 sampai 40 persen dari kapasitas terpasang. Alhasil, seperti dikatakan dr. Kartono, terjadilah idle capacity, dan seluruh proses produksi jadi tidak efisien. Repotnya lagi, pihak produsen tidak punya pilihan lain. Menurut Pengurus Pusat GP Farmasi Drs. Wilmar Basry, sekarang ini rata-rata tiap pabrik menghasilkan 50 jenis obat. "Tapi ada beberapa pabrik membuat 250-300 jenis produk," kata Wilmar. Karena terlalu banyaknya merk obat lebih dari 12.000 -- muncullah persaingan tidak sehat. Ini misalnya dilakukan dengan promosi yang tidak etis, atau memberi komisi pada dokter. Repotnya, beban promosi dan komisi ini dimasukkan sebagai komponen harga. Menghadapi keadaan rumit semacam ini, orang jadi bertanya, langkah mana yang mungkin akan ditempuh Depkes. Menurut Dirjen POM, Slamet Soesilo, sektor distribusilah yang bakal jadi prioritas utama. Ini diikuti dengan penyehatan sektor produksi dan apotek. Pada sektor produksi, misalnya, Slamet memperkirakan bahwa kelak setiap pabrik harus membatasi produknya sampai 10-15 merk saja. Jika sekarang sebuah pabrik memproduksi macam-macam, nantinya dia hanya membuat tablet saja. Dengan begitu, jenis dan jumlah merk obat bisa sekaligus dikurangi. Menurut Kartono, ini langkah yang tepat. "Jenis obat mestinya cukup 400-an, dan merknya sekitar 3.000 saja," kata Kartono. Sejalan dengan itu, Kartono dan Slamet sependapat perlunya merjer, beberapa pabrik. "Dengan merjer, pabrik obat yang tidak efisien bisa dihapus," kata Kartono. Lebih jauh, Ketua IDI itu malah menyarankan pengurangan jumlah PBF, serta menambah jumlah apotek seraya mempermudah perizinannya. GLOSARI OBAT ESENSIAL: Daftar obat yang paling diperlukan mayoritas penduduk di suatu negara. Biasanya pengadaannya ditanggung dan disubsidi pemerintah, untuk puskesmas dan RS pemerintah. OBAT GENERIK: Nama obat secara aslinya, sesuai dengan jenis dan rumus kimianya. Bukan nama dagang yang diberikan pabrik. Ibarat tekstil, wol, atau cotton. MERK OBAT: Nama dagang, dari pabrik. Ibarat tekstil: Famatex, Tetoron. JENIS OBAT: misainya, antibiotik, penurun panas, obat anti-asma dsb. OBAT RESEP: Obat yang harus dibeli dengan (pengantar) resep dokter. OBAT BEBAS: Obat yang dijual bebas di apotik dan toko obat. DAFTAR OBAT PROGRAM BERSAMA: sekelompok obat esensial (52 merk) yang disubsidi pemerintah. Syafiq Basri, Linda Djalil, Diah Purnomowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus