Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Harga obat dan "mekanisme pasar"

Mekanisme pasar obat berbeda dengan mekanisme pasar produk-produk konsumsi umum. jika pemerintah ingin menertibkan harga obat, maka yang perlu dibenahi adalah mekanisme pasar obat itu sendiri.

24 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARGA obat tidak akan dikendalikan, tetapi akan diserahkan pada mekanisme pasar. Pernyataan ini dikeluarkan oleh Dirjen Pcngawasan Obat dan Makanan Depkes, belum lama berselang. Bagi saya, yang awam dalam ilmu ekonomi, makna mekanisme pasar di sini adalah mekanisme yang didasarkan pada hukum penawaran dan permintaan. Semakin banyak yang ditawarkan semakin banyak pilihan, semakin murah harganya. Mekanisme pasar semacam itu mudah terjadi pada produk-produk konsumsi umum seperti baju, minuman, rokok, atau bahkan mobil. Di sini, cara memperbesar keuntungan lebih diusahakan melalui perluasan pasar daripada menaikkan harga. Konsumen pun secara langsung dapat mengendalikan harga, karena, kalau dirasa terlalu mahal, ia akan beralih ke merk lain. Tapi pada obat, mekanisme pasarnya berbeda. Pertama, yang menentukan jenis, merk, dan jumlah obat yang harus dibeli bukanlah yang mengeluarkan uang untuk membayarnya. Pilihan atas semua itu, bahkan kapan harus dibeli dan kapan harus dihabiskan, ditentukan oleh dokter. Konsumen yang mengeluarkan uang justru tidak berdaya apa-apa, kecuali membeli obat sesuai dengan resep dokter. Oleh karena itu, dokter merupakan sasaran pemasaran yang strategis untuk obat. Peri laku dokter dalam menuliskan resep atau memberi nasihat tentang obat perlu pula diperhatikan. Sebagai manusia biasa, para dokter tidak mungkin ingat semua merk obat yang beredar, apalagi jika jumlahnya lebih dari 10.000 merk. Mereka hanya mengingat beberapa yang dikenalnya secara baik. Daya ingat inilah yang diperebutkan oleh para penjual obat. Semakin banyak merk, semakin seru perebutan ini. Dan semakin banyak pabrik, semakin ramai persaingan merayu dokter. Malah, bila dipandang perlu, dalil "tujuan menghalalkan cara" akan diberlakukan. Apakah mereka membantu kehidupan para dokter? Itu tergantung. Bila praktek dokter yang bersangkutan laris, ia pasti diperebutkan oleh penjual obat. Tapi bila pasiennya cuma satu dua ia tidak akan diperhatikan benar. Ini berarti, dokter yang hidupnya senen-kemis tetaplah tidak digubris. Perlakuan semacam ini mendorong dokter untuk melakukan segala cara demi memperbanyak pasien, termasuk cara-cara yang tidak etis. Juga, sikap yang lebih mengejar sales (jumlah terjual) daripada market (citra pabrik) tidak memacu perusahaan obat untuk membantu perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia. Kalaupun mereka mengeluarkan uang untuk kegiatan para dokter, uang itu akan selalu dikaitkan dengan jumlah penjualan yang terjadi sesudahnya. Kalau tidak ada efeknya terhadap kenaikan penjualan, nama dokter itu pun dicoret dari "daftar bantuan". Jadi, asumsi bahwa semakin banyak merk dan semakin banyak pabrik akan membuat harga jadi murah tidak berlaku dalam perdagangan obat. Juga, asumsi bahwa banyaknya industri farmasi di Indonesia akan membantu mengembangkan ilmu dan teknologi kedokteran kita tidak pula benar. Kedua, obat tidak dapat dijual di sembarang tempat. Ia harus disalurkan melalui jalur-jalur distribusi tertentu yang jumlahnya terbatas. Dengan demikian, perluasan pasar tidak begitu saja terjadi seperti produk konsumsi lainnya. Jika pasar tidak dapat diperluas, tentu kue keuntungan juga tidak mudah membesar. Maka, cara termudah bagi pabrik obat untuk menaikkan perolehan adalah dengan menaikkan harga. Toh konsumen tidak mempunyai peluang untuk memilih, dan di pihak lain pemerintah juga tidak berniat mengendalikan harga. Ketiga, ada unsur kepercayaan dan gengsi. Konsumen, yang tidak mempunyai banyak peluang untuk memilih, masih beranggapan bahwa mutu obat sebanding dengan harganya. Jika ia pernah mendapat ampisilin seharga 800 rupiah per kapsul, lalu di hari lain mendapat obat yang sama seharga 500 rupiah, ia akan menduga bahwa obat yang kedua itu tentu lebih rendah mutunya. Masyarakat tidak tahu, dalam hal obat, mutu tidak selalu tercermin dalam harga. Akibatnya, pabrik-pabrik obat yang mampu menjual produknya dengan harga rendah cenderung menetapkan harga produknya sedikit di bawah harga merk yang lebih mahal. Selain laba akan lebih besar, masyarakat akan lebih mudah percaya, dan konsumen hampir bisa dipastikan membeli kalau dokter sudah meresepkan. Keempat, semakin laku suatu merk, semakin berani pabrik menaikkan harganya. Dasar pemikirannya, merk yang laku berarti yang paling diingat oleh dokter. Dan sekali diingat, tidak mudah bagi dokter untuk beralih ke pilihan lain. Sehingga, meskipun harga naik, penjualan tidak akan menyusut. Pendek kata, mekanisme pasar untuk perdagangan obat memang berbeda dengan mekanisme pasar untuk produk lain. Jadi, jika pemerintah ingin menertibkan harga obat, tapi juga ingin menyerahkannya kepada mekanisme pasar, barangkali yang perlu dibenahi adalah mekanismenya itu sendiri. Selain itu, adalah perlu menghilangkan faktor-faktor dalam birokrasi pemerintahan, yang membuahkan "ekonomi biaya tinggi" dalam peredaran obat. Langkah pertama barangkali adalah melakukan introspeksi apakah kebijaksanaan dalam pengadaan obat sudah benar atau tidak. Adakah pemberian izin edar suatu jenis atau merk obat, dan pemberian izin membuka pabrik, didasarkan kepada kebutuhan masyarakat ataukah kebutuhan pemilik modal. Tegasnya, betulkah masyarakat kita memerlukan begitu banyak pabrik farmasi dan begitu banyak merk serta jenis obat. Banyaknya merk dan jenis, di samping sulit diingat dokter, juga sukar bagi apotek untuk menyediakannya. Bila disediakan seperlunya saja, akan merusakkan citra, terutama jika ada resep dokter yang terpaksa ditolak. Konsumen akan menuduh apotek tidak lengkap. Sebaliknya, jika mencoba menyediakan selengkap mungkin, berarti modal harus besar, sementara belum tentu ada yang beli. Modal yang menganggur pada obat-obat yang sepi pembeli itu terpaksa dipulihkan melalui pembebanan harga pada obat-obat yang laku. Ide mengurangi obat daftar G juga belum tentu disenangi pabrik obat. Tingginya kepercayaan masyarakat kepada dokter membuat produsen lebih senang memasarkan obatnya melalui dokter, meskipun obat itu tergolong obat bebas. Paling tidak untuk tahap pertamanya. Kelak, kalau sudah siap untuk dipasarkan secara bebas, mereka dapat mengiklankannya sebagai "obat yang dipercaya atau diresepkan dokter kini dijual bebas". Kalimat seperti itu jelas menunjukkan betapa besar kepercayaan masyarakat pada dokter terutama dalam memilih obat -- hingga produsen enggan melepaskan produknya langsung ke pasaran bebas. Banyak cara untuk merapikan mekanisme pasar obat yang khas itu, yang tentulah pakar-pakar di pemerintahan sudah lebih mengetahuinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus