Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mahal dan tidak masuk akal

Harga obat indonesia masih tercatat yang tertinggi di asia tenggara. depkes meneliti indeks harga obat, pengaruh sektor distribusi dalam perdagangan obat & angka konsumsi obat/kapita tahun terakhir.

24 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH harga obat di Indonesia akan tetap tinggi, tanpa bisa diulur tarik lagi? Sampai detik ini, masalah itu belum terpecahkan. Strategi yang pernah digariskan Departemen Kesehatan di masa lalu tiap kali kandas. Harga obat Indonesia masih tercatat yang tertinggi di Asia Tenggara. Pada saat yang sama, tingkat konsumsi obat per kapita di Indonesia justru menurun dan tergolong rendah, bahkan berada di bawah RRC. Kenyataan ini sungguh menyesakkan dada. Berbeda dengan para pendahulunya, Menteri Kesehatan dr. Adhyatma tidak sudi hanya berdiam diri saja. Ia mempertanyakan, dan ia berusaha. Dan sejak awal ia sudah menunjukkan tekad baja. Dikenal pula sebagai pakar kesehatan masyarakat WHO (World Health Organization) -- Organisasi Kesehatan Sedunia Adhyatma tiba-tiba mengambil langkah tidak biasa. Ia merintis pelacakan dari sisi ekonomi. Langkah ini diambilnya sebulan lalu, ketika ia meminta Direktur Jenderal POM Slamet Soesilo mengkonsultasi beberapa pakar ekonomi. Serentak dengan itu juga diinstruksikan untuk meneliti indeks harga obat, pengaruh sektor distribusi dalam perdagangan obat, dan angka konsumsi obat per kapita dalam beberapa tahun terakhir. Salah seorang pakar yang dihubungi, Dr. Prijono Tjiptoherjanto, mengutarakan bahwa banyak hal dalam perdagangan obat terasa tidak masuk akal. Isu tingginya harga obat membuat orang cenderung pada kesimpulan, di sektor industri farmasi telah bertumpuk keuntungan yang berlebihan. Padahal? "Ternyata, tak ada keuntungan yang berlebihan itu," ujar Prijono. "Marginal profit perdagangan obat sekilas kelihatan kecil." Inilah yang membingungkan. Setelah dihitung-hitung, total omset obat yang diperebutkan sejumlah besar industri farmasi, distributor, dan apotek ternyata kecil dan tjdak menguntungkan. Akibatnya, semua pihak merugi. Konsumen harus membayar mahal, sementara produsen dan pedagang tidak cukup beroleh untung. Bagaimana keganjilan seperti ini bisa terjadi? "Inilah yang menjadikan Menteri bertanya-tanya," kata Prijono lagi. Dari penelitian Ditjen POM, terlihat bahwa total omset penjualan obat di tingkat distributor bernilai Rp 710 milyar atau 531 juta dolar per tahun. Jumlah ini diperebutkan oleh 287 industri farmasi, yang meliputi 40 PMA dan 247 PMDN, serta BUMN plus 846 distributor. Dengan kata lain, terlalu banyak pelaku ekonomi yang bersama-sama "mencangkul" pada lahan yang terbatas. Mereka berdesak-desak. Kesan yang sama juga terlihat pada belasan ribu merk obat yang diperdagangan. Pasar obat itu penuh sesak. Menurut hasil pertemuan regional WHO, Desember 1987, terdapat 12.606 merk obat terdaftar di Indonesia. Tidak kurang dari 10.447 merk (82,87%) diproduksi PMDN, sisanya 2.000 merk (15,87%) dibuat oleh PMA, dan sekitar 1,26% adalah obat impor. Seperti halnya pelaku ekonomi, komoditi yang diperdagangkan juga berdesak-desak. Perlukah hal semacam ini dipertahankan? Sebelum menemukan jawaban yang jitu, baiklah dikaji dulu posisi PMDN dan BUMN, yang ternyata kuat tak tergoyahkan. Mereka mendominasi jenis obat yang diproduksi. Kok bisa? PMDN dan BUMN memang mendapat berbagai kemudahan dan proteksi. Pihak pemerintah ataupun swasta yang terlibat di sini pastilah tumbuh dan berkembang karena pompa proteksi. Caranya? Pembuatan obat esensial yang diserap secara teratur, oleh sarana kesehatan pemerintah, misalnya, diberikan pada dua BUMN saja: PT Indofarma dan PT Kimia Farma. Tak aneh lagi kalau kedua perusahaan ini bisa mutlak menentukan hargadan kompetitif dalam memasarkan produknya. Di sektor lain, PMA sekilas berada pada posisi terjepit. Mereka cuma diperkenankan membuat obat-obat yang sulit dan mahal bahan bakunya. Lagi pula, perusahaan multinasional ini terikat pada kebiiaksanaan kantor pusat mereka di berbagai negara. Karena itu, pembelian bahan baku tak bisa mereka lakukan secara sembarangan. Berbeda dengan PMDN yang bisa membeli bahan baku di pasar bebas, PMA harus mendatangkan bahan baku dari pusat industrinya -- sebagian besar di Eropa Barat. Bahan baku ini menjadi mahal karena terkena bea masuk. Lagi pula, sebagai pihak yang berwenang untuk menurunkan harga, Departemen Kesehatan semestinya tidak mengelompokkan bahan baku itu di kolom yang sama dengan obat, yang sudah merupakan barang jadi. Tapi itulah yang terjadi. Ujungnya: ekonomi biaya tinggi. Maka, sangat masuk akal bila dikatakan bahwa harga mahal itu datang dari hulu, dari sumbernya. Obat-obat ini sulit bersaing. Akibatnya, pangsa pasar yang dikuasainya akan kecil pula. Akan mudah diperkirakan, PMDN bisa dengan-mudah mengalahkan perusahaan-perusahaan bermodal asing ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Hasil pengamatan TEMPO dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menunjukkan, justru obat-obat PMA lebih laku. Mereka juga merintis semua pemunculan obat baru. Dan produk-produknya menjadi price leader. Bila obat-obat ini mahal, obat-obat produksi PMDN hampir otomatis mengikutinya. Mengapa dibiarkan saja? Menurut Ketua IDI dr. Kartono Mohamad, dulu Departemen Kesehatan tidak mempunyai kebijaksanaan dalam memberikan izin produksi obat baru. "Izin itu diberikan bukan demi konsumen dan tingkat kebutuhan masyarakat," katanya berapi-api. "Asal membayar, izin pun keluar." Sederhana, bukan? Tapi di balik kelemahan-kelemahannya itu, Departemen Kesehatan tampaknya tetap mementingkan mutu obat. Bersama IDI, mereka membentuk panitia penilai yang ditugasi untuk itu. Anggotanya adalah beberapa farmakolog, yang dengan tetap memonitor hasil penelitian WHO tentang khasiat dan dampak samping obat. Namun, di masa lalu, panitia obat ini tak pernah dikonsultasi. "Entah bagaimana proses pemberian izin itu terjadi, tahu-tahu merk obat yang beredar sudah mencapai 12.000 lebih," kata Kartono lagi. Karena tidak ada garis kebijaksanaan yang tegas, PMDN seperti tak punya orientasi dalam menentukan jenis obat mana yang seharusnya diproduksinya. Departemen Kesehatan juga tidak memberikan pedoman. Maka, obat baru, yang dengan mudah bisa didapatkan izin produksinya, belum tentu laku. Lalu? Sebagian besar PMDN mengikuti saja jejak PMA, yang lebih matang dalam menentukan jenis produk baru. Termasuk bagaimana memasarkannya. Harus diakui, berkat pengalaman berpuluh tahun di negeri asal, PMA selalu unggul dalam memasarkan produknya. Mereka memanfaatkan penjaja -- dikenal sebagai detailmen -- dan brosur, hingga orang-orang itu mampu meyakinkan para dokter. Citra mereka sebagai industri farmasi tampak jauh lebih baik daripada PMDN. "Sekali suatu jenis obat terpaku di kepala dokter, dalam arti kualitasnya dianggap baik, dokter akan terus-menerus menggunakan obat itu," ujar Kartono. Menurut Ketua IDI itu, dokter cenderung tidak bereksperimen dalam memberikan obat kepada pasien. "Dan bagaimana mungkin seorang dokter bisa menghafalkan 12.000 jenis obat berikut semua khasiatnya," ujar Kartono lagi, dengan nada tinggi. Akhirnya, sampailah pada pertanyaan ini "Wajarkah harga obat, langsung atau tak langsung, ditentukan oleh harga pabrik? Juga, wajarkah harga obat dilihat dari harga pabrik? Apakah industri farmasi mengambil untung secara berlebihan? Sulit menemukan jawaban. Tak ada satu pun industri farmasi mau memberikan keterangan. Konon, Departemen Kesehatan pun gagal mengorek informasi. Hanya ada ketegasan dari PMA. Mereka menyatakan tidak membeli bahan baku yang statusnya dropping dari pusat industrinya. PMDN, yang bisa mendapatkan bahan baku di pasar bebas dengan harga lebih murah dan tidak membayar harga paten juga tidak bersedia membuka rahasia perusahaan. Takut keuntungannya, yang kemungkinan besar tidak wajar, diungkit-ungkit. Namun, kedua jenis industri farmasi itu diduga berjalan tidak efisien karena berbagai hambatan. Sejumlah pabrik obat PMA yang terikat berbagai peraturan pada kenyataannya tak bekerja penuh. Konon, hanya 40% sampai 60% dari kapasitas produksi mereka. PMDN, yang sebenarnya punya peluang lebih besar menekan ongkos produksi, juga sulit meraih keuntungan karena kalah di pasar. Harga produk mereka tidak kompetitif karena sama dengan harga obat-obat PMA. Belum lagi akibat sangat tidak efiseinnya sistem produksi. Menurut sebuah sumber yang layak dipercaya, 40% dari industri farmasi berstatus PMDN tidak mampu bertahan dan berada dalam keadaan "pingsan". Buruknya posisi PMDN terlihat dari perbandingan omsetnya dengan PMA. Kendati jumlah PMDN dan jenis obat yang diproduksinya jauh lebih besar, pada kenyataannya omset penjualan PMDN tidak berbeda jauh dari PMA. Pada catatan Ditlen POM, omset PMA pada 1986 adalah Rp 330 milyar, sementara PMDN Rp 347 milyar. Kesemrawutan harga sebetulnya tidak cuma ditentukan industri farmasi, walaupun teoretis merekalah yang menentukan harga netto apotek. Lepas dari sektor industri, harga obat masih harus menjalani lalu lintas distribusi yang tidak kalah rumitnya. Distributor yang berjumlah 846 itu terdaftar dengan berbagai status: distributor tunggal, distributor, dan subdistributor. Pada catatan Ditjen POM, 51 di antaranya malah tidak mempunyai status yang jelas. Distributor yang tergabung dalam PBF (Pengusaha Besar Farmasi) inilah yang menentukan lingkaran pasar obat. Industri Farmasi, menurut ketentuan Departemen Kesehatan, tidak diperkenankan menjual langsung ke apotek atau sarana kesehatan. Di sisi lain, karena industri farmasi dan distributor tergabung dalam asosiasi GP Farmasi (Gabungan Pengusaha Farmasi), dicapai konsensus untuk meratakan keuntungan. Ha! Tidak mereka hiraukan bahwa yang mereka sebut pemerataan usaha itu pada akhirnya benar-benar membebani konsumen. Karena itu, Ditjen POM secara khusus meneliti pola distribusi obat di 27 provinsi, dengan jalan mengirimkan formulir sensus. Penelitian ini dilakukan dengan bantuan seorang ahli dari Bank Dunia. Peta pasar obat kemudian memang terbaca. Namun, yang mengejutkan, penelitian itu tidak berhasil menemukan indeks harga obat. Bagaimana itu mungkin? Dari nilai penjualan di tingkat distributor, bisa terlihat bahwa pasar obat terbesar adalah apotek, menyerap Rp 286.811,035 juta atau 49% dari total penjualan obat. Pada penjualan ke sekitar 2.000 apotek inilah berkumpul berbagai jenis obat mahal. Pasar kedua terbesar adalah sarana kesehatan pemerintah -- rumah sakit pemerintah, poliklinik pemerintah, dan puskesmas. Nilai penjualannya Rp 143.033,973 juta atau 24,4% dari total penjualan -- di sektor ini, porsi obat esensial yang murah terhitung paling besar jumlahnya. Peringkat ketiga diduduki toko obat. Penjualan obat bebas ini mencapai Rp 105.983,811 juta atau 18,1%. Sisanya, penjualan ke sarana kesehatan swasta dan lain-lain, meliputi 8,5%. Pasar yang bisa dikontrol Departemen Kesehatan sementara ini adalah yang berada di jalur sarana kesehatan pemerintah. Pembelinya Departemen Kesehatan sendiri, sementara penjualnya yang utama adalah BUMN. Pasar inilah yang segera menjadi target dr. Adhyatma. Sejumlah indikasi menunjukkan, volume obat esensial dan obat generik -- yang murah -- di sektor ini bisa dengan mudah diperbesar, sementara harganya masih bisa ditekan sampai sekitar 50%. Namun, pasar ini hanya mencakup seperempat dari seluruh nilai obat yang beredar -- tak sampai 25%. Sisanya, pasar yang justru lebih besar dan lebih menentukan nilai konsumsi obat masyarakat, masih harus menunggu. Inilah masalah yang sangat rumit. Angka yang dikumpulkan Ditjen POM menunjukkan, total omset obat mempunyai tendensi meningkat terus-menerus. Pada tahun 1986 nilainya Rp 710.000 juta, pada tahun 1987 menjadi Rp 714.000 juta. Analisa Ditjen POM memperkirakan, tahun 1988 ini angka itu akan naik lagi menjadi Rp 824.464 juta dan di tahun 1989 naik menjadi Rp 907.376 juta. Namun, bila dihitung sebagaimana mestinya, angka-angka ini tidak bicara apa-apa. Di satu sisi kenaikan bisa dikatakan terjadi otomatis, karena harga barang kebutuhan lainnya memang senantiasa naik. Di sisi lain, kenaikan terjadi pula akibat devaluasi karena 90% bahan baku obat masih harus diimpor. Maka, yang menjadi pertanyaan apakah kenaikan nilai penjualan juga menunjukkan kenalkan produksi. Bila produksi ikut naik sejajar, baru bisa dikatakan peningkatan harga obat tergolong wajar. Bila dikaji PDB (Produk Domestik Bruto), justru menurun. Pada tahun 1980 angka PDB per kapita masih US$ 721. Tapi pada tahun 1986 angka itu merosot menjadi US$ 384, dan pada tahun 1987 turun lagi menjadi US$ 305. Bila sebaliknya, jumlah produksi obat tidak naik, bahkan menurun, muncullah jawaban yang sudah diperkirakan. Industri farmasi berikut jaringan distribusinya cuma bisa bertahan, dengan menaikkan harga obat ke tingkat tidak wajar. Indikator lain yang bisa dihubungkan dengan kenaikan harga obat secara tidak wajar adalah angka konsumsi obat per kapita per tahun. Menurut perkiraan Ditjen POM, angka ini memang menunjukkan tendensi menurun. Tahun 1986 angkanya US$ 3.00 dan di tahun 1987 turun menjadi US$ 2.70. Namun, angka ini sulit dipercaya, karena dalam perhitungan ekonomi diperlukan Indeks Harga Obat, yang justru tidak ditemukan dalam penelitian Ditjen POM. Bila dalam perhitungan itu digunakan Indeks Harga Konsumen secara umum, angka konsumsi obat itu ternyata lebih rendah, yaitu US$ 2.42 per kapita pada tahun 1986 dan US$ 1.94 pada tahun 1987. Menurunnya angka konsumsi obat per kapita per tahun jelas menunjukkan semakin buruknya daya beli. Penyebabnya bisa sederhana: karena menurunnya penghasilan secara drastis -- mengingat obat sebenarnya tergolong kebutuhan primer -- atau naiknya harga obat secara gila-gilaan. Selain menurun, angka konsumsi obat nasional itu juga sangat rendah. Bandingkan angka konsumsi obat per kapita per tahun negara berkembang Asia menurut laporan WHO, yang rata-rata US$ 3.00. RRC saja bisa mencapai angka US$ 4.70. Untuk perbandingan, angka Amerika Serikat adalah US$ 70.5 sementara Jepang US$ 92.4. Jangan menyangka angka yang sangat rendah itu merata di seluruh wilayah tanah air. Bila penelitian distribusi obat Ditjen POM dikaji lebih jauh, terlihat pasar obat itu riuh hanya di Pulau Jawa. Sebesar 31,39% diseran DKI Jakarta. 10,73% dijual di Jawa Barat. Persentase di Jawa Tengah dan Jawa Timur masingmasing 14,98%. Di Timor Timur, persentase itu hanya 0,03%. Dengan kata lain, angka konsumsi yang rendah itu mencerminkan daya beli masyarakat di daerah yang tidak terlalu miskin. Entah bagaimana wajah industri dan distribusi obat sebenarnya. Secara umum sekali diperoleh kesan bahwa harga obat sudah mengambil ancang-ancang sejak digodok di hulu, yakni di sektor industri. Melalui berlapis-lapis distributor dan para dokter, harga itu membuat lompatan-lompatan besar, hingga mencapai puncaknya pada apotek. Investasi besar di pihak apotek -- karena harus memenuhi persyaratan pemerintah -- membuat ketinggian harga obat hampir tidak bisa ditawar lagi. Dalam kondisi sekarang, berbagai praktek curang masih juga dilakukan. Menurut sebuah sumber yang layak dipercaya, hampir semua jaringan obat memanfaatkan pasar gelap untuk mengatasi kesulitan cash flow. Di pasar yang tidak memiliki izin memperdagangkan obat resep, semua transaksi dilakukan secara tunai. Dan yang sangat mengejutkan, pabrik obat, bahkan yang PMA, juga melepas produknya ke pasar-pasar ini. Kendati berstatus "bawah tanah" inilah bursa obat yang punya peran besar dalam perdagangan obat. Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus