Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Menghidupkan Hari dengan Kopi

Bagi pecandunya, menikmati kopi enak sudah menjadi gaya hidup. Adanya gerai-gerai kopi ikut membentuk selera publik pada kopi.

11 Mei 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Takarannya selalu ajek dan tepat, setiap hari: tiga sendok teh kopi bubuk dan setengah hingga sesendok teh gula yang ditaruh dalam mug, lalu air mendidih dituangkan di situ. Aroma kopi tubruk yang wangi dan khas serta-merta melayang. Sesudah diaduk, bibir pun menyeruput dan lidah mencecap. Laksmi Pamuntjak memulai harinya selalu dengan "ritual" itu. "Tanpa secangkir kopi, rasanya belum hidup," kata penulis buku Jakarta Food Guide ini. "Saya memilih tidak sarapan ketimbang tidak minum kopi." Sehari Laksmi rata-rata menghabiskan enam cangkir kopi. Mulai suka minum kopi pada usia 16 tahun, Laksmi baru benar-benar bebas menikmati kopi saat tinggal di Perth, Australia. Waktu itu umurnya 18 tahun. Di perantauan itulah, baginya, larangan orang tuanya agar ia menjauhi kopi tak berlaku. Keinginannya untuk menikmati kopi kian kuat karena di Negeri Kanguru itu budaya kafe kopi sudah sangat berkembang, sejak akhir 1980-an. Cerita Farhan, penyiar radio Hard Rock FM, lain lagi. Dia mulai menyeruput kopi sejak SMP. Saat itu dia hanya ingin kelihatan sebagai laki-laki: merokok dan minum kopi. "Meskipun awalnya terasa tidak enak, pahit, lambat-laun saya belajar untuk mengenali kopi yang enak," kata Farhan, yang menyukai kopi tubruk Lampung dan yang berlabel Blackwell dari toko kopi di Inggris. Farhan lalu bertualang dengan kopi. Dia menjelajahi berbagai jenis kopi kategori robusta, arabika, dan kopi luwak. Dia pun sempat berkenalan dengan kopi jagung (kopi dengan campuran jagung). "Cara membuat setiap kopi juga berbeda," kata Farhan bersemangat. "Harus ada takarannya. Tidak terlalu manis, tidak terlalu pahit, dan tidak beracun." Farhan sekarang mulai mengkonsumsi kopi decaf (decaffeinated coffee), yang tanpa "racun" kafein itu. Pengaruh "racun" itulah yang sebenarnya, bagi penggemar kopi, justru menjadi tambahan energi untuk melakukan apa saja. Seperti doping saja. Farhan mengaku tak lengkap jika sebelum siaran tak meneguk kopi. Saking kuatnya kebiasaan penyiar bermata kocak ini minum kopi, sampai-sampai pasangan siarannya, Indy Barens, ikut tertular nyandu kopi. Indy mengaku lemas jika belum minum kopi, saat bekerja. Para penggemar kopi juga paling tak tahan pada godaan aroma kopi yang merangsang (lihat Mengenali Si Bubuk Wangi). Aroma merefleksikan rasa (flavor) kopi. Orang jatuh cinta pada kopi biasanya bermula dari mencium aroma—bisa bernuansa bunga (harum) hingga menguat seperti anggur (keras hingga ke saraf). Saking seksinya aroma kopi, minuman dari biji yang mula-mula ditemukan di Etiopia, Afrika Utara, itu telah menjadi bisnis global yang menggiurkan, nomor dua setelah minyak. Tidak kurang dari 400 miliar cangkir kopi diseruput penduduk dunia setiap tahun. Dalam statistik itu orang Indonesia di luar kategori yang terbesar, bukan peminum kopi kelas berat. Tingkat konsumsinya dalam setahun hanya 0,5 kilogram per kapita. Bandingkan dengan pengkonsumsi di negara lain seperti Finlandia (tertinggi) dengan 22 kilogram per kapita, dan Belanda yang 18 kilogram per kapita per tahun. Di Amerika Serikat penyanyi folk legendaris Bob Dylan malah menyelipkan kopi dalam lirik lagunya, "One more cup of coffee for the road/One more cup of coffee 'fore I go/To the valley below". Padahal, Indonesia termasuk penghasil kopi jenis robusta terbesar di dunia. Nama seperti Sumatera Mandailing, Gunung Gayo (kopi Aceh), Bali, Sumatera Lintong, Jawa, sudah punya penggemar tersendiri. "Indonesia memang tertinggal dalam hal menyerap kebiasaan minum kopi sebagai subkultur," kata Laksmi. Maksudnya, kopi diperlakukan sebagai kopi, bukan lagi sebagai pelengkap (penutup) makanan. Di sini masih jarang orang keluar, berkumpul, hanya untuk menikmati kopi. "Bahkan tidak sedikit restoran menyajikan kopi tidak enak," kata Laksmi. Hal itu tentu saja membuat penikmat kopi menjadi kesal. Tapi, menurut Laksmi, lebih banyak orang tak peduli dengan kopi seadanya saja itu. "Padahal, kalau di Barat, kopi yang ndak enak bisa menurunkan peringkat restoran yang bersangkutan," katanya. Untung saja, dalam dua tahun belakangan ini bermunculan gerai kopi, rantai perusahaan asing seperti Starbucks, Caswell's, Coffee Bean and Tea Leaf, Segafredo. Warung-warung kopi merek "bule" ini ikut berjasa mengangkat minat orang kota pada kopi. Orang kota lebih mengenal jenis sajian kopi seperti espresso, cappuccino, cafe au late, half&half, dan produk-produk kembangan kopi lainnya. "Tempat-tempat ngopi itu merupakan kembangan dari budaya kafe, tapi keberadaan mereka cukup mengangkat minat minum kopi," kata Laksmi. Lihatlah Dakken Coffee and Steak Cafe di Bandung, misalnya. Tempat ngopi di tengah kota ini menempati bangunan gaya Belanda. Interiornya ditata menarik: sofa warna cerah dengan meja, berlatar belakang dinding dengan cat yang serasi. Kafe ini tak hanya menawarkan kopi yang menghipnotis indra, tapi juga kue-kue yang mengandung unsur kopi. Jika sore sudah menjelang, sekitar pukul 16.00, pengunjung memadati Dakken, karena saat itu adalah coffee time. Kafe-kafe yang dikemas seperti Dakken—yang menjamur di berbagai kota besar—menjadi tempat ngopi dan tempat nongkrong yang trendi. Di Jakarta Selatan, di Mal Town Square, kafe semacam itu bahkan berderet, bersebelahan. Di beberapa tempat kebanyakan pengunjungnya adalah orang-orang muda. Laksmi dan Farhan hanyalah sedikit contoh orang muda penikmat kopi. Mereka dari kelas menengah ke atas, bekerja di sektor modern, memiliki teman nongkrong yang sekelas, dan mengalami akulturasi dengan budaya Barat. Mereka tahu benar kefanatikan orang Eropa, Amerika Serikat, dan Australia pada kopi (Starbucks pertama kali dibuka pada 1971 di Seattle, AS; espresso, kopi pekat tradisi Italia, bahkan dikenal sejak 1822). Mereka bisa saja menjadi bagian dari gairah "komunitas" gerai-gerai kopi baru itu. Tapi, sebagaimana pecandu kopi pada umumnya, tujuan mereka tetap satu: kopi yang benar-benar kopi, bukan yang sudah (hampir) hilang rasa kopinya. Bicara tentang kopi enak, ada ilmu dan seni di situ. Menurut Eris Susandi, barista (penyaji kopi, seperti bartender jika di bar) Caswell's, orang mencandu kopi belum tentu bisa menilai kopi. Tapi, jika orang sudah bisa menikmati kopi, akan lebih mudah menilai kopi. "Menilai kopi merupakan bagian dari proses lebih mencintai kopi," kata Eris, yang baru benar-benar mengerti kopi setelah bekerja di Caswell's dalam satu setengah tahun ini. Seperti kata Laksmi, orang bisa saja hanya membeli gaya hidup dengan cara mendatangi gerai kopi keren. Lalu, mungkin mereka bisa menjadi penyuka kopi. Tapi, tetap saja, orang yang sejak semula suka kopi akan tahu benar selera mereka. Farhan, misalnya, akan memesan kopi standar hari itu (coffee of the day) untuk menjajal enak-tidaknya atau cocok-tidaknya kopi di kafe tertentu. "Kopi sudah menjadi gaya hidup jika mereka benar-benar mencari kopi yang disukai, sesuai dengan selera," kata Eris. Jika pilihan sudah tepat, orang bisa melupakan apa saja dan mengingat hanya satu hal: meneguk isi cangkir, seperti kata puisi lama ini:

Jitterbug in my mug
caffeine and adrenaline
no need to think, just drink
drink DRINK!
have some fun and get things done.

Bina Bektiati, Purwani Diyah Prabandari (Jakarta), Rinny Srihartini (Bandung), Rofiqi Hasan (Bali)


Mengenali Si Bubuk Wangi

Mencintai, maka kenali. Kopi pun bisa dikenali dengan cara merasakan (tasting). Ada beberapa ciri yang bisa dipakai untuk menilai kopi.

Keasaman (acidity):

Keasaman adalah karakter yang membuat kopi disukai (bukan keasaman dalam artian negatif, rasa yang tak enak). Keasaman bisa dirasakan sebagai sensasi di pinggir dan di bawah langit-langit mulut. Rasanya tajam, kuat, dan menggetarkan saraf. Ukuran keasaman kopi bisa disamakan dengan ukuran rasa (flavor) pada anggur (

Rasa (flavor):

Rasa adalah kesimpulan, termasuk keasaman, aroma, dan body. Keseimbangan dan keterpaduan dari unsur-unsur itulah yang menimbulkan sensasi rasa kopi di dalam mulut.

Aroma:

Aroma adalah sensasi yang sulit dipisahkan dari rasa. Tanpa indra penciuman, rasa hanya berupa manis, asam, asin, dan pahit. Aroma ini menambah kenikmatan kopi yang terkulum di bawah langit-langit mulut. Aroma kopi bisa bernuansa bunga atau yang lebih kuat seperti anggur.

Inti kualitas rasa (body):

Body adalah rasa yang ditimbulkan kopi di seluruh bagian mulut: kekuatan, kerasnya, kepekatannya, dan kekayaan rasanya. Sebagai gambaran, body adalah rasa di mulut yang ditimbulkan oleh susu jika dibandingkan dengan air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus