DISIMAK serius oleh para investornya dan ditunggu-tunggu kalangan pebisnis sistem bagi hasil, akhirnya putusan itu dijatuhkan. Dalam ruang sidang Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu, gugatan pailit yang diajukan para penanam duit terhadap PT Adess Sumber Hidup Dinamika (lebih dikenal dengan nama Add Farm) mencapai puncaknya. Dikabulkan? Tidak, justru sebaliknya. Majelis hakim yang diketuai oleh Hery Suwantoro malah meluluskan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan oleh Add Farm.
Putusan itu diterima dengan pasrah oleh para penggugat. Mereka tak akan segera mendapat duit yang telanjur ditanam di perusahaan itu. Sebaliknya, pihak Add Farm bisa bernapas lega karena bisnisnya tak buru-buru dipailitkan. Majelis hakim memberikan tenggat waktu 45 hari kepada kedua belah pihak untuk mengadakan perdamaian.
Add Farm adalah peternakan itik di Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, yang menawarkan paket investasi dengan sistem bagi hasil. Keuntungan yang dijanjikan menggiurkan: 44 persen setahun. Didirikan pada 14 Juni 2000, model bisnisnya mirip PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), yang bikin geger setelah ambruk Agustus tahun lalu. Salah satu paket investasi yang ditawarkan dan paling laris bernama paket C. Lewat paket ini, investor menyetor Rp 5 juta dengan jangka waktu 12 bulan, dan diiming-imingi keuntungan Rp 600 ribu pada bulan pertama.
Pada bulan-bulan pertama, bisnis itu lancar. Investor menerima pembayaran pokok dan keuntungan berlipat-lipat. Belakangan, bisnis itu berjalan tersendat-sendat. Musim kemarau panjang dituding sebagai gangguan kelancaran produksi. Efeknya, sejak Oktober 2002, pembayaran keuntungan pun mulai terlambat. Akhirnya, sejak November, Add Farm benar-benar tak sanggup lagi melaksanakan kewajibannya sebesar Rp 277 miliar kepada investor.
Sebelum menggugat pailit, kata Iskandar Sonhadji, penasihat hukum penggugat, para investor sebenarnya pernah berunding dengan Add Farm, yang diwakili direktur utamanya, Ade Suhidin. Saat itu, Ade berjanji akan membayarkan kewajibannya antara lain dengan mengusahakan dana talangan. Namun janji tersebut tak pernah dipenuhi.
Karena surat somasi juga tidak dijawab dengan memuaskan, akhirnya para investor mengajukan gugatan pailit terhadap Add Farm, yang dianggap wanprestasi, April silam. Dengan dipailitkan, diharapkan aset perusahaan itu bisa dijual untuk membayar seluruh modal para investor.
Hanya, Add Farm mengayunkan langkah cerdik. Perusahaan ini menolak gugatan pailit itu dan mengajukan surat penundaan kewajiban pembayaran utang. Permohonan inilah yang akhirnya disetujui oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Utang Add Farm kepada investor diselesaikan lewat musyawarah. Untuk itu, majelis hakim juga mengangkat Erwin Malau sebagai hakim pengawas dan menunjuk Tutik Sri Suharti sebagai kurator dan pengurus harta debitor. Tutik juga ditugasi menyiapkan pertemuan dengan para kreditor pada 19 Juni 2003.
Dengan keluarnya putusan, bisnis bebek Add Farm bakal jalan terus. Semua urusan antara perusahaan dan investor diselesaikan lewat Tutik. ”Ini win-win solution,” kata Tutik. Add Farm dapat meneruskan usahanya dan menghasilkan laba untuk membayar utang, sementara investor tetap memperoleh haknya. ”Uang investor aman karena kami tetap akan membayar kewajiban,” ujar Haposan Tampubolon, juru bicara Add Farm.
Caranya? Modal para investor bakal dibayar secara bertahap selama 5 tahun ke depan setiap bulan Oktober (sesuai dengan bulan jatuh tempo). Sedangkan keuntungannya akan dibayarkan mulai dua tahun kemudian (tahun ketujuh). Selain itu, Add Farm akan memberikan semacam ”uang tunggu” sebesar 10 persen dari modal setiap tahun kepada setiap investor.
Tapi, bagi penggugat, penundaan pembayaran utang ini hanyalah cara untuk menunda penyitaan aset-aset milik Add Farm. Celakanya pula, nilai aset Add Farm saat ini cuma sekitar Rp 150 miliar. Sedangkan jumlah tunggakan yang harus dibayar Rp 277 miliar. Dari mana kekurangan itu bakal ditambal? Sang pengacara penggugat pasrah. ”Ini kan cuma usaha bebek. Bagaimana mungkin mengharapkan dia dapat membayar?” kata Iskandar sambil tertawa.
Wicaksono, Indra Darmawan (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini