KITA bayangkan vulkanolog Belanda itu pada 1886 berdiri di pesanggrahan Pakubuwono di Selo, Boyolali. Lidahnya berdecak mengagumi kegagahan Merapi. Lalu tangannya memencet tombol kameranya yang masih sederhana satu kali. Hasil jepretannya menampilkan Merapi dengan puncak yang rata akibat letusan 1872. Secara teknis, foto ini tak bagus. Hasil cetakannya seperti hasil mesin fotokopi yang buruk. Tapi foto vulkanolog bernama A.L. Day itu merupakan foto Merapi pertama yang dijepret dari arah Boyolali.
Inilah pameran langka. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung dan Yogyakarta memiliki banyak koleksi tentang Gunung Merapi yang dijepret para vulkanolog Belanda dahulu. Fotografi saat itu instrumen penting bagi para vulkanolog untuk merekam gunung yang mereka teliti. Bersama-sama foto-foto bencana Merapi terbaru, sebagian kecil dokumen itu lalu dipamerkan di aula BPPTK Yogyakarta.
Dan kita pun melihat sejarah "perubahan" Merapi. Vulkanolog Belanda Kemmerling, misalnya, pada 1920 kembali memotret Merapi dari Boyolali. Ia melihat puncak Merapi sudah kembali meruncing, berbeda dengan yang dijepret A.L. Day. Tapi justru pada saat "kiamat" 19 Desember 1930, Kemmerling luput merekam detik-detik dramatiknya. Saat terjadi letusan dahsyat yang mengakibatkan 1.369 jiwa mati dan lava panas Merapi sampai meluluhlantakkan 20 kilometer persegi area di lereng barat Merapi, Kemmerling tengah tak bertugas.
Baru beberapa lama setelah letusan itu, dari Tidar, Magelang, Jawa Tengah, Kemmerling langsung naik pesawat KNIL. Dari angkasa ia menjepret Merapi. Kala itu Kemmerling masih menggunakan film negatif dari lembar kaca. Ia sempat memotret Desa Sisir dari udara, yang hancur serata tanah. Desa Sisir, yang kini masuk wilayah Kabupaten Magelang, sekarang lenyap dari peta.
Ada saatnya kerja serius, ada saatnya santai. Pameran itu juga menyajikan bagaimana Kemmerling mengenakan jas lengkap berpose di salah satu puncak lereng Merapi bersama dua pegawai pemerintah Hindia Belanda dan seorang pribumi Jawa. Lalu ada foto Neumann van Padang, vulkanolog Belanda, yang menjepret Merapi dari Boyolali pada 1931: seorang perempuan Belanda menggendong anak menghadap "sang raksasa". Ada juga foto kereta api yang sedang merambat di rel di atas sungai yang tergerus arus lahar.
Foto lawas lainnya sebagian besar menggambarkan bentuk fisik Gunung Merapi miskin nuansa. Yang susah memang menyimpan negatif foto Merapi yang masih dari lembar kaca. Menurut Kusdaryanto, staf BPPTK Yogyakarta, tidak semua foto dari negatif foto di atas kaca dicetak karena di Yogya tak ada peralatan cetak khusus untuk negatif foto kaca. Terpaksa negatif foto kaca discan dan kemudian dicetak dengan printer digital.
Bagaimana dokumentasi para vulkanolog itu dibandingkan dengan karya para fotografer berita? Telah empat kali pameran foto Merapi dilakukan di Yogya semenjak gunung itu meletus pada 22 November 1994—yang mengakibatkan korban tewas 66 orang akibat awan panas. Lihatlah jepretan wartawan foto Sonny Sumarsono: serakan piring-piring berisi makanan hajatan kawin yang tertutup debu di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Sleman, Yogyakarta. Tak ada orang di situ. Tapi kita bisa membayangkan bagaimana para tamu hajatan itu tergesa-gesa meninggalkan acara santapnya. Kita bisa juga tercenung ketika mendapat informasi bahwa akhirnya pasangan pengantin itu ikut tewas akibat diterjang wedhus gembel (awan panas).
Tidak cuma perut Merapi yang bergejolak. Warga di kaki Merapi pun ikut bergejolak setelah letusan 1994. Pemerintah berniat merelokasi penduduk. Sayangnya, aspek manusia itulah yang luput dari pameran ini.
R. Fadjri (Yogya), Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini