Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAHLAN Iskan kembali bikin geger. Kali ini bukan soal langkah koboinya di pemerintahan. Menteri Badan Usaha Milik Negara ini mengaku telah menjalani "cuci otak" di Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Tindakan yang dilakukan pada hari Valentine itu mirip pembersihan got yang tersumbat sampah. Pembuluh darah di otak kiri Dahlan yang mampet dibersihkan sehingga aliran darah ke otak kiri dan kanannya kembali normal. Itulah mengapa di blognya Dahlan memberi judul pengakuannya itu dengan "Membersihkan Gorong-gorong Buntu di Otak".
Sebelum pembuluh darah dibersihkan, penyumbatan itu membuat aliran darah ke otak Dahlan terhambat. Artinya, Dahlan terkena stroke. Tapi, karena serangan itu begitu ringan, dia tidak merasakannya. Penyumbatan itu membuat pembuluh darah ke otaknya—yang dilihat dengan alat pencitraan—berbentuk seperti lambang mobil Lexus. Setelah dicuci, pembuluh darah itu terlihat seperti lambang Mercedes.
Karena stroke-nya tidak terasa, Dahlan juga tidak terlalu merasakan perubahan setelah intervensi. Ini berbeda dengan istrinya, Nafsiah Sabri, yang juga terkena stroke dan menjalani "cuci otak". Dampak cuci otak itu amat terasa. "Pegal-pegal di bahu kanannya hilang," kata Dahlan, sebelum menyampaikan orasi ilmiah di aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Rabu pekan lalu. Nafsiah juga mengaku penglihatan dan pendengarannya menjadi lebih baik. Keduanya ditangani dokter yang sama, Terawan Agus Putranto, yang menekuni radiologi intervensi.
Seperti bensin bertemu dengan api, testimoni Dahlan langsung mendapat tanggapan luas. Maklum, topiknya tentang Âstroke, pembunuh nomor wahid di Tanah Air. ÂStroke adalah serangan mendadak akibat tidak mengalirnya darah ke otak. Penyebabnya bisa darah yang membeku di pembuluh darah (stroke iskemik, kejadiannya sekitar 80 persen) atau pembuluh darah pecah (stroke hemoragik, sekitar 20 persen).
Sebenarnya cuci otak (brain flushÂing) ala Terawan bukanlah hal baru. Ia sudah melakukannya pada 2004, tapi masih ada sejumlah misteri dalam proses tersebut. Ini adalah tindakan berbasis radiologi intervensi. Intervensi dilakukan dengan memasukkan kateter mikro ke pembuluh darah di pangkal paha (arteri femoralis), terus masuk hingga menuju pembuluh darah yang mengalami masalah. Di lokasi itulah cairan pembersih disemprotkan agar bekuan darah, kerak, atau apa pun yang mengganggu aliran darah di otak minggat.
Yang menjadi misteri bagi para dokter adalah cairan pembersih yang disemprotkan Terawan. Dua tahun lalu, dalam wawancara kami dengannya untuk menuliskan hal ini ("Sehat Berkat Cuci Otak", 3 Juli 2011), Terawan tidak menyatakan dengan jelas cairan yang ia gunakan. Ketidakjelasan inilah yang membuat sejumlah ahli mengkritik cara itu. Salah satu kritik keras datang dari Moh. Hasan Machfoed, Ketua Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia (Perdossi).
Ada kemungkinan, menurut Machfoed, Terawan memakai golongan obat trombolisis, di antaranya recombinant tissue plasminogen activator (rTPA), streptokinase, dan urokinase. Menurut dia, inilah satu-satunya obat yang dianggap mampu menghancurkan bekuan darah penyumbat aliran darah. Masalahnya, obat-obatan ini sangat berbahaya bila diberikan lebih dari delapan jam setelah seseorang terkena stroke. Bahaya terbesar adalah perdarahan otak yang bisa merenggut nyawa pasien.
Panduannya, dalam enam jam pertama setelah pasien terkena stroke, obat yang dimasukkan ke pembuluh darah otak adalah trombolisis (obat pelarut bekuan darah). Bila waktunya antara enam dan delapan jam, dilakukan trombektomi (menyedot bekuan darah). Jika trombolisis diberikan setelah lebih dari delapan jam, akan terjadi risiko perdarahan otak dengan akibat kematian.
Lantaran cuci otak Dahlan dilakukan lebih dari delapan jam setelah stroke, Machfoed menduga Pak Menteri mendapat obat trombolisis tertentu. Cuma, ia bertanya-tanya, obat trombolisis apa yang begitu fantastis, yang dalam hitungan menit bisa menghancurkan bekuan darah yang begitu besar.
Mungkin saja itu adalah trombolisis jenis baru yang belum dikenal oleh para dokter. Jika ini benar, menurut Fritz Sumantri Usman, dokter spesialis saraf Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, obat baru itu tidak bisa langsung digunakan pada manusia. Semestinya dilakukan uji praklinis pada binatang, lalu meningkat pada uji klinis pada manusia, dan seterusnya.
Terawan memang tidak memakai obat trombolisis, juga tak menggunakan obat baru. "Tidak ada obat khusus," kata Terawan. Dalam tindakannya ia memakai heparin. Ini adalah antikoagulan alias pengencer darah yang biasa dipakai para dokter intervensi radiologi. "Begitu heparin masuk, tekanan cairan ini membuat kempot di pembuluh darah hilang. Darah pun mengalir lagi," ujar Terawan.
Bagi Fritz, heparin sebenarnya relatif tidak bermasalah. "Heparin boleh dipakai pada intervensi semua jenis stroke," kata Fritz. Heparin dengan dosis tertentu, menurut dia, tidak meningkatkan risiko perdarahan. Masalahnya, heparin diragukan punya daya yang begitu hebat. "Heparin tidak dapat melebarkan pembuluh darah," ujar Fritz.
Selain soal dosis, waktunya juga harus tepat. "Pemberian herapin dosis besar delapan jam setelah serangan stroke tak hanya meningkatkan risiko perdarahan, tapi juga tidak ada gunanya karena sel otak yang sudah nekrosis tidak dapat tertolong lagi," kata Fritz. Jika stroke sudah lama terjadi, menurut kalangan dokter saraf, sel-sel saraf di otak sudah mati. Alhasil, tindakan menghancurkan bekuan darah tak lagi bermanfaat.
Karena itu, Fritz kurang percaya jika Terawan hanya memakai heparin. Tentang keraguan itu, Terawan mengatakan, "Kalau memang tidak ada obat lain, masak saya harus bilang ada." Penggunaan heparin ini juga diungkap Terawan kepada dokter spesialis farmakologi klinik Hendra Utama. Bersama beberapa calon pasien lain, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang paham betul urusan obat ini antusias mengikuti penjelasan Terawan saat membaca hasil CT scan dan MRI miliknya. Ia pun mantap akan melanjutkan cuci otak ala Terawan. Hendra, yang kini aktif di Balai Penerbit FKUI, tertarik menerbitkan kasus-kasus yang ditangani Terawan menjadi sebuah buku. "Agar tidak terjadi eyel-eyelan yang tidak bermutu," ucapnya.
Soal bagian otak yang mati, Terawan juga punya penjelasan. Otak yang terkena stroke memang memiliki bagian yang sudah mati (core). Tapi penumbra di sekitar core masih setengah mati. Berapa lama penumbra bertahan, tak seorang pun tahu: bisa dalam hitungan jam, atau malah tahunan. Daerah yang sudah mati di otak memang sudah susah diutak-atik. Tapi, penumbra masih terbuka kemungkinan dihidupkan, sehingga fungsi otak yang sebelumnya mati bisa membaik. Respons penumbra yang kembali mendapat aliran darah ikut menentukan seberapa besar perbaikan pasien Âstroke setelah cuci otak.
Meski memiliki bukti ilmiah akan kebenaran teorinya, Terawan menyadari bahwa tindakannya yang tidak biasa ini menimbulkan kontroversi di kalangan dokter. Untuk mengakhiri polemik, Terawan dan RSPAD sangat terbuka jika ada dokter yang ingin melihat langsung tindakannya. Namun Machfoed tak sepakat. "Secara psikologis, kunjungan kami bisa diartikan menyetujui tindakan itu," katanya. "Kedua, tentu tidak cukup ruang diskusi, sementara dokter Terawan sibuk mengerjakan pasien."
Perdebatan ini bisa amat panjang. Rencana untuk menerbitkan buku yang berkaitan dengan tindakan tak biasa Terawan itu juga belum tentu bisa meredakannya. Kehati-hatian tentu saja diharuskan, tapi mencoba terobosan baru juga wajib dilakukan.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo