Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENTUMAN dari celah batu kapur itu terdengar sangat lantang bak suara meriam. Sejurus kemudian, air menyembur deras dari celah-celah batu. Bagi warga Kamang Mudiak, peristiwa alam ini sama sekali tak mengejutkan. "Itu tanda danau akan terisi air," kata Imran Malin Mudo, 50 tahun, warga Babukik, Kamang Mudiak.
Danau yang dimaksud adalah hamparan padang rumput seluas 38 hektare, yang terletak di Desa Kamang Mudiak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Pada saat danau kering, anak-anak bermain bola di sana. Warga juga biasa melepas ternak di hamparan hijau itu. Ketika air penuh, warga memanfaatkannya untuk mencari ikan dan udang.
Kejadian langka ini bisa berlangsung sembilan bulan sekali, setahun sekali, bahkan dua tahun sekali. Tak ada yang tahu pasti kapan air akan mengubah padang rumput itu menjadi danau. Atau sebaliknya, tak ada yang bisa memastikan kapan air danau menyusut masuk ke sungai yang ada di bawah dan membiarkan rumput serta berbagai jenis tanaman tumbuh subur.
Imran menuturkan, sejak ia tinggal di tepian danau bernama Tarusan Kamang ini, air bisa bertahan menggenang paling lama dua tahun. "Tak bisa diperkirakan kapan air menghilang," ucapnya. Sedangkan menurut cerita orang-orang tua di kampung itu, danau dalam keadaan kering paling lama bisa mencapai tiga setengah tahun. "Itu terjadi sewaktu Jepang menjajah Indonesia," katanya.
Meski tak ada yang tahu pasti kapan air bakal surut, warga setempat punya kebiasaan merayakan hilangnya air dengan mengadakan lomba perahu dayung. Gejala alam seperti menyusutnya permukaan air biasanya dijadikan patokan. "Ini seperti merayakan perpisahan dengan danau," ucap Imran.
Luas Danau Tarusan Kamang tak terlalu besar. Dengan menggunakan perahu karet bermesin tempel, hanya diperlukan waktu kurang-lebih 15 menit untuk mengelilinginya. Di beberapa bagian, kedalaman danau kurang dari dua meter. Pada bagian lain bisa mencapai 10 meter.
Di bagian selatan danau, di bawah bukit-bukit batu gamping dengan pohon-pohon subur di atasnya, terlihat tujuh lorong air tempat keluar dan masuk air ke sungai bawah tanah. Menurut warga di sana, banyak terowongan air seperti ini. Dari situlah terdengar suara dentuman beberapa hari sebelum air menyembur.
Bagi penduduk setempat, muncul dan surutnya air di danau ini merupakan fenomena alam biasa saja. Namun, bagi beberapa ahli geologi, peristiwa ini sangat menarik dan perlu mendapat kajian lebih mendalam.
"Ini fenomena yang sangat menarik. Banyak danau karst di daerah lain di Indonesia, tapi hanya Danau Tarusan Kamang ini yang punya hubungan langsung dengan sungai di bawah tanah," kata Andang Bachtiar, ahli geologi dan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Pada 23 Februari lalu, Andang melakukan penelitian awal di Danau Tarusan Kamang dalam sebuah ekspedisi bersama rekannya sesama ahli geologi, antara lain Nofrins Napilus dan Kurnia Chalik, serta Bupati Kabupaten Agam, Indra Catri.
Hasil pengamatan awal, Andang menyimpulkan bahwa Danau Tarusan Kamang, selain sebagai danau karst, merupakan danau tektonik pisah-regang yang terkait dengan patahan Sumatera. Hubungan itu terjadi lantaran kawasan danau ini terletak dalam zona patahan Sumatera.
Danau karst atau disebut juga doline adalah danau yang terdapat di daerah berbatu kapur. Danau jenis ini terjadi akibat adanya erosi atau pelarutan batu kapur. Bekas erosi membentuk cekungan, dan cekungan terisi air, sehingga terbentuklah danau.
"Ini sudah pasti danau karst karena berada di bawah perbukitan batu gamping yang umurnya sudah tua, 300-400 juta tahun, lebih tua daripada batu gamping di Jawa," ucap Andang. Selain itu, Andang menemukan bukti bahwa dataran tepian danau berumput hijau ternyata adalah suatu kipas aluvial yang merupakan ciri dari morfologi patahan normal yang aktif.
Patahan barat laut-tenggara, yang merupakan bagian dari patahan Sumatera, berpasangan dengan patahan barat-timur, yang membatasi bagian selatan danau. Bukti kehadiran patahan barat-timur ini adalah arah bidang-bidang rekah pada batu gamping yang ada di pinggir danau dan juga kipas aluvial yang dimensinya lebih kecil.
"Ini menguatkan dugaan bahwa Danau Tarusan Kamang, selain memiliki sifat danau karst, punya komponen danau tektonik pisah-renggang," kata Andang. Ia juga mengambil sampel endapan danau, batu-batuan, untuk meneliti usia danau.
Fenomena kering-terisi danau mengikuti hukum bejana berhubungan. Bejana ini menghubungkan sungai-sungai bawah tanah yang terdapat pada kedalaman tebing serta punggung gunung batu gamping di bagian timur dan selatan danau dengan rendahan atau cekungan yang dibentuk patahan-patahan. Ketika permukaan air sungai bawah tanah surut sampai level lebih rendah dari dasar danau, danau mengering. Jika muka air sungai meninggi, air danau pun terisi.
Dalam pengamatan lebih jauh, Andang sempat mendaki bukit setinggi 300 meter dan masuk ke gua di dalam karst serta melihat lubang masuknya air. Menurut dia, di ketinggian bukit 100 meter, ada lubang air dan di dalamnya terlihat sungai bawah tanah.
Bila air sungai turun, danau kering. Kalau air sungai naik, danau muncul. Jadi yang perlu diteliti itu faktor apa yang mengontrol air naik-turun tersebut. "Perlu ada pemetaan gua-gua dan sungai bawah tanah yang ada di bawahnya," ucap Andang.
Pentingnya sungai bawah tanah dan Danau Tarusan Kamang adalah untuk konservasi air. "Jadi ini otomatis untuk monitoring tool. Jika air danau naik, berarti penyerapan air di Bukit Barisan hingga ke belakangnya berjalan baik. Kalau gunung itu digunduli, sudah enggak akan lagi ada air naik-turun," katanya.
Karena kawasannya masih alami dan penuh dengan pohon-pohon yang subur, gua-gua yang berada di bawah bukit masih aktif. Di bagian barat danau, tepat di kaki bukit, masih terlihat tujuh lorong tempat keluar-masuknya air ke sungai bawah tanah.
Walau danau bisa kering setiap saat, masih ada beberapa jenis ikan dan udang yang menghuni danau. Ikan yang dianggap asli Danau Tarusan Kamang adalah ikan pantau dan ikan bada putih. Ikan pantau mirip ikan kepala timah. Sedangkan ikan bada putih menyerupai ikan kecil di Danau Maninjau. Namun warna tubuh kedua ikan dari keluarga Cyprinidae ini lebih transparan.
"Kedua ikan ini bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Karena itu, warna tubuhnya lebih transparan," ujar Hafrijal Syandri, ahli perikanan dari Universitas Bung Hatta, Padang. "Ketika air surut, dia berada di lorong air di bawah tanah dan hidup dari jasad renik dan ulat atau serangga yang ada di dalam gua." Sedangkan udang mampu hidup di perairan dalam gua juga karena memakan detritus atau jasad renik.
Untuk berkembang biak, saat akan memijah atau bereproduksi, ikan itu memanfaatkan danau yang mulai terisi, lalu bertelur. Ikan jenis ini tak membutuhkan substrat untuk menempelkan telur dan tinggal di danau untuk membesarkan anak. "Setelah anak ikan sedikit besar, bila danau mengering, ikan-ikan ini kembali masuk ke lorong-lorong sungai," ucap Hafrijal.
Jumlah ikan dan udang di Danau Tarusan Kamang cukup banyak, bahkan menjadi tangkapan penduduk untuk lauk-pauk. Ada juga ikan yang dimasukkan, seperti ikan nila dan ikan mas, karena saat air surut ada kolam-kolam yang tertinggal yang dimanfaatkan untuk memelihara ikan.
Febrianti (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo