Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yasraf Amir Piliang*
Pesona citra dan pencitraan kembali mewarnai panggung politik menjelang pemilihan umum presiden 2014. Dalam ruang pertarungan citra di antara para elite politik, kita membaca semacam "bioritmik citra": ada elite politik yang citranya "terjun bebas" lantaran gagal membangun politik pencitraan berkelanjutan; sebaliknya ada yang tengah "meroket" karena mampu membangun simpati publik.
Strategi pencitraan—melalui iklan politik, atribut, baliho, poster, spanduk, bahkan blusukan—kini seakan-akan menjadi pertaruhan politik, karena kegagalan tak hanya akan berujung pada kerugian ekonomi, tapi juga politik. Sebaliknya, sukses membangun popularitas melalui citra akan mendongkrak keuntungan politik. Para elite yang memiliki naluri politik akan mengambil keuntungan dalam pasar semiotika politik yang terus menggeliat.
Dalam dinamika politik abad informasi, kekuatan citra seakan-akan mantra dalam membangun kekuasaan politik. Melalui "pesona" atau "fetisisme citra", para elite politik merangkai "makna diri" di medan semiotika politik. Tapi medan pertaruhan semacam ini penuh risiko karena sifat citra yang "bertahan seketika" ternyata berbiaya tinggi: meroket seketika, tapi terjun bebas seketika pula.
Dua posisi citra tampak fenomenal dalam medan pertarungan semiotika politik akhir-akhir ini: di satu pihak, citra Susilo Bambang Yudhoyono, Anas Urbaningrum, dan Partai Demokrat terjun bebas di mata publik; di pihak lain, citra Joko Widodo dan Dahlan Iskan melesat. Posisi citra yang diametral ini menandai dua cara kerja politik yang berkebalikan: "citra gagal" versus "citra sukses".
Yudhoyono dan Anas, sejak Pemilihan Umum 2004, telah menyadari akan kekuatan ilmu pencitraan (imagology) dalam politik. Dua model pencitraan digunakan. Pertama, pencitraan "nonpolitis", yang tak terkait langsung dengan politik, misalnya pencitraan Yudhoyono melalui aneka unjuk kemampuan, seperti bernyanyi atau bermain musik. Kedua, pencitraan "yang politis", yang berkaitan langsung dengan politik, seperti yang ditampilkan melalui iklan politik: "Bersama Kita Bisa" dan "Katakan Tidak pada Korupsi".
Strategi pencitraan Yudhoyono—dan Partai Demokrat—cukup baik di awal karena citra positif mereka bertahan relatif lama, tapi citra itu lalu mengalami degradasi. Salah satu penyebabnya adalah kegagalan memahami esensi citra sendiri. Esensi citra tak hanya cara mediasi diri dan menampilkan identitas diri di ruang sosial, tapi sekaligus sebuah janji yang harus ditepati, sumpah yang harus ditaati.
Ketika janji citra tak bisa direalisasi melalui tindakan nyata, ia menjelma jadi citra simulasi, yang memerlukan trik atau manipulasi agar tampak nyata. Citra menjadi bagian kesadaran palsu, seperti dikatakan Marx, yang perlu ditampilkan terus-menerus agar tampak alamiah melalui proses pewajaran: blusukan ke rakyat 1-2 kali, ditayangkan di media elektronik secara intens.
Cara kerja pencitraan Yudhoyono dan Anas bersifat inside-out, yaitu merangkai dulu citra media untuk direalisasi lewat tindakan nyata. Ironisnya, tataran citra (the order of images) nyatanya terputus dari tataran realitas: menjanjikan gerakan antikorupsi, malah terjerumus jurang korupsi; menawarkan citra santun, malah menampilkan vulgaritas bahasa; merangkai kebersamaan, malah terperangkap egoisme. Kondisi derealisasi tanda ini seakan-akan duri yang menusuk diri sendiri.
Tataran citra tercabut dari pengalaman, melalui proses disosiasi. Sosok Yudhoyono, yang mengusung citra "Bersama Kita Bisa", nyatanya berjarak secara sosial dari masyarakat. Masyarakat hanya menatap dari jauh dunia imajiner, tapi tak dapat memasuki dunia nyata mereka. Inilah pengasingan tubuh dari pengalaman, yang tanpa dimensi sentuhan dan intimacy.
Tubuh menjadi bagian "masyarakat tontonan", seperti dikatakan Debord. Masyarakat tontonan mengklaim dirinya seakan-akan bagian dari instrumen sosialisasi, padahal memperlebar jarak sosial. Ia menyerap segala kesadaran, pikiran, dan persepsi, padahal ia memisahkan kita dari kenyataan. Tubuh dialienasi dari dunia nyata dan menjadi bagian skema komoditas.
Antara citra dan tubuh ada pemisah sosial berupa tembok formalitas, protokoler, dan birokrasi. Rakyat mulai melihat jurang antara citra dan realitas, janji dan kenyataan, slogan dan tindakan. Penurunan citra Yudhoyono, Anas, dan Partai Demokrat konsekuensi logis dari kegagalan mereka membuktikan kepada publik segala yang mereka janjikan melalui pencitraan. Citra itu kini memakan tuannya sendiri, layaknya sebuah "mesin penghancuran diri sendiri".
Jokowi dan Dahlan Iskan menunjukkan cara membangun relasi sosial yang sangat berbeda. Mereka ingin menegasi sifat artifisial, disosiasi, distansiasi, dan keintiman palsu ala abad pencitraan dengan kembali ke relasi alamiah tatap muka, relasi sosial yang memiliki bentuk pengalaman jauh lebih kaya dan multidimensi: ucapan, gestur, pandangan, rasa, penciuman, dan sentuhan.
Jokowi dan Dahlan menegasi segala formalitas, protokoler, dan birokrasi. Mereka mengusung cara kerja dekonstruksi, dengan meruntuhkan batas oposisi biner formal/informal, pejabat/rakyat, dilayani/melayani sebagai common sense dan logos. Mereka melakukan deformalisasi dengan menanggalkan segala bentuk formalitas; melakukan desakralisasi, dengan menghilangkan jarak sosial dengan masyarakat.
Cara membangun relasi sosial mereka adalah outside-in, yaitu melalui "ada" bersama masyarakat di ruang-waktu nyata, dan kehadiran itu—disengaja atau tidak—menginternalisasi jadi citra positif mereka: dekat, akrab, sederhana, merakyat, rendah hati, dan bertanggung jawab. Blusukan mengurangi jarak sosial karena kehadiran "tubuh" sang pejabat di tengah-tengah rakyat menghapus jarak itu.
Sementara Yudhoyono dan Partai Demokrat menawarkan slogan "Bersama Kita Bisa" pada tataran citra media, Jokowi dan Dahlan membangunnya pada tataran realitas, yaitu dengan menghimpun "kita" sebagai "kebersamaan" yang konkret di dunia nyata, dengan masalah-masalah nyata. Koeksistensi dan co-presence semacam ini mampu membangun komunitas tanda, untuk menghasilkan makna bersama.
Dengan meruntuhkan partisi ruang sosial, Jokowi dan Dahlan menawarkan paradigma dialogisme, yaitu membuka ruang dialog dengan masyarakat, melalui kehadiran tubuh secara koeksistensi di ruang nyata, untuk mendiskusikan masalah nyata. Mereka mengalihkan agora dari gedung parlemen ke gang sempit, pinggiran kali, selokan, atau kolong jembatan—tempat masalah bangsa diperbincangkan.
Bukankah esensi "tubuh", seperti dikatakan Merleau-Ponty, adalah medium koeksistensi di dalam ruang-waktu, keterlibatan mendalam dengan lingkungan, untuk merangkai nilai dan makna di dalamnya. Tubuh adalah medium untuk membangun "dunia": dunia sosial, dunia politik, dunia ilmu, dan seterusnya. Ia adalah tubuh yang bergerak dan berpindah dari satu ruang ke ruang lain dengan meninggalkan jejak-jejak makna, nilai, dan pengetahuan.
Tubuh Jokowi dan Dahlan adalah tubuh koeksistensi dan co-presence dalam lingkungan nyata, yang melalui gestur, trajektori, dan iramanya mampu merangkai makna, gagasan, dan asosiasi simbolis. Citra mereka dibangun melalui regularitas pergerakan di dalam ruang-waktu nyata, bukan ruang artifisial media. Pergerakan dan keberadaan tubuh mereka di ruang sosial amat nyata: dekat, akrab, merakyat, sederhana, tanggap, dan sigap.
Inilah tubuh "anti-organisasi" ala Deleuze, yaitu tubuh yang menegasi segala prinsip organisasi, hierarki, dan stratifikasi. Mereka melenyapkan hierarki dan stratifikasi dalam koeksistensi tubuh-tubuh di ruang sosial: pejabat/rakyat, majikan/hamba, bos/pelayan. Dengan cara itu, ia mempersempit jarak sosial, menimbun jurang kultural, dan menghangatkan keintiman sosial.
Gestur yang polos, ndeso, innocent, akrab, dengan baju putih digulung, mengusir rasa curiga apalagi amarah. Wajar bila rakyat kecil antusias menyambut setiap kali tubuh Jokowi atau Dahlan hadir di sudut-sudut ruang yang kumuh, sempit, bising, sumpek, becek, dan bau. Wajar bila citra diri mereka meroket tanpa perlu modal besar untuk politik pencitraan. Apakah sosok ini yang dicari dalam pemilu presiden 2014?
*) Ahli filsafat media
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo