Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menjadikan Bergerak sebagai Obat

Aktivitas fisik diyakini bisa mengobati penyakit. Dokter diharapkan tak cuma memberikan resep obat kimia, tapi juga latihan fisik.

4 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JOYI Larasati masih bisa tersenyum saat berjinjit di ruang Sports Medicine Exercise Therapy Rumah Sakit Jakarta, pertengahan Desember lalu. Tapi, saat pelatih memintanya melepaskan pegangan tangan, dalam tiga detik Joyi limbung. "Masih sakit," kata remaja 16 tahun ini sambil memegang kaki kirinya.

Keseimbangan Joyi memang tengah terganggu lantaran nyeri di kaki kiri. Dua pekan sebelumnya, ankle kaki kiri Joyi terkilir saat berlatih balet. Sewaktu ia melompat, pendaratannya tak sempurna hingga membuat ligamennya robek. Jadilah balerina itu harus terpincang-pincang dan kesulitan berjinjit selama dua pekan.

Awalnya ibunda Joyi, Ina Gunawan, membawanya ke dokter ortopedi. Oleh dokter, Joyi dilarang memberikan beban berat pada kaki kirinya. Dokter menggips kaki Joyi untuk dua minggu. Tapi, baru berjalan lima hari, gipsnya dibuka. "Anaknya enggak bisa diam," ujar Ina. "Enggak tahan digips."

Ina lalu membawa si buah hati ke dokter spesialis kedokteran olahraga. Setelah diberi terapi, Joyi diminta berlatih padatraineryang tersedia di rumah sakit. Dokter memberikan resep latihan khusus untuk pergelangan kaki Joyi. Hasilnya, menurut Ina, cukup menggembirakan. "Sembuhnya lebih cepat," kata warga Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu.

Dokter spesialis kedokteran olahraga, Grace Tumbelaka, mengatakan latihan yang dilakukan Joyi ini termasuk exercise is medicine(EIM). Program ini mempercayai bahwa latihan dan aktivitas fisik tak hanya mencegah datangnya penyakit, tapi juga bisa mengobati. Pada kasus cedera ankle yang tak parah seperti yang dialami Joyi, menurut Grace, berdiam total justru akan menghambat penyembuhan. Sebab, sendi, otot, ataupun jaringan yang terdiam lama akan menjadi kaku. Walhasil, saat harus bergerak, nyeri pun datang. "Tapi, kalau dari awal sudah dianjurkan aktivitas yang benar, sel-sel akan menyembuhkan diri secara bertahap, meregenerasi sesuai dengan stimulasi," ujar Grace.

Cakupanexercise is medicinetak hanya mengobati nyeri sendi. Menurut Grace, EIM juga bertujuan mencegah dan mengobati penyakit tak menular yang berhubungan dengan musculoskeletal, seperti radang sendi. Metode ini juga digunakan untuk terapi penyakit degeneratif yang berhubungan dengan penuaan sistemik, misalnya hipertensi, obesitas, dan diabetes melitus.

EIM adalah gerakan global yang diinisiasi American College of Sports Medicine pada 2007. Program ini diciptakan karena terjadi pergeseran tren penyakit. Masyarakat lebih banyak terserang penyakit tak menular yang disebabkan oleh gaya hidup malas bergerak.

Saat malas bergerak dan berolahraga, distribusi oksigen dan darah ke seluruh tubuh terganggu. Berbagai penyakit bisa timbul akibat keadaan ini, seperti hipertensi, sakit jantung, osteoporosis, obesitas, dan diabetes tipe 2. Ini perlu diwaspadai karena malas bergerak bisa berujung pada kematian. Badan Kesehatan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) mencatat ketidakaktifan fisik menjadi penyebab kematian nomor empat secara global.

Untuk mengurangi bencana ini, EIM mengajak semua orang aktif bergerak. Salah satunya menggandeng para dokter yang nasihatnya lebih didengar pasien. Para dokter umum dan spesialis dilatih memberikan resep latihan fisik kepada para pasien. Kini sudah ada 43 negara yang menjalankan konsep ini, termasuk Indonesia, yang bergabung sejak dua tahun lalu.

Saat memeriksa pasien, kata Grace, dokter tak hanya mengecek tekanan darah, nadi, tubuh, dan pernapasan, tapi juga menanyakan kegiatan fisik pasien setiap hari. "Misalnya, olahraga enggak, berapa menit, intensitasnya bagaimana?" ujar pelaksana tugas Ketua Komite Nasional EIM Indonesia ini.

Dengan dasar itu, dokter akan tahu apakah penyakit pasien berhubungan dengan ketidakaktifan fisik atau tidak. Jika karena masalah malas gerak, mereka pun bisa meresepkan latihan fisik ke dalam pengobatan, selain obat racikan kimia. Ada empat komponen yang diberikan dokter saat membuat resep yang terangkum dalam FITT, yakni frekuensi, intensitas, waktu (time), dan tipe latihan fisik.

Menurut Ketua Komite Nasional EIM Indonesia Inggriani Husen, setiap penyakit membutuhkan resep olahraga yang berbeda. Musababnya, ada tipe olahraga yang justru memperberat penyakit tertentu. Latihan untuk penyakit osteoporosis, misalnya, berbeda dengan osteoartritis alias peradangan sendi. Pada kerapuhan tulang atau osteoporosis, tipe yang diberikan adalah olahragahigh impact,seperti berlari, agar tulang menguat. Sedangkan pada osteoartritis, resep olahraga bertekanan tinggi justru akan membuat makin nyeri.

Dokter juga perlu memodifikasi sesuai dengan kegemaran dan kesanggupan pasien. Untuk penderita osteoartritis, berenang merupakan olahraga tepat. Tapi kalau tak bisa berenang, menurut dokter spesialis kedokteran olahraga ini, pasien mesti diberi alternatif olahraga lain yang tak membebani tulangnya, contohnya bersepeda.

Dokter spesialis penyakit dalam, Simon Salim, mengatakan dokter juga harus menjelaskan perbedaan aktivitas fisik dan latihan fisik, meskipun latihan merupakan bagian dari aktivitas. Aktivitas fisik adalah aktivitas harian yang biasa dilakukan sehari-hari, misalnya naik-turun tangga, berjalan, dan menyapu. Makin aktif pasien, makin bagus untuk kesehatannya.

Menurut WHO, cara simpel untuk bergerak aktif adalah berjalan 10 ribu langkah per hari. Sedangkan latihan adalah aktivitas fisik khusus yang memiliki dosis untuk mencapai tujuan, seperti mengurangi berat badan, menurunkan kadar gula, dan menormalkan tekanan darah. Misalnya dengan berjalan cepat selama 30 menit setiap hari. "Jumlah langkah saat berjalan cepat ini pun harus dipisah dengan berjalan aktif 10 ribu langkah," katanya.

Pasien yang rutin berlatih fisik, menurut Simon, biasanya akan merasakan manfaatnya dalam dua-tiga bulan. Tensi darah, kadar gula dalam darah, dan kolesterol akan turun. Ujungnya, jumlah obat yang diberikan dokter untuk mengendalikan penyakit pun berkurang. "Bisa berkurang separuhnya," ucap dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ini.

Namun, untuk mendapatkan hasil ini, dokter bisa memberi target secara bertahap. Misalnya 10 menit berjalan cepat tiga kali seminggu untuk pekan pertama. Pada pekan berikutnya, waktunya ditambah jadi 15 menit. "Kalau pasiennya bisa, ditambah terus sampai sesuai dengan target," ujar Simon.

Nur Alfiyah


Dunia:
- 1 dari 4 orang dewasa tak cukup aktif bergerak.
- Lebih dari 80 persen remaja kurang aktif secara fisik.

Indonesia:
- Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan 26,1 persen penduduk Indonesia kurang aktif bergerak.
- 42 persen orang Indonesia tak aktif bergerak dalam 3-5,9 jam per hari.
- 1 dari 4 orang Indonesia tak aktif bergerak lebih dari 6 jam per hari.

Akibatnya:
Kurang aktivitas fisik menjadi faktor risiko utama kematian keempat di dunia (6 persen dari kematian global).
Ketidakaktifan fisik diperkirakan menjadi penyebab utama dari:
21-25% Kasus kanker payudara dan usus.
27% Diabetes
30% Beban penyakit jantung iskemik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus