Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Di Laut Kita Menipu

Ribuan nelayan diduga memanipulasi dokumen berat kapal agar mendapat subsidi bahan bakar. Tindak tegas syahbandar yang nakal.

4 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIKAP Kementerian Perhubungan yang menunda-nunda pengukuran ulang kapal perikanan tangkap selayaknya segera diakhiri. Aksi belagak pilon ini mudah memantik curiga bahwa Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di kementerian itu sedang melindungi aparat yang korup.

Menurut perhitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, setidaknya 87 ribu kapal nelayan telah memanipulasi kapasitas kapal. Kementerian Perhubungan hanya mengakui angka 18 ribu.

Secepatnya kedua kementerian harus menandatangani kesepahaman yang dibahas sejak akhir November lalu. Kesepahaman mengenai percepatan ukur ulang kapal—yang isinya mengatur tata cara pengukuran, termasuk tenggat pengukuran—akan memberikan kepastian bagi ribuan nelayan.

Pendataan kapal penangkap ikan selama ini memang berantakan. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menemukan, banyak kapal nelayan tidak sesuai dengan ukuran sebenarnya. Mereka memanipulasi bobot kapal menjadi kurang dari 30 gross ton pada saat mengurus surat izin penangkapan ikan. Tujuannya agar mereka bisa memperoleh subsidi solar—seperti tertulis dalam Keputusan Presiden Nomor 191 Tahun 2014.

Dugaan pemalsuan dokumen kapasitas muat kapal ditengarai terjadi di sejumlah kantor kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan, yang berada di bawah Kementerian Perhubungan. Manipulasi bobot kapal ini diduga melibatkan orang dalam.

Akibat pemalsuan dokumen itu, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari hasil perikanan tangkap tidak pernah mencapai target. Nilainya cenderung stagnan dalam enam tahun terakhir, yakni sekitar Rp 150 miliar per tahun. Negara kehilangan potensi pemasukan. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 menyebutkan kapal dengan bobot lebih dari 30 gross ton wajib menyetor pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil perikanan.

Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan, kontribusi PNBP dari sektor perikanan hanya 0,3 persen dari total nilai produksi perikanan laut. Itu sebabnya, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta Kementerian Perhubungan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan mendata ulang kapal-kapal nelayan. Pengukuran ulang penting dilakukan agar penyaluran subsidi solar sebanyak 16 juta kiloliter—seperti tertulis dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016—tidak salah sasaran.

Tarik-ulur pengukuran kapal tak perlu terjadi bila Kementerian Perhubungan sejak awal menyadari pendataan ulang kapal-kapal ini sejalan dengan reformasi pengelolaan hasil laut, yang menjadi salah satu fokus pemerintah Presiden Joko Widodo. Transparansi data kapal harus dikedepankan untuk menggenjot PNBP dari sektor perikanan, menertibkan surat izin penangkapan ikan, dan menentukan wilayah penangkapan ikan beserta alat tangkap yang diizinkan.

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan wajib memenuhi janjinya untuk memverifikasi ulang kapal-kapal nelayan—seperti yang ia ucapkan pada awal tahun lalu. Jonan juga harus tegas menjatuhkan sanksi terhadap syahbandar nakal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus