Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Djoko Sasono, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, mundur dari jabatannya patut diapresiasi. Langkah Djoko meletakkan jabatan, sebagai bentuk tanggung jawab atas kemacetan luar biasa di masa libur Natal, merupakan pertanda masih adanya akal sehat di kalangan pejabat publik.
Macet pada libur Maulid dan Natal, serta akhir tahun, ini memang parah, jauh lebih buruk dibanding kemacetan mudik Lebaran. Mobil mengular di sepanjang jalan dari Jakarta ke berbagai kota. Rute Jakarta menuju Bandung, misalnya, harus ditempuh 17-22 jam berkendaraan di jalan tol, tujuh kali waktu normal. Jakarta-Cikampek, yang biasanya hanya perlu waktu satu jam, harus ditempuh dalam 10 jam.
Hiruk-pikuk kemacetan kali ini jelas membuktikan pemerintah gagap dan lalai. Tak ada antisipasi menghadapi libur panjang Natal dan pergantian tahun, yang kali ini didahului Maulid Nabi Muhammad SAW. Kepolisian dan Dinas Lalu Lintas Jalan Raya tidak menyiapkan jalur-jalur alternatif. Tak ada posko di berbagai titik, tempat istirahat bagi sopir yang lelah. Tak ada pembatasan truk-truk raksasa masuk ke area jalan tol pada hari-hari supersibuk. Akibatnya, seperti parkir massal, ribuan mobil terjebak di jalan tol.
Betapa besar kerugian yang kita tanggung. Perjalanan menjadi melelahkan luar biasa. Jadwal molor dan kacau. Tumpukan kerugian ini membuat konsumen berhak mengajukan class action, menggugat kelalaian pemerintah.
Pemborosan energi pun terjadi secara luar biasa. Menurut data Jasa Marga, tiga jalan tol utama (Gerbang Cikampek, Karang Tengah, dan Cibubur) dilewati 325 ribu kendaraan setiap hari pada puncak libur Natal. Taruhlah setiap mobil harus membuang ekstra tiga liter bensin lantaran macet, maka dalam sehari 975 ribu liter bensin terkuras percuma. Dengan harga bensin Premium Rp 7.400 per liter, uang Rp 7,215 miliar "terbakar" di kemacetan jalan tol dalam sehari. Itu baru perkiraan kasar. Kerugian yang sesungguhnya pasti jauh lebih besar karena kemacetan tidak hanya terjadi di tiga gerbang tol dan berlangsung berhari-hari.
Pemerintah tak boleh menyepelekan persoalan macet, pada musim libur atau bukan. Mundurnya Djoko Sasono patut dipuji, tapi itu sama sekali tidak cukup. Pembenahan transportasi publik tak boleh lagi ditunda. Antisipasi kemacetan harus dilakukan di segala lini.
Antrean di gerbang tol manual adalah mata rantai kemacetan yang paling konyol. Waktu untuk membayar tunai, menghitung uang, dan menyiapkan kembalian recehan toh bisa dihapus dengan transaksi elektronik. Pengguna cukup menempelkan kartu e-toll di papan khusus, lalu segera melaju melanjutkan perjalanan. Sungguh, situasi konyol antrean panjang di gerbang tol ini dengan mudah bisa diakhiri.
Persoalannya, hijrah total dari transaksi manual menuju elektronik menuntut komitmen berbagai pihak. Perbankan, misalnya, harus mendukung dengan sistem pembelian kartu yang memudahkan konsumen. Jasa Marga pun perlu konsisten, jangan lagi menyediakan gerbang tol manual. Semua gerbang harus bertransaksi elektronik. Bus Transjakarta, juga kereta rel listrik Jabodetabek, terbukti bisa beralih ke transaksi elektronik. Sistem top up—penambahan saldo kartu—juga mudah dilakukan melalui anjungan tunai mandiri berbagai bank. Tak ada alasan bagi Jasa Marga untuk segan hijrah total menuju transaksi elektronik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo