Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUMPUKAN potongan rumput gajah segar disebar penjaga kandang di depan pagar besi bercat putih. Empat sapi limusin berkulit cokelat bergerak mendekati pagar, menyelipkan kepalanya di antara jeruji pagar, lalu melahap pakan hijau itu perlahan. Di kandang sebelah, puluhan sapi berbagai jenis milik Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang, Bogor, mendapat menu serupa. "Mereka dirawat khusus untuk pembibitan sapi unggul di Indonesia," kata Kepala BET Cipelang, Tri Harsi.
Peternakan yang terletak di lereng pada ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut itu memelihara sapi-sapi "elite". Ada sapi limusin, simmental, angus, brahman, hingga sapi perah Holstein-Friesian, yang terkenal dengan belang putih-hitamnya. Peternakan yang diselimuti hawa sejuk Gunung Salak itu juga merawat sapi unggul lokal, termasuk sapi Bali, yang menurut aturan hanya bisa dibiakkan di Pulau Bali. "Kami punya izin khusus untuk membawanya ke sini," ujar Tri.
Menurut Tri, sejak 2009, mereka tak pernah lagi mengimpor bibit sapi unggul yang mahal. Pejantan yang digunakan sebagai bibit biasanya diimpor dari Australia dan harganya bisa mencapai Rp 100 juta. "Bioteknologi pembiakan sapi sudah kami kuasai, termasuk transfer embrio," kata Tri saat berdiskusi dengan delegasi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, pertengahan Desember lalu.
Sejak didirikan pada 1994, peternakan di Cipelang itu khusus mengembangkan bioteknologi transfer embrio. Kala itu ilmuwan di Cipelang berhasil memproduksi 519 embrio dan 44 bibit sapi unggul. Teknologi transfer embrio yang diterapkan di peternakan seluas 90 hektare itu kini meningkat. "Sekarang kami sudah bisa memproduksi pejantan dengan kualitas setara dengan bibit yang dulu kami impor," ucap Tri. Hingga November 2015, peternakan milik Kementerian Pertanian itu sudah mengirim 207 ekor pejantan hasil transfer embrio ke berbagai peternakan di Indonesia.
Bioteknologi menjadi alternatif memperbanyak populasi hewan ruminansia untuk konsumsi ataupun menjaga stok sapi yang unggul secara genetik. Untuk budi daya sapi potong, menurut Tri, umumnya dipakai inseminasi buatan. Ini adalah teknik memasukkan cairan mani menggunakan alat inseminasi ke alat reproduksi betina sehat supaya bisa membuahi sel telur. "Dari populasi 100 sapi bisa semuanya ikut proses inseminasi buatan."
Adapun teknik transfer embrio lebih kompleks dan ketat. Berbeda dengan teknik inseminasi buatan, dalam transfer embrio tidak semua sapi bisa digunakan. Para donor—sebutan untuk sapi yang akan digunakan dalam produksi embrio—diseleksi. Dalam populasi berisi 100 ekor, kemungkinan hanya 5-10 ekor yang dinilai layak. "Mereka harus lolos uji kesehatan ketat. Ketahuan cacingan saja, sapi itu sudah pasti dicoret dari daftar," ujar Tri.
Donor betina akan mendapatkan perawatan superovulasi. Panen cairan embrio dari donor betina biasanya bisa dilakukan tujuh hari setelah proses pembuahan. Cairan dibawa ke laboratorium untuk dipisahkan embrionya. Menurut Tri, kepastian kemunculan embrio di laboratorium harus diperiksa minimal oleh tiga orang. "Supaya ada pembanding data dan tidak keliru memutuskan embrio jadi atau tidak," kata Tri.
Embrio kemudian dimasukkan ke alat reproduksi sapi betina alias resipien dari jenis yang sama agar mereka bunting. Kondisi anak sapi atau pedet yang lahir nanti akan sama kualitasnya dengan para donornya. Dengan metode inilah stok sapi-sapi unggulan, termasuk untuk jenis yang langka seperti sapi Bali, bisa dipertahankan tanpa khawatir ada percampuran genetik dari jenis lain yang biasanya muncul akibat perkawinan.
Dengan transfer embrio, bibit murni bisa didapat dalam satu generasi. Sedangkan dalam inseminasi buatan, butuh lima generasi atau lebih dari 15 tahun untuk mendapatkan bibit dengan kemurnian 96 persen.
Meski hasilnya bagus, teknik transfer embrio tak bisa dilakukan terus-menerus. Untuk produksi embrio, sapi hanya bisa digunakan maksimal empat kali dalam setahun. Sapi umumnya hanya menghasilkan satu sel telur per tahun. Ada hormon khusus yang digunakan agar sapi bisa memproduksi lebih dari satu sel telur. Ini mirip dengan manusia yang menjalani terapi hormon untuk mendapatkan keturunan.
Sapi yang sudah menjalani proses transfer embrio harus istirahat total selama setahun. "Kalau dipaksakan tiap tahun, genetiknya bisa rusak karena pengaruh hormon," ujar Tri.
Masalah pakan juga mempengaruhi hasil transfer embrio. "Pakan yang jelek bisa mempersulit proses transfer embrio," ucap Bambang Purwantara, guru besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Selama ini ternak di Cipelang biasa diberi makan rumput gajah yang ditanam di lereng-lereng di sekitar kandang. Tumbuhan itu mendapat pasokan nutrisi organik dari kotoran sapi yang mengalir lewat selokan setiap kali kandang dibersihkan.
Setiap hari, 675 ekor sapi di peternakan itu bisa menghabiskan 22 ton rumput gajah. "Ditambah konsentrat khusus sekitar 2 ton," kata Syamsul, petugas pemeliharaan ternak.
Dalam setahun, BET Cipelang bisa menghasilkan sekitar 700 embrio. Embrio langsung digunakan atau disalurkan ke balai-balai peternakan milik Kementerian Pertanian atau mitra mereka di daerah lain. Stok embrio yang belum terpakai biasanya dibekukan dalam nitrogen cair bersuhu di bawah -196 derajat Celsius. "Selama pasokan nitrogen cair aman, embrio bisa bertahan selamanya dan siap dipakai lagi," ujar Bambang.
Transfer embrio ternyata tak melulu membutuhkan donor yang hidup. Menurut Tri, ovari milik sapi betina unggulan yang mati kurang dari delapan jam sebenarnya masih bisa dimanfaatkan. Sel telurnya masih bisa diambil dan kemudian diproses dengan cara yang sama di laboratorium. "Ia masih bisa menghasilkan keturunan asalkan induknya itu memenuhi syarat kesehatan seperti donor hidup."
Tri mengatakan BET Cipelang siap mengambil ovari milik sapi betina unggulan yang mati, entah karena tua entah dipotong untuk dikonsumsi. Biasanya ovari sapi ikut dibuang bersama jeroan yang tak dikonsumsi. Menurut Tri, sangat disayangkan jika ada sapi unggulan yang jelas identitasnya tapi tak bisa dibiakkan lagi. "Daripada ovarinya ikut terbuang, kabari kami saja, malah lebih berguna bisa dibiakkan," kata Tri. "Sapi unggulan itu bisa mendapat sertifikat identitas."
Ada satu anak sapi di BET Cipelang berasal dari proses transfer embrio memanfaatkan ovari milik sapi betina yang mati. "Itu dari jenis sapi wagyu, yang terkenal dagingnya enak untuk steak," ujar Syamsul. Selain itu, teknik transfer embrio memungkinkan seekor resipien melahirkan sapi kembar. Biasanya sapi hanya melahirkan satu anak. "Di sini ada dua-tiga pasang sapi kembar lahir dalam setahun," ucap Syamsul.
Gabriel Wahyu Titiyoga
PERBEDAAN TE DAN INSEMINASI BUATAN
Transfer embrio | Inseminasi buatan | ||||||||||||||||||||||||||||
1. Gen unggul dari pejantan dan betina unggul | 1. Gen unggul hanya dari pejantan | ||||||||||||||||||||||||||||
2. Membentuk bibit unggul | 2. Untuk memperbanyak populasi | ||||||||||||||||||||||||||||
3. Waktu pemurnian satu generasi | 3. Waktu pemurnian mencapai 15 tahun | ||||||||||||||||||||||||||||
4. Dilakukan secara selektif | 4. Bisa dilakukan massal | ||||||||||||||||||||||||||||
5. Khusus untuk pembibitan sapi | 5.Untuk budi daya | ||||||||||||||||||||||||||||
6. Mendapatkan kelahiran ganda | - | ||||||||||||||||||||||||||||
Tahun | Populasi | Donor | Resipien | ||||||||||||||
1995 | 82 | 59 | 3 | ||||||||||||||
2015 | 675 | 176 | 291 | ||||||||||||||
Tahun | Embrio | Bibit |
2011 | 1.672 | 97 |
2012 | 802 | 56 |
2013 | 930 | 60 |
2014 | 716 | 70 |
2015 | 1.738 | 80 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Edisi 1 Januari 2016
PODCAST REKOMENDASI TEMPO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini