Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HENDRA Sinadia seperti sedang berimprovisasi dengan kemacetan Jakarta yang kian parah dengan guyuran hujan. Dari Bandara Soekarno-Hatta, mobil chief attorney PT Freeport Indonesia itu meliuk-liuk mencari celah di sore Rabu pekan lalu. Namun, pria 42 tahun ini tak sedang menuju kantornya di kawasan segitiga emas Kuningan. Ia terus melaju ke Manggarai, Jakarta Selatan, tempat studio musik C-Pro. Petang itu, selama tiga jam selanjutnya, delapan musisi asal Makassar dijadwalkan berlatih sebelum tampil pada hari pertama Java Jazz Festival, Jumat 7 Maret 2008. ”Saya baru datang dari Timika,” ujar Hendra kepada Tempo. Tak terlihat tanda kelelahan di wajahnya.
Hendra bukan anggota Phinisi, grup yang sedang berlatih. Ia justru yang menyatukan mereka. ”Kawan-kawan ini adalah para aktivis Forum Jazz Makassar,” ujar Hendra tentang kedelapan rekannya: Yogi (saksofon), Beny Maelowa (keyboard), Bhur Ago (drum), Emir (gitar), Alex (bas), Imhe, Nhalo, serta Enho (gendang, kecapi, suling, perkusi). ”Ini impian saya selama 18 tahun yang menjadi nyata sekarang” katanya.
Forum Jazz Makassar, biasa disebut ForJams, adalah komunitas penggila jazz yang dibangun Hendra sejak 1989 saat menyelesaikan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. ”Saya terinspirasi oleh acara Jazz Goes to Campus (JGTC) di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,” katanya. Tak hanya memberi kesempatan pentas untuk musisi lokal, Hendra memboyong konseptor JGTC, musisi Candra Darusman, untuk unjuk kemampuan bermusik sekaligus membagi kiat membentuk komunitas. ”Tahun berikutnya baru dideklarasikan berdirinya komunitas jazz Makassar,” katanya mengenang. ”Secara teknis, inilah komunitas jazz pertama di luar Jawa.” Ia ingat bagaimana setiap pertemuan komunitas diikuti 40-50 orang, jumlah yang terhitung banyak untuk sebuah kota yang tak punya ”tradisi jazz”.
Pada 1995, Hendra memperdalam studi hukumnya di Los Angeles, Amerika Serikat, negeri yang juga merupakan firdaus para penggemar jazz. ”Di sana saya pelajari bagaimana komunitas jazz terbentuk dan melakukan interaksi,” katanya. Ia menerapkan ilmu itu saat kembali ke Tanah Air dan bertugas di Batam. Tangan dinginnya membentuk Batam Jazz Forum, yang aktif sejak September 1999. ”Pada malam sebelum deklarasi, anak pertama saya lahir. Saya namakan Herbie,” katanya tertawa. Herbie adalah nama yang dicomot dari pianis jazz favoritnya, Herbie Hancock.
Selama dua tahun berikutnya, BJF menggelar 16 acara konser. Puncaknya adalah Batam International Jazz Festival pada September 2001. Tak mengherankan, kadang-kadang terdengar seloroh yang sesungguhnya merupakan ungkapan takzim: di mana Hendra berada, di situ akan terbentuk komunitas jazz.
KOMUNITAS jazz di Tanah Air mempunyai sejarah hampir sembilan dekade sejak jazz pertama kali dimainkan di negeri ini pada 1922. Itu berarti hanya lima tahun setelah rekaman jazz pertama beredar di Amerika Serikat lewat album berisi dua lagu, Livery Stable Blues dan Dixie Jass Band One Step, yang dibawakan kelompok Original Dixieland Jass Band (berdiri pada 1916, namun setahun kemudian mengubah kata ”jass” menjadi ”jazz” yang dikenal sekarang).
Di Indonesia, musik ini awalnya memiliki societet tersendiri yang biasanya adalah warga Belanda atau kalangan Indo-Belanda. Namun, sifat societet itu sangat longgar, sampai Indra Malaon mendirikan Perhimpunan Jazz Indonesia pada 1983. Setelah Indra wafat, istrinya, Tuti Indra Malaon, antara lain bersama Tim Kantoso, mengubah PJI menjadi Himpunan Penggemar Musik Jazz (HPMJ) pada 1986. Namun, setelah Tim juga berpulang, komunitas ini lumpuh karena kesibukan Tuti dari menjadi dosen sampai melakoni dunia akting.
Komunitas jazz belakangan berdenyut lagi dengan maraknya festival jazz internasional yang diawali oleh Jakarta International Jazz Festival (Jakjazz). ”Festival internasional bisa menjadi ajang berkumpulnya anggota komunitas,” ungkap Benny Prayoga, 40 tahun, pendiri Jazz Lovers Pekalongan. Berbeda dengan Hendra yang tak memiliki hubungan pekerjaan formal dengan musik, Benny masih diuntungkan karena profesinya sebagai program director Radio Baureksa Suara Pekalongan (BSP). ”Karena di BSP ada acara jazz mingguan, dan juga ada kafe di samping stasiun radio yang bisa digunakan, mengapa tidak sekalian dimanfaatkan untuk membangun komunitas?” ujarnya. Tak butuh waktu lama, dalam setiap pertemuan JLP bisa terkumpul 100-an anggota aktif.
Sejak Juli 2007, Benny sudah tak lagi di BSP. Ia pindah kerja ke Trijaya FM Palembang. Kali ini persis seperti Hendra, ”tangan gatalnya” juga tak bisa diam. Belum setahun menetap di Kota Pempek, ia sudah mendirikan Palembang Jazz Community yang dideklarasikan pada Januari 2008. ”Pada Java Jazz ini, saya akan ke Jakarta bersama kawan-kawan untuk meluaskan networking komunitas,” katanya.
Fungsi komunitas tak cuma menyebabkan anggotanya cukup sebagai penikmat belaka. Beberapa orang justru memutuskan untuk menceburi dunia jazz lebih serius setelah aktif di komunitas. Contohnya adalah Tuti Ardi, 42 tahun, yang kini menjadi penyanyi jazz dan biasa tampil di Hu’U Bar & Resto di Petitenget, Bali. ”Sebelum jadi penyanyi saya adalah guru bahasa Inggris untuk anak-anaknya,” katanya.
Saat itu Tuti masih tinggal di Yogyakarta. Bernyanyi hanya dilakukannya sebagai hobi. ”Ternyata menurut salah seorang paman, suara saya seperti Ella Fitzgerald,” katanya, menyebut nama penyanyi jazz berpengaruh dari Amerika Serikat. ”Dan itu baru dia beri tahu setelah saya berumur 28-29 tahun.” Setelah bertemu dengan Agung Prasetyo (bas) dan BJ (drums), ketiganya membentuk trio Tuti ’n’ Friends yang biasa tampil di Gajah Wong Cafe. Belakangan, ketiganya juga menjadi motor terbentuknya Jogja Jazz Club pada 2001. ”Wah, anggotanya banyak sekali dan banyak yang mainnya jago,” katanya.
Namun, tak ada yang lebih spektakuler dari pengalaman sembilan anak muda yang bergabung dalam Jazz Perhaps, kelompok yang terbentuk pada Februari 2008. Sampai awal tahun ini mereka masih berada di grup-grup yang berbeda. ”Pada Java Jazz tahun lalu saya hanya menjadi penonton sambil membayangkan bagaimana ya rasa tampil ditonton ribuan orang di sebuah festival internasional?” ujar Dave Gerard Que, 21 tahun, mahasiswa semester dua jurusan advertising, yang menjadi vokalis utama. Pikiran serupa juga terlintas di benak Inonk (vokal), Ken Soeseno (bas), Johanes Sandy (gitar), Robi Trisnadi (saksofon), dan Yosi (drum).
Tak mau bermimpi muluk-muluk, mereka hanya melanjutkan berlatih dengan kelompok masing-masing dan berbaur dengan para pencinta jazz lain, terutama dengan Komunitas Jazz Kemayoran yang dipimpin Beben Supendi. Tak dinyana, sebuah kesempatan emas terbuka di awal tahun begitu Java Jazz membuka kesempatan audisi bagi artis atau band pemula yang berbasis komunitas.
Sebuah panggung yang disediakan kelompok Masima (kelompok radio Prambors, Delta, Female) menjadi ajang langka untuk lima artis/band terpilih. Lebih dari 120 contoh lagu masuk, salah satunya adalah Kicir-kicir hasil aransemen Jazz Perhaps, yang membuat panitia menganggukkan kepala. Mengapa namanya Jazz Perhaps? ”Sebetulnya kami hanya penggemar musik jazz, belum berani mengklaim sebagai pemusik jazz,” ujar Ken, 24 tahun, yang didapuk rekan-rekannya menjadi pemimpin grup.
Sabtu pekan lalu, bersama tiga rekan mereka, Intan (vokal), M. Tamzil (perkusi), dan Jefri Haryanto (keyboard), Jazz Perhaps tampil di Masima Stage. ”Sampai sekarang rasanya masih mimpi bahwa pengaruh komunitas jazz bisa seperti ini terhadap kami,” ujar Inonk, 25 tahun, mahasiswi semester empat Akademi Bahasa Asing.
Usai kemeriahan Java Jazz, akan lindap pulakah denyut komunitas jazz? Hendra Sinadia menggelengkan kepala. ”Batam Jazz Forum akan menggelar event juga akhir Maret ini, meski persiapan belum matang.” katanya yakin. Astaga, dengan waktu yang tinggal dua pekan lagi? ”Komunitas jazz itu biasanya militan,” katanya tertawa. ”Itu yang membuat saya betah di antara mereka.” Ia seperti menggaungkan kembali kata-kata Herbie Hancock yang terkenal itu: It pulled me like a magnet, jazz did, because it was a way that I could express myself
Akmal Nasery Basral
Jadi, Anda Ingin Menjadi Anggota Komunitas?
- Komunitas Jazz Kemayoran Beben Supendi (0856-91736166)
- Jogja Jazz Club Agung Prasetyo (0817-9451076)
- Klab Jazz Bandung Niman (0817-2288862)
- Kaltim Jazz Lovers Deden Nugraha (0812-5318070)
- Forum Jazz Makassar & Batam Jazz Forum Hendra Sinadia (0812-1032397)
- Jazz Lovers Pekalongan Radio BSP 103,8 FM (0285-424597)
- Palembang Jazz Community Benny Prayoga (0818-296859)
- Surabaya CTwoSix Cak Rudi (031-8710034)
- Bali Jazz Forum Arief Budiman (0361-481906)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo