Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TINGGINYA harga minyak goreng saat ini rasanya sulit diterima. Dengan posisi Indonesia sebagai penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) terbesar di dunia, mestinya harga minyak goreng tak setinggi sekarang. Di sejumlah kota, kenaikannya sudah melampaui 300 persen dibandingkan tiga tahun silam. Angka ini sudah jauh di atas inflasi.
Secara teoretis, pasokan bahan baku yang cukup akan bisa menjaga harga tetap rendah. Di atas kertas, minyak sawit mentah yang digelontorkan ke pasar domestik mencukupi. Kebutuhan akan minyak goreng nasional pun tidak melonjak. Dengan kondisi seperti itu, mestinya tercipta keseimbangan pasokan dan permintaan. Tapi, celakanya, itu semua cuma hitung-hitungan di atas kertas.
Kenyataannya, harga minyak goreng membubung tinggi. Sangat mungkin bahwa itu terjadi karena adanya perubahan pasar CPO secara fundamental. Selama ini, minyak sawit mentah dibutuhkan untuk bahan baku minyak goreng. Tapi, dengan kian tingginya harga minyak bumi, CPO menjadi bahan baku alternatif untuk bahan bakar nabati (biofuel).
Banyak negara berlomba membangun kilang biofuel, seperti Malaysia, Cina, dan Amerika Serikat. Pergeseran inilah yang kemudian mendorong naiknya permintaan CPO di pasar dunia, dan pada akhirnya mengganggu keseimbangan pasar sawit mentah. Tidak mengagetkan jika harganya meroket. Pada 2005, harga sawit Sumatera baru pada kisaran US$ 400 per ton. Akhir tahun lalu, sudah di atas US$ 900.
Langkah pemerintah menghadang fenomena itu dengan berbagai kebijakan fiskal sudah tepat. Pajak ekspor mestinya bisa menahan laju ekspor CPO, sehingga pasokan di dalam negeri mencukupi. Namun pemerintah toh tidak bisa terus menaikkan pajak ekspor. Jika terlalu tinggi, justru akan tercipta disparitas harga yang terlalu lebar dan ini akan mendorong penyelundupan.
Kebijakan ini tak ubahnya permainan layang-layang. Kadang ditarik, kadang diulur. Yang penting, tujuan menaikkan layang-layang setinggi mungkin tercapai. Begitu juga di pasar CPO domestik. Pajak ekspor bisa saja dinaikkan atau diturunkan, tapi tujuan akhirnya tetap, yakni menjamin pasokan minyak sawit mentah di dalam negeri.
Kebijakan fiskal lain dalam bentuk subsidi tidak langsung dengan cara pemerintah menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) juga bisa diterima. Mestinya, ini juga bisa menurunkan harga minyak goreng karena pajaknya seolah-olah nol persen. Tapi harga minyak goreng tetap saja makin tak terjangkau. Akibatnya, subsidi tidak langsung ini menguap tanpa hasil.
Lalu, apa lagi yang bisa dilakukan? Pemerintah sebetulnya bisa mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor melalui sistem kuota. Setiap pengusaha baru boleh mengekspor jika sudah memenuhi kewajibannya di dalam negeri dalam jumlah tertentu. Tentu harus ada sanksi bagi yang melanggar. Ini perlu dilakukan agar tercipta keseimbangan pasokan-permintaan di pasar domestik yang bisa membentuk harga yang wajar.
Dengan cara itu, berbagai instrumen fiskal pemerintah tersebut baru bisa memberikan manfaat. Kalau kebijakan ini dinilai tidak cukup, subsidi langsung tunai bisa menjadi pemecahannya. Pemerintah memang sudah menyediakan Rp 500 miliar. Ini bisa menjadi semacam insentif bagi pengusaha karena mereka tetap bisa menjual dengan harga pasar dan masyarakat bisa membeli dengan harga terjangkau.
Kendati demikian, kebijakan seperti itu tidak bisa dilakukan terus-menerus karena anggaran negara bisa tekor. Karena itu, diperlukan kebijakan di bidang energi yang komprehensif dan bersifat jangka panjang. Gaya hidup masyarakat juga harus diubah. Sudah saatnya semua menyadari bahwa banyak hal di dunia ini serba terbatas dan ada harganya. Berhemat menjadi pilihan tak terelakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo