AMIN Iskandar hampir saja menjadi "korban". Anggota DPR dari FPP, yang baru ketahuan mengidap penyakit jantung sejak Desember tahun lalu, sedianya termasuk pasien yang akan mengalami bedah jantung di Rumah Sakit Harapan Kita. Ia bersama tiga pasien lainnya mendadak membatalkan niatnya setelah mendengar sebagian besar pasien yang menjalani operasi sebelumnya meninggal dunia. Amin memang kepingin berobat di rumah sakit yang memiliki perlengkapan bedah jantung terlengkap di Indonesia itu. "Ada dokter yang menyarankan saya dioperasi, dan kebetulan ada tim dokter dari Houston datang kemari," ujar Amin Iskandar mengisahkan pengalamannya pada Musthafa Helmy dari TEMPO pekan ini. Tanggal 3 April, ia masuk Rumah Sakit Harapan Kita setelah Asuransi Kesehatan (Askes) menyanggupi menanggung biaya operasi sebesar Rp 20 juta. Sebuah tim dokter - terdiri dari enam orang - yang sengaja diundang dari Pusat Kesehatan Houston, AS, rumah sakit kenamaan dalam bedah jantung, memang sedang berada di rumah sakit yang baru diresmikan November tahun lalu. Amin sebenarnya terdaftar pada urutan nomor 2. Urutan pertama, menurut bekas duta besar di Irak itu, adalah Dr. Hadi, menantu tokoh NU K.H. Zaifuddin Zuhri. "Tapi entah bagaimana saya digeser ke belakang, juga Dr. Hadi itu," ujar Amin. Pada minggu pertama April, kata Amin lebih lanjut, dilakukan lima pembedahan. Di antaranya Haji Benyamin, kakak kandung Haji Bakrie, pemilik perusahaan Bakrie Brothers. Ternyata, empat orang meninggal sesudah dioperasi dan seorang yang bisa bertahan, menurut Amin, dalam keadaan kritis. Pada minggu kedua Amin mendengar lagi kegagalan. Kali ini yang menjalani operasi adalah kemanakan Ketua Fraksi ABRI DPR Soebijono. "Ia sampai kehabisan darah, dan para dokter sampai menyumbangkan darah mereka," kata Amin. Menghadapi kegagalan demi kegagalan itu, banyak perawat menyarankan agar Amin mengurungkan niatnya menjalani operasi. Namun, Amin masih bertahan. Sampai, suatu siang 11 April lalu, sebuah tim dokter Harapan Kita memanggil empat pasien lainnya yang akan menjalani pembedahan. "Secara medis menurut para dokter itu, pembedahan-pembedahan lalu bisa dipertanggungjawabkan," kata Amin, "tapi mengapa terjadi kegagalan, para dokter mengaku belum mengetahui dengan pasti." Tim dokter lalu menyarankan agar keempat pasien berikutnya, termasuk Amin, mempertimbangkan kembali niat menjalani operasi jantung itu. Keesokan harinya, 12 April siang hari, Amin mencoba menghubungi ketiga pasien lainnya mencoba berdiskusi soal apakah niat operasi sebaiknya dilanjutkan atau tidak. Ternyata, ketiga pasien lain itu sudah meninggalkan rumah sakit. Amin pun kemudian tak ragu-ragu, membatalkan niatnya. Sebuah sumber di RS Harapan Kita membenarkan, dari delapan pasien yang menjalani operasi jantung di rumah sakit itu, tujuh ternyata meninggal. Sumber itu menyebutkan sebab kematian belum jelas. Banyak dokter di lingkungan rumah sakit itu masih bertanya-tanya. Mengenai kualitas dokter yang dari Houston itu, sumber yang tak mau disebutkan namanya itu berpendapat, tak ada yang perlu diragukan. Mereka adalah tim yang terpilih dan kerja sama antara Pusat Kesehatan Houston dan RS Harapan Kita sudah dijalin sejak sebelum RS Jantung itu dibangun akhir tahun lalu. Tim dari Amerika itu datang 23 Maret lalu dan bekerja sampai 23 April pekan ini. Mereka adalah Dr. Hartwell Whissanand, ahli bedah jantung yang bertindak sebagai ketua tim Dr. Vargo, ahli bedah jantung anak, dan Dr. Joseph Naples ahli anastesi. Ketiga dokter dari AS ini membawa dua perawat dan seorang teknikus untuk melayani peralatan canggih dalam pembedahan jantung itu. Dalam menjalankan operasi di Harapan Kita, ketiga dokter lulusan Baylor College of Medicine, Houston, itu bekerja dalam sebuah tim bersama dokter-dokter dari Indonesia. Kerja sama itu konon meliputi pula diskusi bahkan semacam konperensi. Sumber TEMPO menyebutkan dari tujuh orang yang meninggal dalam pembedahan, dua ternyata memang sudah berada dalam kondisi parah ketika menjalani operasi. Kedua kasus ini, kurang lebih, sudah diketahui sebab kematiannya. Yang seorang, anak kecil. Ketika menjalani pembedahan, tiba-tiba ginjalnya tak berfungsi. "Yang lain, katup jantungnya memang sudah jelek sekali kondisinya," ujar sumber itu pada Gatot Triyanto dari TEMPO. Yang masih mengundang tanda tanya, lima pasien lainnya yang meninggal. Kebetulan semuanya menjalani operasi pintas koroner - operasi yang relatif tidak terlampau sulit. Menurut sumber TEMPO, kelima pasien itu tampaknya tidak mengidap sakit berat. Dalam arti, masih mampu berjalan sendiri. Inilah yang sangat mencengangkan, sebab misalnya pun kelimanya tergolong kasus berat, angka mortalitas paling-paling 10%. "Berdasar angka statistik di luar negeri, kegagalan operasi semacam ini paling tinggi 2%," ujar sumber TEMPO itu lagi. Ketika ditemui pekan ini, Direktur RS Jantung Harapan Kita Dr. Sukaman membenarkan semua keterangan sumber TEMPO itu. Namun, ia tak bersedia memberikan keterangan lebih lanjut. "Selanjutnya saya no comment," katanya agak berang. Namun, yang terasa janggal, para dokter dari Amerika, dari rumah sakit De Bakey, dokter bedah jantung kenamaan yang sudah sering mondar-mandir ke Jakarta itu, ternyata terkejut ketika mendengar tujuh dari pasien mereka meninggal. Ketika ditemui di Hotel Hilton, Jakarta, ketua tim Dr. Hartwell Whissanand sedang sakit. Yang kemudian bisa diwawancarai hanya kedua dokter lainnya. Vargo, yang ahli bedah jantung anak, mengakui seorang anak meninggal ketika dioperasi. Tapi tentang yang lain, mereka mengaku tak tahu. Lagi-lagi aneh, Vargo dan Naples memberikan keterangan berbeda dengan sumber TEMPO. "Pasien-pasien di sini rata-rata sudah kondisi lanjut," kata Naples kepada Mohamad Cholid dari TEMPO. Tapi di sisi lain, mereka mengaku tak ada masalah ketika operasi berlangsung. Nah, jadi apa yang sebenarnya terjadi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini