BEBERAPA tahun lalu, masyarakat bertikai apakah asam glutamat pada bumbu masak berbahaya atau tidak. Sampai pekan lalu, soal monosodium glutamat itu belum juga dituntaskan. Kini timbul soal baru. Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) mengimbau pemerintah agar menolak iradiasi makanan. "Sebab, makanan yang teriradiasi belum terbukti betul-betul aman," kata Zaim Saidi, staf peneliti YLK. Secara teknis, iradiasi makanan bukan hal baru. Bahwa sekarang diributkan, karena pekan ini 16 Desember -- berlangsung konperensi tingkat dunia yang membahasnya di Jeneva, Swiss. Penyelenggaranya: Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang bekerja sama dengan WHO, FAO, UNCTAD, dan GATT. Agaknya, mereka hanya akan memakai forum itu sebagai alat untuk mengesahkan bahwa iradiasi itu aman untuk makanan. Gerakan pembela konsumen, seperti biasa, naik berang. Lembaga International Food Irradiartion Network gencar melakukan studi dan penelitian untuk soal itu. Tanggal 3 Oktober lalu, jaringan organisasi konsumen Eropa dan Amerika Utara bertemu dan membicarakannya di Brussel. Mereka, menurut siaran pers YLK, "mendesak WHO agar membeberkan secara terbuka penelitian keamanan teknik iradiasi makanan." Selain itu, mereka minta agar negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) menolak masuknya makanan yang telah diiradiasi ke pasar mereka. Di Canberra juga diadakan pertemuan serupa, untuk Asia Pasifik. Bicara soal iradiasi, masyarakat umum sering membayangkan nuklir. Dasarnya boleh dibilang sama. Setelah dunia terguncang peristiwa Hiroshima, para ahli mulai mengalihkan pemanfaatan tenaga atom buat tujuan damai, di antaranya untuk teknologi pangan. Iradiasi bisa dipakai buat membunuh mikroba, juga untuk menghentikan proses biologis. Tentu, iradiasi dapat dipakai buat mengawetkan makanan. Mengawetkan makanan dengan cara itu bukan luar biasa. Prinsipnya hanya memancari makanan dengan sinar-X, gamma, atau elektron, sehingga terjadi ionisasi atau reaksi kimia. Akibatnya, pertunasan umbi-umbian (misalnya kentang) bisa terhenti. Juga, mikroorganisme yang membikin busuk makanan dapat dimatikan. Yang banyak dipakai buat mengiradiasi makanan adalah Cobalt-60. Sedang volume penyinaran, lazim diukur dengan satuan Gray atau kiloGray (kGy). Menurut Ir. Munsiah Maha, Kepala Instalasi Iradiasi Batan, teknik ini banyak manfaatnya. Iradiasi tak punya residu kimia tak mempengaruhi kesegaran -- misalnya buah serta tembus tapi tak merusakkan kemasan apa pun. Kini sudah 22 negara termasuk Indonesia, lewat persetujuan Menteri Kesehatan Nomor 826 Tahun 1987 mengesahkan 39 macam makanan iradiasi. Lembaga Kesehatan Dunia, WHO, membatasi iradiasi makanan 10 kGy saja. Ini yang mereka jamin aman. Betapapun rendah tingkat iradiasi, gerakan konsumen tetap menyoalkan kata "aman" itu. Menurut YLK, teknik iradiasi untuk mengawetkan makanan pasti berisiko tinggi. Selalu terbuka peluang untuk disalahgunakan. Dari penelitian di India, diketahui bahwa iradiasi makanan menyebabkan polyploidy (penggandaan kromosom secara tidak normal) -- gejala yang berkaitan dengan kanker darah -- pada hewan percobaan. Di Jepang, ditemukan bahwa iradiasi mengurangi kesuburan reproduksi hewan. Munsiah membantah anggapan itu. "Kalau YLK benar, tentu saya dan kawan-kawan sudah terserang kanker," kata Munsiah, yang sudah berulang kali mencicipi makanan iradiasi. Lagi pula, sistem itu punya pengaman. "Kalau cobalt-nya dipanjer kayak senter, ya rusak semua." Tetapi YLK bersiteguh menolak. "Kalau benar aman," kata Zaim Saidi, "mengapa negara maju nampak enggan memakai teknologi itu?" Selandia Baru, misalnya, yang sebagian besar devisanya bersumber dari industri makanan, telah dengan tegas menolak penggunaan iradiasi. Zaim Uchrowi dan Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini