TK. Soeprana, pendiri pabrik jamu "Cap Jago" di Wonogiri
(Ja-Teng) itu, dikatakan suka bertapa untuk memajukan
perusahaannya. Suatu kali, ketika tengah khusyuk bersamadi, ia
mendapat wangsit. Isinya "Kalau kelak perusahaanmu besar dan
berhasil, jangan lupa peliharalah orang cebol."
Soeprana melaksanakan wangsit itu. Orang-orang yang berukuran
mini ia kumpulkan. Mereka ditugasi menawarkan jamu.
Anak dan cucu almarhum Soeprana yang meneruskan bisnis jamu
tradisional itu, juga melaksanakan wangsit tadi, sampai
sekarang. Di antara orang-orang mini itu adalah Prasojo, 32
tahun, dengan tinggi badan 115 cm. Ia dilahirkan dari keluarga
normal di Wonogiri.
Ketika menginjak remaja, Prasojo selalu merenungi nasibnya. Mau
bertani tidak mampu mengayunkan cangkul. Ia juga sadar, ia tidak
bisa memikul keranjang untuk berdagang. Tidak ada jalan lain
bagi Prasojo kecuali mengasingkan diri dan bersamadi. Hasilnya?
Selepas SD, secara kebetulan ia bertemu dengan Bing An dari
Solo, anak pendiri pabrik "Jamu Jago". Dengan senang hati ia
terima tawaran pekerjaan untuk mempromosikan berbagai jamu
keluaran pabrik itu.
Sebelum bertugas, Prasojo bersama teman-temannya yang juga
cebol, digembleng. Mereka harus hafal segala jenis jamu dan
khasiatnya. Kecuali itu juga diajarkan berpantun, melawak dan
menari untuk menawarkan dagangan. "Untuk menari, tidak ada
kesulitan. Sebelum masuk, saya sudah biasa menirukan peran "
Bagong" dalam wayang orang," katanya dengan suara besar.
Berkokok
Pagi hari, mobil bergambar "Jamu Jago" meluncur dari kantor
pusatnya dengan membawa rata-rata 4 orang cebol. Di tempat
ramai, misalnya pasar, arena promosi, tempat perayaan dan
lain-lain, mobil mangkal. Prasojo langsung menyambar pengeras
suara dan berkokok seperti ayam jantan. Setelah itu, ia mulai
menawarkan dagangan. Kalau mobil belum dirubung orang, ia
lanjutkan dengan berteriak-teriak melawak.
Cara lain untuk menarik perhatian masyarakat ialah dengan
menari-nari disertai iringan musik. Tentu saja dipilih tarian
yang paling disukai masyarakat. "Sekarang yang lagi ngetop,
dangdut," katanya.
Jam dinas mereka dari pagi sampai malam, dari kota satu ke kota
lain. "Hampir semua kota di Indonesia sudah saya jelajahi.
Sering harus naik kapal terbang," kata Prasojo bangga.
Dengan ukuran tubuh yang tak normal, ia tidak luput dari ejekan
orang. Suatu ketika, seorang pemuda mengejeknya. "Hei . . . apa
kau dapat bermain dengan waniu?" Si cebol yang ditanyai kontan
menjawab dengan berseloroh "Kamu bawa kemari seorang perempuan,
boleh lihat hasilnya." Pemuda itupun terdiam.
Buktinya Prasojo memang berhasil menggaet salah seorang wanita
pegawai "Jamu Jago", yaitu Suparmi, putri Solo yang tinggi
semampai berkulit kuning. Menurut Prasojo, ia berhasil
menaklukkan Suparmi berkat kelihaiannya berpropaganda --seperti
mempropagandakan jamu, tentu saja. Ia resmi mengawini Suparmi 10
tahun lalu, dengan restu orang tua masing-masing.
Perkawinan Prasojo dengan gadis normal dan cantik itu dianggap
teman-temannya sebagai prestasi gemilang seorang cebol. Apalagi
setelah setahun pernikahan, Prasojo dan Suparmi mendapat seorang
anak perempuan. "Saya was-was menunggu kelahirannya. Saya takut
keadaan tubuhnya," kata Suparmi. Ia lega setelah anak pertamanya
lahir normal. Begitu pula anak kedua, ketiga dan keempat, semua
berukuran normal.
Prasojo yang berkulit hitam, berkumis dengan dua gigi emas
menghiasi mulutnya, bisa hidup tenang dan menyekolahkan anaknya
dengan menjajakan "Jamu Jago". Gajinya Rp 28.000 sebulan.
Belakangan ia keluar dari perusahaan jamu itu dan pindah ke
pabrik rokok kretek di Solo. "Saya pindah bukan lantaran gaji
atau konflik. "Jamu Jago" sering terlalu lama mengajak
keliling," katanya. Setelah punya anak istri, ia tidak suka
pergi terlalu lama.
Walau sudah beranak empat, selama bertugas ia masih sering
diejek anak kecil soal kemampuannya sebagai laki-laki. Maka
menjawablah Prasojo dengan pantun: "Gadis bidan suka minum
cokelat, rasa nikmat sambil makan tahu. Wujud badan bisa
dilihat, tapi kekuatanku mana sampeyan tahu."
Sahron, 35 tahun, juga bekerja di "Jamu Jago", mempunyai
ketinggian tubuh '80 cm. Ia yang berasal dari Wonosobo, Ja-Teng,
ini berhasil menggaet putri Solo, Ponsiatun menjadi istrinya.
Kebetulan Pon -- panggilan istrinya--juga sama-sama bekerja pada
"Jamu Jago" cabang Solo. 'lPokoknya begitu ketemu, kami terus
jatuh cinta," tutur Sahron. Dengan penghasilan Rp 30.000
sebulan, ditambah premi dan uang perjalanan, ia hidup
berkecukupan bersama istri dan seorang anaknya yang bertubuh
normal.
Yang membuatnya gembira justru karena pekerjaan itu ringan.
"Ketika di panggung, saya merasa seperti main-main saja,"
katanya. Dia senang kalau penonton memuji dan bertepuk tangan.
Tapi ia terpaksa cepat-cepat bersembunyi ketika tiba-tiba ada
batu berjatuhan di atas panggung --seperti dialaminya beberapa
waktu lalw ketika berkeliling di beberapa kota di Sumatera.
Dari enam bersaudara, ada dua orang yang cebol, yaitu Sahron dan
kakak perempuannya. Ceritanya, kakeknya dulu suka pergi ke
Kraton Solo. Di sana banyak dipelihara orang-orang pendek untuk
kelangenan (menyenangkan hati) raja. Diam-diam kakeknya jatuh
hati pada orang cebol--tapi tak kesampaian. Eh, ternyata dua
orang cucunya lahir cebol.
Kisah ini mirip dengan yang dialami Sarwono, orang mini dari
"Jamu Jago" pula. Katanya, ketika ia masih dalam kandungan,
ibunya melihat pertunjukan orang cebol yang manggung di
desanya, Jatisrono, Wonogiri. "Nah, setelah lahir, saya yang
jadi cebol," kata Sarwono, 25 tahun, dengan tinggi tubuh 120 cm.
Walau badannya tidak normal, bulan lalu ia mengawini Mulyati,
gadis normal satu kampung dengannya. "Rasanya biasa-biasa saja.
Tidak ada orang yang mengolok-olok saya," kata Sarwono.
Kebanyakan orang cebol memang sudah pasrah pada nasib. "Ya,
memang ditakdirkan begini, mau bilang apa," kata I Nyoman Raka,
48 tahun, dengan tinggi badan 110 cm dan berat 55 kg. Jebolan SD
zaman Jepang dari Sanur, Bali itu, masuk "koleksi" Jamu Jago
sejak 31 tahun lalu.
Dari hasil menjajakan dagangan diatas panggung, Nyoman bisa
mengantungi uan sedikitnya Rp 60.000 sebulan. Penghasilannya
cukup untuk istri dan 5 anaknya. Kebetulan seorang anaknya,
Noerachman berusia 17 tahun tinggi badannya cuma 100 cm. Setelah
tamat SMP, ia mendampingi ayahnya berjoget di atas panggung.
Menjadi alat promosi, bagi I Nyoman Raka tidak susah. "Selama
keliling, makan dan hotel gratis," katanya. Kecuali itu, ia
bebas minum jamu di atas panggung. "Makanya saya selalu sehat
saja," katanya seperti menawarkan jamu di atas panggung sambil
menunjukkan otot tangannya.
Tapi tidak semua orang cebol bisa mengatasi rasa rendah diri.
Wahyudi, 35 tahun, teman sekerja Raka, termasuk salah seorang
yang kurang percaya pada diri sendiri. Bahkan mendekati wanita
pun tidak berani. "Mau cari pacar, takut nggak mau sama saya,"
katanya. Tapi dengan tersenyum kecut ia menghibur diri. "Saya
optimistis, sebab banyak cewek ketawa melihat saya," katanya.
Tak Boleh Hamil
Yang paling susah justru dua wanita cebol, dari "Jamu Jago"
pula, yaitu Hegarmanah dan Etik. Keduanya ikut rombongan
propaganda jamu. Apa susahnya? Mereka bisa kawin, tapi tidak
boleh hamil. Sebab konon kalau bayinya normal, bisa mencelakakan
ibunya yang cebol itu. Walau demukian, teman-teman prianya yang
masih bujangan sering mengincar mereka. Namun, rupanya jodoh
mereka masih jauh.
Khori, 26 tahun, jebolan Pesantren Kraksaan, Probolinggo,
Ja-Tim, sebenarnya dilarang istrinya manggung jual obat. Tapi,
"saya merasa asyik dengan pekerjaan ini," katanya. Pekerjaannya
mudah, hanya berjoget. Yang bernyanyi dan berteriak menawarkan
jamu adalah kaset yang diputar di dalam mobil. "Dulu, sewaktu
masih baru, saya kira penonton cuma tertawa mengeJek. Tapi
lama-lama saya tahu, mereka benar-benar terhibur," katanya.
Membuat orang tertawa merupakan tema pokok atraksi orang cebol.
"Pada kesempatan itu, kami memperkenalkan produk kami," kata
Abdul Rachman, 28 tahun yang tingginya 109 cm. Ia termasuk orang
mini di pabrik batu baterai "ABC" yang ikut berpromosi di arena
Medan Fair bulan lalu. Abdul diajak dan dibawa keliling dari
kota asalnya, Banda Aceh, sejak 8 tahun lalu. Laki-laki
bertampang anak-anak ini memang sering diejek oleh anak-anak
kecil. "Saya tidak pernah marah. Mereka justru saya dekati,"
katanya.
Karena itu, ayah seorang anak bertubuh normal ini, selalu
disenangi anak kecil selama berkeliling dari kota ke kou
lainnya. "Yang bisa saya lakukan terbatas, tidak seperti orang
normal," kata Abdul yang cuma sempat menginjak kelas V SD itu.
Jarang Mandi
Bisa disenangi anak kecil, merupakan modal pokok bekerja di
tempat mainan anak-anak seperti di toko yang menjual mainan
anak-anak, "Bobo", Jakaru. Solihin, 19 tahun, laki-laki berambut
kribo dengan tinggi badan 109 cm, ditugasi menjaga ruang radio
kontrol dan mobil remote control. Setelah 2 tahun bekerja, ia
bisa mengantungi gaji Rp 27.000 sebulan, cukup untuk makan dan
mengontrak sebuah rumah bersama teman-temannya yang juga cebol
di bilangan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Sesekali ia bisa
menyisihkan uang untuk orang tuanya di Ciamis Selatan, Ja-Bar.
Setelah lulus SD, Solihin semula bergabung dengan perusahaan
anggur cap "Orang Tua". Tugasnya, menari dan melawak. Ia keluar
dari perusahaan itu, lantaran kesehatannya kurang baik. "Selama
keliling, jarang mandi," katanya. Karena itu, ketika melamar ke
"Bobo", Solihin dikira orang dari Timor Timur. "Saya hitam
sekali dan keriting," katanya. Mengapa keriting? "Dulu saya
sakit panas, nggak tahu tiba-tiba rambut saya jadi begini,"
tuturnya.
Teman sekerjanya, Dadang, 20 tahun, dengan tinggi 90 cm,
kelihatan lebih tampan dari Solihin. Kulit kuning, rambut
dipotong pendek dan hidung mancung. Dari 5 saudaranya, hanya
Dadang yang mini. Meski demikian, pemuda asal Tegal, Ja-Teng,
ini tidak merasa rendah diri.
Sering ia digoda anak-anak, tapi ditanggapinya dengan kelakar.
"Saya tidak pernah measa kesal melayani pembeli," katanya. Satu
hal yang menguntungkannya, yaitu soal makanan dan pakaian.
Porsinya seperti anak-anak. Sepatu ukuran anak kecil, nomor 20.
Sepotong kain celana untuk orang normal bisa dijadikan 2 celana.
Tapi yang masih menjadi tanda tanya baginya, adalah soal kawin.
"Memang saya berpikir perlu kawin, tapi .... nggak tahu nih,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini