Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Orang Mini Di Tengah Promosi

Beberapa orang cebol dipekerjakan oleh beberapa perusahaan jamu untuk menawarkan dagangannya, ada yang beristri dan beranak normal. mereka tidak merasa di peralat oleh perusahaan.

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TK. Soeprana, pendiri pabrik jamu "Cap Jago" di Wonogiri (Ja-Teng) itu, dikatakan suka bertapa untuk memajukan perusahaannya. Suatu kali, ketika tengah khusyuk bersamadi, ia mendapat wangsit. Isinya "Kalau kelak perusahaanmu besar dan berhasil, jangan lupa peliharalah orang cebol." Soeprana melaksanakan wangsit itu. Orang-orang yang berukuran mini ia kumpulkan. Mereka ditugasi menawarkan jamu. Anak dan cucu almarhum Soeprana yang meneruskan bisnis jamu tradisional itu, juga melaksanakan wangsit tadi, sampai sekarang. Di antara orang-orang mini itu adalah Prasojo, 32 tahun, dengan tinggi badan 115 cm. Ia dilahirkan dari keluarga normal di Wonogiri. Ketika menginjak remaja, Prasojo selalu merenungi nasibnya. Mau bertani tidak mampu mengayunkan cangkul. Ia juga sadar, ia tidak bisa memikul keranjang untuk berdagang. Tidak ada jalan lain bagi Prasojo kecuali mengasingkan diri dan bersamadi. Hasilnya? Selepas SD, secara kebetulan ia bertemu dengan Bing An dari Solo, anak pendiri pabrik "Jamu Jago". Dengan senang hati ia terima tawaran pekerjaan untuk mempromosikan berbagai jamu keluaran pabrik itu. Sebelum bertugas, Prasojo bersama teman-temannya yang juga cebol, digembleng. Mereka harus hafal segala jenis jamu dan khasiatnya. Kecuali itu juga diajarkan berpantun, melawak dan menari untuk menawarkan dagangan. "Untuk menari, tidak ada kesulitan. Sebelum masuk, saya sudah biasa menirukan peran " Bagong" dalam wayang orang," katanya dengan suara besar. Berkokok Pagi hari, mobil bergambar "Jamu Jago" meluncur dari kantor pusatnya dengan membawa rata-rata 4 orang cebol. Di tempat ramai, misalnya pasar, arena promosi, tempat perayaan dan lain-lain, mobil mangkal. Prasojo langsung menyambar pengeras suara dan berkokok seperti ayam jantan. Setelah itu, ia mulai menawarkan dagangan. Kalau mobil belum dirubung orang, ia lanjutkan dengan berteriak-teriak melawak. Cara lain untuk menarik perhatian masyarakat ialah dengan menari-nari disertai iringan musik. Tentu saja dipilih tarian yang paling disukai masyarakat. "Sekarang yang lagi ngetop, dangdut," katanya. Jam dinas mereka dari pagi sampai malam, dari kota satu ke kota lain. "Hampir semua kota di Indonesia sudah saya jelajahi. Sering harus naik kapal terbang," kata Prasojo bangga. Dengan ukuran tubuh yang tak normal, ia tidak luput dari ejekan orang. Suatu ketika, seorang pemuda mengejeknya. "Hei . . . apa kau dapat bermain dengan waniu?" Si cebol yang ditanyai kontan menjawab dengan berseloroh "Kamu bawa kemari seorang perempuan, boleh lihat hasilnya." Pemuda itupun terdiam. Buktinya Prasojo memang berhasil menggaet salah seorang wanita pegawai "Jamu Jago", yaitu Suparmi, putri Solo yang tinggi semampai berkulit kuning. Menurut Prasojo, ia berhasil menaklukkan Suparmi berkat kelihaiannya berpropaganda --seperti mempropagandakan jamu, tentu saja. Ia resmi mengawini Suparmi 10 tahun lalu, dengan restu orang tua masing-masing. Perkawinan Prasojo dengan gadis normal dan cantik itu dianggap teman-temannya sebagai prestasi gemilang seorang cebol. Apalagi setelah setahun pernikahan, Prasojo dan Suparmi mendapat seorang anak perempuan. "Saya was-was menunggu kelahirannya. Saya takut keadaan tubuhnya," kata Suparmi. Ia lega setelah anak pertamanya lahir normal. Begitu pula anak kedua, ketiga dan keempat, semua berukuran normal. Prasojo yang berkulit hitam, berkumis dengan dua gigi emas menghiasi mulutnya, bisa hidup tenang dan menyekolahkan anaknya dengan menjajakan "Jamu Jago". Gajinya Rp 28.000 sebulan. Belakangan ia keluar dari perusahaan jamu itu dan pindah ke pabrik rokok kretek di Solo. "Saya pindah bukan lantaran gaji atau konflik. "Jamu Jago" sering terlalu lama mengajak keliling," katanya. Setelah punya anak istri, ia tidak suka pergi terlalu lama. Walau sudah beranak empat, selama bertugas ia masih sering diejek anak kecil soal kemampuannya sebagai laki-laki. Maka menjawablah Prasojo dengan pantun: "Gadis bidan suka minum cokelat, rasa nikmat sambil makan tahu. Wujud badan bisa dilihat, tapi kekuatanku mana sampeyan tahu." Sahron, 35 tahun, juga bekerja di "Jamu Jago", mempunyai ketinggian tubuh '80 cm. Ia yang berasal dari Wonosobo, Ja-Teng, ini berhasil menggaet putri Solo, Ponsiatun menjadi istrinya. Kebetulan Pon -- panggilan istrinya--juga sama-sama bekerja pada "Jamu Jago" cabang Solo. 'lPokoknya begitu ketemu, kami terus jatuh cinta," tutur Sahron. Dengan penghasilan Rp 30.000 sebulan, ditambah premi dan uang perjalanan, ia hidup berkecukupan bersama istri dan seorang anaknya yang bertubuh normal. Yang membuatnya gembira justru karena pekerjaan itu ringan. "Ketika di panggung, saya merasa seperti main-main saja," katanya. Dia senang kalau penonton memuji dan bertepuk tangan. Tapi ia terpaksa cepat-cepat bersembunyi ketika tiba-tiba ada batu berjatuhan di atas panggung --seperti dialaminya beberapa waktu lalw ketika berkeliling di beberapa kota di Sumatera. Dari enam bersaudara, ada dua orang yang cebol, yaitu Sahron dan kakak perempuannya. Ceritanya, kakeknya dulu suka pergi ke Kraton Solo. Di sana banyak dipelihara orang-orang pendek untuk kelangenan (menyenangkan hati) raja. Diam-diam kakeknya jatuh hati pada orang cebol--tapi tak kesampaian. Eh, ternyata dua orang cucunya lahir cebol. Kisah ini mirip dengan yang dialami Sarwono, orang mini dari "Jamu Jago" pula. Katanya, ketika ia masih dalam kandungan, ibunya melihat pertunjukan orang cebol yang manggung di desanya, Jatisrono, Wonogiri. "Nah, setelah lahir, saya yang jadi cebol," kata Sarwono, 25 tahun, dengan tinggi tubuh 120 cm. Walau badannya tidak normal, bulan lalu ia mengawini Mulyati, gadis normal satu kampung dengannya. "Rasanya biasa-biasa saja. Tidak ada orang yang mengolok-olok saya," kata Sarwono. Kebanyakan orang cebol memang sudah pasrah pada nasib. "Ya, memang ditakdirkan begini, mau bilang apa," kata I Nyoman Raka, 48 tahun, dengan tinggi badan 110 cm dan berat 55 kg. Jebolan SD zaman Jepang dari Sanur, Bali itu, masuk "koleksi" Jamu Jago sejak 31 tahun lalu. Dari hasil menjajakan dagangan diatas panggung, Nyoman bisa mengantungi uan sedikitnya Rp 60.000 sebulan. Penghasilannya cukup untuk istri dan 5 anaknya. Kebetulan seorang anaknya, Noerachman berusia 17 tahun tinggi badannya cuma 100 cm. Setelah tamat SMP, ia mendampingi ayahnya berjoget di atas panggung. Menjadi alat promosi, bagi I Nyoman Raka tidak susah. "Selama keliling, makan dan hotel gratis," katanya. Kecuali itu, ia bebas minum jamu di atas panggung. "Makanya saya selalu sehat saja," katanya seperti menawarkan jamu di atas panggung sambil menunjukkan otot tangannya. Tapi tidak semua orang cebol bisa mengatasi rasa rendah diri. Wahyudi, 35 tahun, teman sekerja Raka, termasuk salah seorang yang kurang percaya pada diri sendiri. Bahkan mendekati wanita pun tidak berani. "Mau cari pacar, takut nggak mau sama saya," katanya. Tapi dengan tersenyum kecut ia menghibur diri. "Saya optimistis, sebab banyak cewek ketawa melihat saya," katanya. Tak Boleh Hamil Yang paling susah justru dua wanita cebol, dari "Jamu Jago" pula, yaitu Hegarmanah dan Etik. Keduanya ikut rombongan propaganda jamu. Apa susahnya? Mereka bisa kawin, tapi tidak boleh hamil. Sebab konon kalau bayinya normal, bisa mencelakakan ibunya yang cebol itu. Walau demukian, teman-teman prianya yang masih bujangan sering mengincar mereka. Namun, rupanya jodoh mereka masih jauh. Khori, 26 tahun, jebolan Pesantren Kraksaan, Probolinggo, Ja-Tim, sebenarnya dilarang istrinya manggung jual obat. Tapi, "saya merasa asyik dengan pekerjaan ini," katanya. Pekerjaannya mudah, hanya berjoget. Yang bernyanyi dan berteriak menawarkan jamu adalah kaset yang diputar di dalam mobil. "Dulu, sewaktu masih baru, saya kira penonton cuma tertawa mengeJek. Tapi lama-lama saya tahu, mereka benar-benar terhibur," katanya. Membuat orang tertawa merupakan tema pokok atraksi orang cebol. "Pada kesempatan itu, kami memperkenalkan produk kami," kata Abdul Rachman, 28 tahun yang tingginya 109 cm. Ia termasuk orang mini di pabrik batu baterai "ABC" yang ikut berpromosi di arena Medan Fair bulan lalu. Abdul diajak dan dibawa keliling dari kota asalnya, Banda Aceh, sejak 8 tahun lalu. Laki-laki bertampang anak-anak ini memang sering diejek oleh anak-anak kecil. "Saya tidak pernah marah. Mereka justru saya dekati," katanya. Karena itu, ayah seorang anak bertubuh normal ini, selalu disenangi anak kecil selama berkeliling dari kota ke kou lainnya. "Yang bisa saya lakukan terbatas, tidak seperti orang normal," kata Abdul yang cuma sempat menginjak kelas V SD itu. Jarang Mandi Bisa disenangi anak kecil, merupakan modal pokok bekerja di tempat mainan anak-anak seperti di toko yang menjual mainan anak-anak, "Bobo", Jakaru. Solihin, 19 tahun, laki-laki berambut kribo dengan tinggi badan 109 cm, ditugasi menjaga ruang radio kontrol dan mobil remote control. Setelah 2 tahun bekerja, ia bisa mengantungi gaji Rp 27.000 sebulan, cukup untuk makan dan mengontrak sebuah rumah bersama teman-temannya yang juga cebol di bilangan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Sesekali ia bisa menyisihkan uang untuk orang tuanya di Ciamis Selatan, Ja-Bar. Setelah lulus SD, Solihin semula bergabung dengan perusahaan anggur cap "Orang Tua". Tugasnya, menari dan melawak. Ia keluar dari perusahaan itu, lantaran kesehatannya kurang baik. "Selama keliling, jarang mandi," katanya. Karena itu, ketika melamar ke "Bobo", Solihin dikira orang dari Timor Timur. "Saya hitam sekali dan keriting," katanya. Mengapa keriting? "Dulu saya sakit panas, nggak tahu tiba-tiba rambut saya jadi begini," tuturnya. Teman sekerjanya, Dadang, 20 tahun, dengan tinggi 90 cm, kelihatan lebih tampan dari Solihin. Kulit kuning, rambut dipotong pendek dan hidung mancung. Dari 5 saudaranya, hanya Dadang yang mini. Meski demikian, pemuda asal Tegal, Ja-Teng, ini tidak merasa rendah diri. Sering ia digoda anak-anak, tapi ditanggapinya dengan kelakar. "Saya tidak pernah measa kesal melayani pembeli," katanya. Satu hal yang menguntungkannya, yaitu soal makanan dan pakaian. Porsinya seperti anak-anak. Sepatu ukuran anak kecil, nomor 20. Sepotong kain celana untuk orang normal bisa dijadikan 2 celana. Tapi yang masih menjadi tanda tanya baginya, adalah soal kawin. "Memang saya berpikir perlu kawin, tapi .... nggak tahu nih," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus