Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Pak Mantri dr Sumantri

Yayasan Bhakti Mulia mempunyai poliklinik di Jl. Mahoni, Tanjung Priok, populer di masyarakat kalangan bawah. Ternyata tenaga utamanya seorang mantri, diawasi secara berkala oleh dr. sumantri. (ksh)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA dua tempat praktek yang ramai-pasien di Tanjung Priok. Satu milik dr Herman Soesilo MPH, kepala dinas kesehatan jakarta Raya. Ini bisa dimaklumi, karena dia dokter dengan keahlian khusus mengenai kesehatan masyarakat. Sering pula muncul di TV. Yang satu lagi adalah Hasbullah. Berambut ikal, berkumis dan tegap, lelaki laris ini ternyata hanya seorang mantri. Jangan sebutkan namanya karena nama itu tak dikenal orang di sana. Ia populer dengan sebutan dr Sumantri. Masyarakat sangat mengenalnya terutama dari kalangan bawah. Berpraktek di Jalan Mahoni (sekitar setengah kilometer dari lokalisasi WTS Kramat Tunggak), "dr Sumantri" saban hari meladeni tidak kurang dari 60 pasien. Ia menggelar meja prakteknya di sebuah rumah sederhana, di tepi jalan beraspal. Tempat praktek itu milik Yayasan Bakti Mulia. Saking ramainya pengunjung tukang beca berpangkalan di depannya. Warung rokok dan buah-buahan juga menanti rezeki di sekitar situ. "Ia sangat berpengalaman dan ramah sekali," kata seorang pasien yang sedang menunggu giliran. Boleh Saja Asal .... Selain keakraban "dr Sumantri" tarif yang rendah tampaknya juga jadi pemikat. Sudah dapat suntikan dan obat tambahan, paling banter Rp 750. Ruangan tunggu dibikin seada-adanya saja, sehingga pasien merasa seperti bertamu ke sebuah keluarga. Dan memang agak ke belakang ada sebuah keluarga yang bertempat tinggal di situ. Tak ada kipas angin. Kalau kegerahan orang bisa berdiri di dekat jendela yang dibiarkan terbuka. Pada suatu hari akhir menjelang pekan lalu, seorang pemuda berkacamata datang menghadapnya dan mengeluh tentang kepala pusing dan sesak nafas. "Dokter" kita ini lantas mengeluarkan stateskop dan meletakkan ujung alat itu ke dada si pasien. "Adik ini banyak naik motor, ya? ! Ada gejala darah tinggi. Jangan banyak makan yang berlemak," katanya. Kemudian ia menyambung lagi: "Kalau pakai kacamata jangan suka dicopot, kecuali kalau mau tidur. Dan kacanya sering saja dibersihkan. Kacamata yang kotor bisa mempengaruhi penglihatan. Bisa juga bikin pusing." Kemudian, sebagaimana seorang dokter tulen, dia pun menuliskan resep. Ini satu-satunya pekerjaan yang merupakan cacad dari prakteknya. Dan soal resep yang dilakukan oleh "dr Sumantri" ini, memang sudah sejak lama jadi bahan pembicaraan di kalangan dokter. "Seorang mantri memberikan pertolongan kepada pasien adalah sesuatu yang baik. Tetapi kalau sampai menuliskan resep sudah melampaui batas," kata dr Kartono Mohamad, ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta. "Seorang mantri boleh saja berpraktek, asal di bawah pengawasan dokter. Tapi kalau menulis resep, itu sudah tak benar," sambut Sjam Umar, jurubicara Dinas Kesehatan DKI. "Dr Sumantri" menuliskan resep di atas kertas resep milik Ahmad Sumantri, dokter, Jl Rawamangun Timur Muka, 17, Jakarta. Tak ada paraf untuk tiap resep yang dia tulis. Di situ hanya ada dua buah cap Jajasan Bakti Mulia. Ketika dihubungi di rumahnya di Rawamangun dr Ahmad Sumantri, 59, menjelaskan bahwa praktek di Jalan Mahoni, Tanjung Priok tersebut merupakan kelanjutan dari Veem Kombinasi di mana dia berpraktek mulai tahun 1954. Sejak tahun 1966 dia hanya duduk sebagai pelindung karena sebagai anggota ABRI dengan pangkat kolonel ia ditugaskan di Departemen Pertanian. Tetap berada di bawah pengawasannya poliklinik tadi terus berjalan dengan mantri Hasbullah sebagai tenaga utama. Sedangkan popularitas dr Sumantri tetap terbawa-bawa sampai pun hanya seorang mantri yang berpraktek di sana. Semua terkontrol di sana, kata dr Sumantri yang betul-betul, "kami juga memberikan laporan teratur kepada dinas kesehatan," katanya lagi. "Kalau memang ada kekurangan di sana, saya memang sudah merencanakan untuk mengontrol lebih sering lagi. Sekali atau dua kali seminggu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus