Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tua tak lantas membuat Milati menjadi pelupa. Perempuan 115 tahun itu masih ingat betul detail ucapan orang kepadanya. Ketika ditemui Tempo di rumahnya di Desa Banraas, Pulau Gili Iyang, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Jumat tiga pekan lalu, ia mengungkit janji seseorang kepadanya satu tahun lalu. "Ada yang mau ngasih satu kasur, dua bantal, dan tiga guling," kata Milati. "Tapi yang datang cuma satu kasur, satu bantal, dan satu guling. Sisanya ke mana?"
Pendengaran Milati pun masih tajam. Sepanjang wawancara, dia sama sekali tak terganggu oleh suara keras orang mengaji dari pelantang suara masjid di samping rumahnya. Tak sekali pun dia meminta pertanyaan diulang lantaran tak terdengar. Dia juga menjawab sesuai dengan pertanyaan. Suaranya lantang meski giginya hampir habis.
Penglihatan Milati juga masih bagus. Tanpa bantuan kacamata, dia mampu mengenali wajah tiga pejabat desa yang ikut mendampingi Tempo ke rumahnya. Bahkan Milati menyebut nama mereka satu per satu tanpa salah.
Milati adalah warga tertua di Gili Iyang, sebuah pulau kecil di ujung timur Pulau Madura. Pulau itu juga dikenal dengan nama Giliyang atau Gili Elang. Pulau seluas 9 kilometer persegi itu masuk wilayah Kecamatan Dungkek. Ada dua desa di sana, yakni Banraas dan Bancamara. Total penduduknya sekitar 10 ribu jiwa.
Semula usia Milati ditaksir 125 tahun. Tapi tak ada dokumen kelahiran yang bisa membuktikannya. Untuk memastikannya, pemerintah Desa Banraas berinisiatif menghitung ulang umur Milati. Caranya dengan mengurutkan usia para cicitnya dan menghitung jeda usia pernikahan anak dan cucunya. Hasilnya ditemukan angka 115 tahun. "Ini yang valid. Sudah kami hitung ulang," ujar anggota Badan Permusyawaratan Desa Banraas, Ahyak Ulumuddin.
Milati bukan satu-satunya warga Gili Iyang yang berusia di atas 100 tahun. Ada 150 orang lainnya yang berumur lebih dari satu abad. Menurut Ahyak, sebagian besar dari mereka masih sehat. "Cuma satu-dua orang yang lumpuh dan hanya bisa berbaring di kasur," ucapnya.
Banyak yang mengaitkan panjangnya umur ratusan orang itu dengan kadar oksigen di Gili Iyang. Pulau itu memang dipercaya memiliki kadar oksigen tinggi. Bahkan Gili Iyang disebut-sebut memiliki kadar oksigen terbaik kedua di dunia setelah wilayah Laut Mati di Yordania. Klaim itu tak lepas dari penelitian tim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di Gili Iyang pada akhir 2006. Entah bagaimana ceritanya, warga pulau itu meyakini hasil penelitian yang menyimpulkan Gili Iyang memiliki kadar oksigen di atas rata-rata. "Kalau di daerah lain kadar oksigennya 18 persen, di sini 21,5 persen," kata Ahyak. "Bukan karena pohon, tapi memang ada sumber oksigen di sini."
Kepala Kelompok Penelitian Lingkungan Atmosfer Lapan Waluyo Eko Cahyono membantah kabar itu. Menurut dia, tim dari lembaganya memang pernah meneliti oksigen di Gili Iyang pada 7 November-6 Desember 2006, tapi hasilnya menyimpulkan kadar oksigen di sana tidak tinggi. "Dalam kondisi normal," ujarnya.
Hasil penelitian itu menyebutkan kadar oksigen di Gili Iyang 20,9 persen. Adapun normalnya, kadar oksigen berada di kisaran 19,5-22 persen. Menurut Waluyo, kadar oksigen yang tinggi tidaklah bagus, tapi justru perlu diwaspadai. "Kalau lebih dari batas normal, bisa bikin keracunan," ucapnya.
Saat itu Waluyo ikut dalam penelitian di Gili Iyang. Dia mengakui pulau itu punya udara yang segar. "Komposisi oksigennya memang bagus," katanya. Tapi udara segar itu lantaran rendahnya pencemaran di sekitar pulau dan adanya tambahan pasokan oksigen dari laut. "Oksigen dihasilkan plankton di laut, dilepaskan ke udara, lalu dibawa angin."
Dokter spesialis paru Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, Feni Fitriani Taufik, mengatakan udara segar membuat seseorang bisa lebih banyak mengisap oksigen. Ini penting karena oksigen merupakan sumber energi bagi tubuh. "Bagus-tidaknya asupan oksigen akan berpengaruh pada fungsi tubuh," ujarnya.
Menurut dia, kekurangan oksigen dalam waktu panjang akan menyebabkan sejumlah kerusakan tubuh, antara lain penyumbatan pembuluh darah yang mengakibatkan stroke, rusaknya jaringan paru-paru, dan sakit jantung. "Di sisi lain, oksigenasi yang bagus akan menghindarkan kita dari penyakit," ucap Feni.
Hingga kini memang belum ada penelitian yang mengungkap kaitan udara segar dan umur panjang serta kesehatan warga Gili Iyang. Tapi, sepanjang hidupnya, Milati jarang sakit dan tak pernah sakit berat. "Paling banter pilek dan batuk," kata nya.
Warga Gili Iyang lainnya, Muakram, juga menyatakan tak pernah mengidap penyakit berat. "Paling parah diare," ujar pria 100 tahun itu.
Di luar masalah oksigen dan udara segar, Milati sebenarnya menerapkan gaya hidup sehat sejak muda. Dia rutin tidur sebelum pukul 21.00 dan bangun sebelum pukul 05.00. Di masa muda, saat masih bekerja sebagai buruh angkut ikan di dermaga Gili Iyang, Milati sebisa mungkin mematuhi jam tidurnya itu. Untuk urusan makanan, sejak muda dia rutin mengkonsumsi nasi jagung, ikan laut, dan sayur maronggi-sejenis katuk. Menu itu dia makan sedikitnya dua kali dalam satu pekan. Menu yang sama rutin dikonsumsi Muakram. "Itu makanan favorit kami," ucap Muakram.
Pakar gizi, nutrisi, dan kebugaran Jansen Ongko mengatakan waktu istirahat, terutama tidur, ikut mempengaruhi usia harapan hidup seseorang. Sebab, waktu istirahat penting bagi kesehatan. Menurut dia, setiap orang sebenarnya memiliki durasi tidur yang berbeda, tergantung usia, gaya hidup, dan lingkungan. Tapi, yang terpenting, "Bukan hanya kuantitas, tapi juga berkualitas."
Umur panjang warga Gili Iyang, tutur Jansen, juga dipengaruhi lingkungan di pulau itu. Menurut dia, penduduk di sana tak memiliki tekanan psikologis seperti penduduk di kota-kota besar. "Tingkat stresnya lebih rendah," ujarnya. "Penduduk Gili Iyang juga lebih aktif bergerak dibanding penduduk perkotaan."
Soal makanan, menurut Jansen, orang-orang tua di pulau itu memiliki pola makan yang baik sejak masih muda. Nasi jagung menjadi sumber karbohidrat. Serat diperoleh dari sayur maronggi. Adapun ikan laut merupakan penghasil protein, lemak, dan asam lemak omega-3. Protein berperan dalam regenerasi dan pertumbuhan sel manusia. "Jika kekurangan, banyak fungsi tubuh yang akan terganggu," ucapnya. Adapun asam lemak omega-3 berperan menjaga kesehatan otak. "Ini membuat lansia tak mudah pikun."
Milati memang memilih makanan alami. Meski sudah hidup lebih dari satu abad, dia tak pernah sekali pun mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet, seperti mi instan. Bukan karena tak mau, tapi tak punya uang untuk membeli. "Kalau ada yang beliin, pasti saya makan," kata Milati, diikuti derai tawa.
Prihandoko (Jakarta),Musthofa Bisri (Sumenep)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo