Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mempersiapkan Perawatan Lansia Jangka Panjang

29 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia mengalami pertumbuhan penduduk lanjut usia (lansia). Jumlah penduduk yang berusia di atas 60 tahun naik drastis, dari 4,5 persen pada 1971 menjadi 8,6 persen atau sekitar 21 juta saat ini. Booming lansia akan menjadi kenyataan pada 2035 dengan menempati 15,6 persen dari total populasi Indonesia.

Berdasarkan proyeksi rasio ketergantungan 2010-2035, bonus demografi dimulai pada 2012 dan titik terendah rasio ketergantungan terjadi pada 2028-2031, dengan rasio ketergantungan paling rendah sebesar 46,9. Setelah 2031, rasio ketergantungan akan meningkat terus akibat peningkatan penduduk lanjut usia. Bonus demografi akan meningkatkan jumlah angkatan kerja usia produktif dan meningkatkan tabungan masyarakat sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.

Potensi bonus demografi akan terwujud bila: suplai tenaga kerja yang besar dan berkualitas akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat; perempuan yang semakin terdidik memasuki pasar kerja lebih banyak sehingga membantu peningkatan pendapatan keluarga; tabungan masyarakat meningkat dan diinvestasikan secara produktif; serta diikuti oleh kebijakan investasi pemerintah dan swasta yang membuka peluang kerja.

Setelah 2030, jumlah lansia akan terus meningkat, sementara angkatan kerja menurun. Alangkah indahnya bila mereka tergolong lansia yang sehat, aktif, dan produktif. Sekilas, harapan itu bisa terwujud. Saat ini, sekitar 80 persen lansia masih aktif, baik di kegiatan sosial maupun dunia kerja, meski sebagian besar di sektor informal. Lansia Indonesia, dengan keterbatasannya, masih melakukan kegiatan active ageing, yang mencakup tujuh dimensi lansia tangguh, yaitu spiritual, intelektual, emosional, fisik, sosial, vokasional, dan dukungan lingkungan. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran karena hanya 7 persen dari mereka yang mempunyai tabungan hari tua. Yang memiliki asuransi jaminan hari tua lebih sedikit, cuma sekitar 3 persen. Akibatnya, mereka bekerja dengan keterpaksaan.

Kekhawatiran lain adalah banyaknya lansia yang sakit-sakitan dan tidak dapat merawat diri sendiri sehingga memerlukan pendampingan orang lain. Dengan bertambahnya angka harapan hidup dan usia, kondisi yang tidak dapat diingkari adalah menurunnya kapasitas fungsional, yaitu kemampuan seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari, baik fisik maupun mental. Saat ini, di Indonesia terdapat sekitar 25 persen lansia mengalami kerapuhan (Siti Setiati, Kompas, 20 Mei 2017), sedangkan angka dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 2015 menunjukkan 30 persen dari 21 juta lansia saat ini mengalami disabilitas, baik ringan maupun berat.

Kondisi ini merupakan akibat berbagai penyakit degeneratif seperti hipertensi, kardiovaskular, stroke, osteoartritis, osteoporosis, demensia, dan diabetes mellitus. Ada juga sindrom geriatri, seperti gangguan pendengaran, penglihatan, instabilitas, gangguan kognitif, dan gangguan gizi. Keterbatasan kemampuan untuk merawat diri sendiri merupakan indikator akan kebutuhan perawatan jangka panjang (long-term care), yang memerlukan bantuan orang lain sebagai caregiver atau pendamping.

Perawatan jangka panjang adalah pendampingan yang dilakukan pengasuh-baik informal maupun profesional-bagi lansia yang tidak mampu merawat diri sendiri, baik sebagian maupun total, agar hidupnya tetap berkualitas dan bermartabat sepanjang hayat. Kata kunci "berkualitas" dan "bermartabat" merupakan prinsip pelayanan agar lansia yang sudah renta pun mempunyai harga diri dan terhormat.

Berdasarkan angka disabilitas pada lansia, saat ini dibutuhkan sekitar 7 juta caregiver. Di Indonesia, sebagian besar pendamping adalah anggota keluarga, yang berarti pendamping informal. Ada juga segelintir yang merupakan kader atau pendamping informal dari masyarakat. Permasalahannya adalah sebagian besar pendamping belum mendapat pelatihan tentang perawatan jangka panjang.

Peluang membentuk pendamping profesional perlu dibangun dengan mengembangkan pendidikan formal bentuk vokasi, misalnya D-2, D-3, sampai D-4. Kementerian Kesehatan sedang menggodoknya bersama perguruan tinggi dan lintas sektor. Sebagai langkah awal, Centre for Ageing Studies Universitas Indonesia (CASUI) mengembangkan pelatihan untuk pendamping informal atau anggota keluarga pendamping dengan kurikulum 50 jam.

Di samping itu, mengingat lansia yang memerlukan perawatan jangka panjang pada umumnya berpenyakit lebih dari satu, kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan perlu diperbaiki. Dibutuhkan pemeriksaan geriatri yang dapat mengukur kondisi pasien secara holistik. Sistem rujukan dari komunitas ke rumah sakit dan sebaliknya memerlukan perbaikan. Artinya, setiap rumah sakit perlu difasilitasi dengan klinik geriatri terpadu yang melibatkan lintas ilmu kedokteran, sehingga penanganan pasien bersifat interdisiplin.

Pemerintah cukup peduli soal lansia. Antara lain dengan mulai membuat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia jauh sebelum booming lansia; membentuk Komisi Nasional Lanjut Usia dan Komisi Daerah Lanjut Usia; serta melakukan pemberdayaan masyarakat dalam penanganan lanjut usia di daerah. Hampir semua sektor mempunyai program yang terkait dengan kelanjutusiaan sesuai dengan tugasnya. Kurang apa?

Kekurangannya terletak pada implementasi kebijakan di tiap sektor yang masih terkotak-kotak, sementara permasalahan lanjut usia cukup kompleks dan harus ditangani lintas sektor. Sebagai contoh, pelayanan kesehatan lansia dari layanan primer sampai rujukan, mencakup layanan pada lansia yang masih mandiri untuk mengoptimalkan aktivitas mereka, sampai pelayanan kesehatan bagi yang sudah mengalami keterbatasan sedang dan berat, yang tentu tidak mungkin hanya ditangani oleh sektor kesehatan. Pelayanan kepada sekitar 2,7 juta lansia miskin, yang ditangani Kementerian Sosial lewat program Asistensi Lanjut Usia Telantar (Aslut) dan layanan home care, menemukan bahwa mereka tidak hanya mengalami masalah sosial dan ekonomi, tapi juga kesehatan. Hal ini berarti perlu kerja sama intensif dengan petugas kesehatan.

Dari gambaran ini, jelas terlihat bahwa program kelanjutusiaan harus berpusat pada lansia, yang ditangani bersama-sama. Komisi Nasional Lanjut Usia, selain menyusun rekomendasi kebijakan, perlu melakukan monitoring dari implementasi kebijakan. Adapun Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan seharusnya berperan sebagai koordinator di tingkat nasional, sehingga Komisi Daerah Lanjut Usia lebih mudah melaksanakan tugas. Kenyataannya, belum semua Komisi Daerah Lansia berperan secara optimal. Kementerian Perhubungan masih terbatas pada pengaturan besar biaya transportasi bagi lansia dan tempat duduk bagi lansia di kendaraan umum. Sedangkan Kementerian Pekerjaan Umum, yang seharusnya mendukung fasilitas ramah lansia, masih jauh dari yang diharapkan.

Dengan kebutuhan perawatan jangka panjang bagi lansia yang cukup kompleks, selain peran pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, dan institusi pendidikan, diperlukan peran swasta terutama industri. Saat ini usaha yang dikembangkan pihak swasta masih terbatas pada pengembangan senior care dan senior living, yang jumlahnya masih amat kecil. Sedangkan industri peralatan, katering khusus lansia, dan perawatan tradisional, masih terbatas.

Berbagai program active ageing dan perawatan jangka panjang memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang memadai, dalam bentuk sarana ataupun program mencakup delapan dimensi, yaitu gedung dan ruang terbuka, transportasi, perumahan, partisipasi sosial, penghormatan dan inklusi sosial, partisipasi sipil dan pekerjaan, komunikasi dan informasi, serta dukungan masyarakat dan kesehatan (Badan Kesehatan Dunia/WHO, 2007). CASUI dan Surveymeter pada 2014 menemukan, dari delapan dimensi tersebut, yang paling dominan adalah pelayanan sosial dan kesehatan. Beberapa kota sudah mulai mengembangkan menurut prioritas yang sejalan dengan pengembangan wilayahnya, seperti Surabaya; Bandung; Jakarta; Solo; Payakumbuh, Sumatera Barat; dan Depok, Jawa Barat. Semoga upaya ini diikuti kota dan kabupaten lain di Indonesia.

Tri Budi W. Rahardjo
Guru besar gerontologi Universitas Indonesia, Direktur Centre for Ageing Studies Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus