Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Para Dokter Pemberi Inspirasi

Sejumlah dokter dan psikolog memanfaatkan media sosial untuk membagikan ilmunya tentang kesehatan. Menggunakan bahasa sederhana sehingga menjangkau khalayak lebih luas.

8 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM usia anaknya mencapai enam bulan, setahun lalu, Elvira Mustikawati menyambangi banyak tempat untuk mencari tahu soal makanan pendamping air susu ibu (MPASI). Ia mengunjungi akun YouTube dokter spesialis anak I Gusti Ayu Nyoman Partiwi alias dokter Tiwi, juga akun Instagram dokter spesialis anak Dini Adityarini dan Meta Hanindita serta konselor ASI dokter Ameetha Drupadi.

Tak satu pun dari para dokter tersebut yang menyarankan penggunaan menu dengan bahan makanan tunggal selama 14 hari—informasi ini viral dengan mencatut sumber Badan Kesehatan Dunia (WHO). Mereka malah menganjurkan pemberian makanan bervariasi kepada bayi. Elvira, 28 tahun, mengatakan banyak temannya yang menggunakan menu tunggal tersebut. “Kalau saya tidak cari tahu di akun-akun dokter itu, mungkin saya akan mengikuti menu tersebut untuk Keefe, anak saya,” katanya, Rabu, 6 November lalu.

Dari materi yang dibagikan Meta di Instagram, Elvira lebih mencermati kondisi Keefe. Ia curiga putranya menderita anemia karena kekurangan zat besi setelah membaca penjelasan Meta tentang hal itu. Benar saja, dari pemeriksaan darah, Keefe menderita anemia sehingga disarankan mengkonsumsi suplemen zat besi. “Sekarang Keefe tumbuh sehat,” ujar dosen statistika di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya itu.

Seperti Elvira, Giyatsil Annafis juga terkadang membuka media sosial untuk mencari konten kesehatan. Ia kecantol akun Instagram dokter Gia Pratama. Dari akun itu, ia antara lain mempelajari siasat berolahraga tanpa ke luar rumah dengan menyandarkan punggung pada tembok dan menekuk lutut. Mahasiswi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Mataram ini menikmati hasilnya setelah rutin mengerjakan anjuran tersebut. “Biasanya, setelah bangun tidur, punggungku sakit. Tapi gerakan sederhana ini ternyata sangat membantu bikin rileks,” ucapnya.  

Media sosial yang sedang populer juga membuat banyak tenaga kesehatan kepincut. Sejumlah dokter dan psikolog memanfaatkannya untuk mengedukasi masyarakat tentang kesehatan. Asalkan punya gawai dan jaringan Internet, masyarakat dari berbagai kalangan bisa mengakses penjelasan para ahli yang berkompeten di bidang masing-masing itu secara gratis.

Salah satunya dokter Meta lewat akun Instagram @metahanindita, yang kini memiliki 295 ribu pengikut. Ia sering membagikan materi tentang nutrisi untuk anak sejak tahun lalu. Meta terdorong memberikan edukasi lewat media sosial antara lain karena kabar hoaks menu makanan tunggal 14 hari yang beredar di Internet.

WHO tak pernah merekomendasikan cara makan itu. Menu makanan tunggal justru meningkatkan risiko stunting dan malnutrisi pada anak. Namun menu tunggal itu justru viral. “Sebegitu dahsyatnya, kan, efek informasi di media sosial?” kata dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Manyar Medical Center, Surabaya, tersebut.

Meta sebenarnya sudah membahas kebutuhan nutrisi untuk anak di buku yang ditulisnya, Mommyclopedia: 567 Fakta tentang MPASI, dan blognya, www.metahanindita.com. Namun, lantaran minat baca masyarakat yang rendah, pesannya lebih pasti sampai jika menggunakan media sosial.

Di media sosial, para dokter influencer itu berusaha menyederhanakan bahasa kedokteran, yang menurut sebagian orang ruwet. Dokter Gia, misalnya, mengibaratkan jantung sebagai organ yang lebih dermawan daripada Bill Gates karena menyumbangkan sebagian besar darah yang dipompanya untuk organ lain di seluruh tubuh. Jika sang “raja sedekah” tersebut rusak, seluruh tubuh bakal terkena imbas.

Dengan bahasa sederhana, ia berharap pesan lebih mudah tersampaikan. Pengikutnya pun menjadi lebih peduli terhadap kesehatan. Gia berkisah, salah seorang gurunya, konsulen yang sangat ia segani, memberikan wejangan agar membumikan kedokteran dengan bahasa seawam mungkin dan menceritakannya seluas mungkin. “Agar banyak yang menyayangi dirinya sehingga bisa mencegah banyak penyakit,” ujar pemilik akun Twitter @GiaPratamaMD dengan 212 ribu pengikut tersebut.

Para dokter pemberi inspirasi itu rela meluangkan waktu untuk berbagi ilmu di tengah kesibukannya. Dokter Tiwi, yang sering membahas seputar kesehatan anak, biasanya mulai beraksi saat orang-orang masih terlelap. Ia terbiasa bangun sekitar pukul 03.00, lalu menulis. Ia kemudian melanjutkan kegiatannya dengan mengunggah penjelasan tentang nutrisi dan stimulus anak di akun Instagramnya, @drtiwi, atau di situsnya, www.klinikdrtiwi.com.

Para Dokter Pemberi Inspirasi/tempo/facebook (1,4,5,7), Instagram (2,3,6)

Tiwi mengaku senang berbagi lewat jejaring sosial karena, menurut dia, media ini membuatnya bisa melayani masyarakat tanpa dibatasi tempat dan waktu. “Lewat media sosial, saya bisa melayani masyarakat di luar sana yang tak bisa saya raih,” kata dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Jakarta itu.

Namun Tiwi berpesan kepada warganet: jangan sampai upaya mencari infor-masi melalui media sosial justru membuat perhatian orang tua teralihkan dari kewajiban menemani anak-anak. Misalnya ibu jadi mengacuhkan anaknya saat menyusui karena asyik berselancar di media sosial. Padahal momen menyusui adalah waktu untuk meningkatkan kelekatan ibu dan anak.

Kebiasaan ibu terlalu lama memegang gawai juga tanpa disadari membuat bayi dan anak terpapar gawai sejak dini. Ini berbahaya bagi bayi dan anak, yang sedang dalam masa perkembangan. Tiwi mengungkapkan, banyak anak yang terlambat bicara karena diberi gawai sejak kecil.

Meta pun mewanti-wanti warganet agar selalu mengecek kembali kebenaran informasi tentang kesehatan yang dibaca di media sosial. Terlebih jika ingin memencet tanda berbagi. Salah satunya dengan menanyakannya kepada ahli yang berkompeten dan mengerti tentang hal itu.

Yang paling penting, tutur Gia, adalah mempraktikkan hal tentang kesehatan yang dibaca di media sosial. Sekadar tahu tidak ada manfaatnya kalau tak dilakukan. Apalagi ini demi kesehatan sendiri. “Sehat itu mahal, tapi sakit jauh lebih mahal.”

NUR ALFIYAH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus