Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULANG dari pertandingan hoki pada 2011, Adi Marsiela tumbang. Tanpa disadari, gejala demam berdarah muncul semasa pertandingan. "Rasanya mual seperti penyakit maag, makan-minum sulit, badan panas-dingin," kata pria 36 tahun itu, Rabu pekan lalu.
Karena berhari-hari tak kunjung pulih, Adi, yang kini bekerja sebagai jurnalis di Bandung, akhirnya memeriksakan diri ke dokter. Ia harus dirawat selama lima hari di rumah sakit.
Di tempat lain, keluarga Ahmad Fikri pernah panik dan stres ketika putri sulungnya, Zahra, terserang virus dengue pada 2012. Awalnya, murid taman kanak-kanak B berusia lima tahun itu mengalami panas tinggi sampai lebih dari empat hari. Asupan obat tak mempan menurunkan suhu tubuhnya yang mencapai 40 derajat Celsius. Zahra akhirnya dirawat karena kadar trombositnya menurun. "Dugaannya demam berdarah atau tifus," kata Fikri, yang juga tinggal di Bandung.
Hasil uji lab menguatkan dugaan bahwa Zahra terkena demam berdarah. Rencana berwisata ke Jakarta bersama teman-teman sekolahnya pun buyar. Ia harus dirawat sepekan. Badannya lemas. Jumlah trombositnya anjlok hingga sekitar 20 ribu (normalnya 150-450 ribu). Untunglah kadar trombositnya segera naik dan kondisinya membaik.
Adi dan Zahra adalah sebagian kecil orang yang pernah menderita demam berdarah dengue. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat Indonesia adalah negara kedua dengan kasus demam berdarah dengue terbanyak setelah Brasil.
Sudah beragam cara dicoba untuk menanggulangi penyebaran virus mematikan ini. Dari pembasmian sarang nyamuk sampai penggunaan obat untuk menghindari gigitan Aedes aegypti, nyamuk vektor virus dengue. Yang terbaru adalah dengan vaksin dengue. Perusahaan asal Prancis, Sanofi Pasteur, tahun lalu meluncurkan vaksin dengue pertama di dunia. Sejak awal tahun lalu, beberapa negara, seperti Brasil dan Filipina, mulai menggunakan vaksin tersebut. Di Indonesia, izinnya diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan pada September lalu.
Vaksin tersebut cukup ampuh melindungi tubuh dari serangan virus dengue untuk anak usia 9-16 tahun. Menurut peneliti utama vaksin dengue di Indonesia, Sri Rejeki Hadinegoro, hasil penelitian menunjukkan vaksin ini mampu menurunkan angka infeksi dengue sampai 65,5 persen, menurunkan angka perawatan di rumah sakit sampai 80 persen, dan menurunkan kasus dengue berat sampai 92,9 persen. "Hasilnya konsisten di Amerika Latin dan Asia-Pasifik," kata guru besar ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Ia mengatakan Indonesia ikut dalam penelitian fase ketiga untuk menguji kemanjuran vaksin sejak September 2011. Sebelumnya, vaksin ini lebih dulu diuji di laboratorium, binatang, lalu ke sekelompok kecil orang. Pada tahap ketiga ini, subyek penelitiannya lebih banyak, sekitar 30 ribu orang di 15 negara Asia-Pasifik dan Amerika Latin, yang menjadi daerah endemis demam berdarah dengue, seperti Vietnam, Brasil, Malaysia, Kolombia, dan Meksiko. "Di Indonesia yang ikut 1.870 anak," ujar Sri.
Di Tanah Air, pesertanya berusia 2-14 tahun yang berada di Jakarta, Bandung, dan Denpasar. Mereka dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama diberi vaksin tiga kali setiap enam bulan. Sedangkan kelompok kedua diberi plasebo atau obat kosong.
Kedua kelompok diamati selama lima tahun, dihitung sejak vaksin terakhir disuntikkan, kemudian dibandingkan kelompok mana yang lebih banyak terkena demam berdarah. Menurut penanggung jawab riset di Bandung, Kusnandi Rusmil, sepekan sekali tim peneliti menelepon tiap sukarelawan untuk menanyakan kondisi kesehatan mereka.
Meski penelitian baru berakhir pada September 2017, Sanofi Pasteur sudah memasarkan produknya karena terbukti bermanfaat untuk pencegahan. Menurut Sri, kebutuhan mencegah infeksi dengue juga sudah mendesak sehingga vaksin bisa digunakan.
Vaksin ini berisi virus dengue yang masih hidup. Sebagai bahan dasarnya, mereka menggunakan vaksin yellow fever, yakni penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh virus dari keluarga flavivirus, masih satu famili dengan dengue. Vaksin yellow fever tersebut sudah digunakan lebih dari 30 tahun dan hasilnya aman.
Tak semua bagian vaksin tersebut dipakai. Bagian tengah disingkirkan, diganti dengan bagian tengah virus dengue. Hasilnya, vaksin dengue hidup mirip dengan aslinya, tapi tak seganas virus dengue di alam. Karena itu, efek suntikannya pun sama seperti terkena demam berdarah, seperti nyeri otot, lemas, dan nyeri kepala, tapi jauh lebih ringan daripada penyakitnya.
Suntikan diberikan tiga kali. Suntikan pertama berfungsi membuat sel memori dalam tubuh, yang bertugas mengingat keempat stereotip virus dengue. Maka, jika nanti terinfeksi virus dengue, tubuh akan mengenalinya.
Setelah sel memori terbentuk, enam bulan kemudian diberikan suntikan kedua untuk membangun antibodi agar kekebalan tubuh meningkat. Enam bulan berikutnya diberikan suntikan ketiga yang berfungsi menjaga antibodi tetap berada di atas ambang pencegahan. Sebab, ada kalanya kekebalan tubuh menurun meski sudah ditingkatkan dengan suntikan kedua.
Karena fungsinya berbeda-beda, suntikan harus tepat dilakukan tiga kali dengan interval yang pas, yakni setiap enam bulan. Kalau terlambat, perlindungan tubuhnya bisa jadi tak maksimal. "Kalau terlambat, bisa-bisa antibodi sudah kebablasan. Sayang waktu dan uang," kata Sri mewanti-wanti.
Selain digunakan pada anak 9-16 tahun, di beberapa negara, seperti Meksiko, vaksin tersebut diberikan kepada orang dewasa sampai usia 45 tahun. Tapi vaksin tersebut tak direkomendasikan untuk anak di bawah 9 tahun karena dari penelitian menunjukkan perlindungan tubuhnya tak konsisten. Ada kemungkinan, menurut Sri, karena respons kekebalan tubuh anak di bawah 9 tahun kurang baik terhadap vaksin tersebut.
Sri mengatakan, bagi anak yang pernah terserang demam berdarah, pemberian vaksin masih diperlukan. Sebab, ada empat strain demam berdarah yang bisa menyerang manusia, yakni dengue 1, dengue 2, dengue 3, dan dengue 4. Itulah mengapa ada orang yang bisa terkena demam berdarah sampai berkali-kali. Pemberian vaksin ini bisa mencegah hal itu karena vaksin berisi keempat stereotip tersebut.
General Manager Sanofi Pasteur Indonesia Joko Murdianto mengatakan perusahaannya meneliti vaksin tersebut sejak 20 tahun lalu. Hingga kini vaksin tersebut masih diproduksi di Prancis. Tiap tahun mereka sanggup membuat sampai 100 juta dosis vaksin dengue. Ke depan, menuturkan dia, Sanofi akan kembali mengajukan izin ke Badan Pengawas Obat dan Makanan agar vaksin tersebut bisa dipasarkan untuk orang dewasa. "Kami berusaha kembali meregistrasi vaksin untuk dipakai lebih luas, 9-45 tahun, seperti di negara lain," tuturnya.
Menurut Menteri Kesehatan Nila Moeloek, vaksin ini belum masuk program wajib pemerintah lantaran harganya masih mahal karena produk impor. "Duitnya enggak cukup," ujarnya.
Selain itu, kata Nila, vaksin bukanlah satu-satunya obat pencegahan demam berdarah. Yang lebih utama adalah memberantas sarang nyamuk yang menularkan virus.
Adapun Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Pelayanan, Akmal Taher, mengatakan pemerintah masih perlu mengkaji seberapa penting vaksin tersebut karena beberapa negara, seperti Laos, bisa menurunkan angka kejadian demam berdarah tanpa campur tangan vaksin.
Anwar Siswadi (Bandung), Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo