Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NUGROHO Imam Setiawan akan menjadi geolog Indonesia pertama yang menjejakkan kaki di Benua Antartika, Kutub Selatan. Sebelum berangkat, lelaki 34 tahun ini sempat menjalani Winter Camp Training di Gunung Norikura, Jepang, dalam kondisi cuaca ekstrem. "Latihannya sangat berat. Suhunya minus 8 derajat Celsius," kata Nugroho saat ditemui di Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas GaÂdjah Mada, Yogyakarta, dua pekan lalu.
Bersama 80 peneliti lain, Nugroho digembleng selama lima hari di Gunung Norikura pada Maret lalu. Tujuannya adalah membiasakan diri dengan lingkungan ekstrem. Tidak hanya berlatih fisik, mereka juga dilatih cara mendirikan tenda di daratan bersalju dan memasak. Beruntung, kemasan makanan yang dibawa cukup praktis: tinggal diberi air panas, makanan pun siap saji. Yang menyiksa, tak ada alat pemanas udara. "Sampai-sampai kami harus mengenakan pakaian tebal tiga lapis," ucap Nugroho.
Dosen Teknik Geologi UGM ini menjadi satu-satunya peneliti dari Asia Tenggara yang lolos mengikuti penelitian di Antartika yang diadakan 58th Japan Antarctic Research Expedition (JARE58). Tim dibagi menjadi sepuluh kelompok kecil. Melalui seleksi panjang, termasuk wawancara dan rekomendasi, Nugroho masuk tim bersama satu peneliti dari Mongolia dan satu dari Sri Lanka. Lima peneliti lain berasal dari Jepang. Ekspedisi Antartika akan berlangsung mulai 27 November 2016 hingga 22 Maret 2017.
Tim itu berangkat ke Antartika melalui Perth, Australia, pada 2 Desember 2016, menggunakan kapal Shirase (ice breaker AGB-5003). Perjalanan menuju Kutub Selatan memakan waktu satu bulan. Dalam program ini, geologi bukan satu-satunya bidang penelitian. Ada delapan aspek lain yang diteliti, yaitu observasi meteorologi, observasi atmosfer, penguin, biota darat, observasi tidal, geodesi, oseanografi, dan upper atmospheric physics.
Jahdi Zaim, guru besar Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, menilai riset ini sangat penting dan menarik. Alasannya, belum banyak yang terungkap dengan jelas dari berbagai aspek geologi Antartika. Jahdi berharap tim itu mendapatkan banyak temuan baru. "Tentu diharapkan bisa direkonstruksi dan dipelajari perkembangan lingkungan masa lalu," kata Jahdi di Bandung, Senin pekan lalu.
Antartika, menurut Jahdi, menyimpan informasi geologi penting sebagai pusat break-up dan formasi batuan metamorf. Sebab, Antartika saat ini merupakan benua sisa yang tertinggal dari superbenua GondÂwana. Benua tersebut, jutaan tahun lalu, pecah menjadi beberapa bagian kecil. Potongan yang bergerak itu terpisah-pisah dan menjadi antara lain Australia dan India. "Sisanya berupa Antartika yang ada sekarang ini," ujar Jahdi.
Ekspedisi Antartika ini juga ditangÂgapi positif oleh dosen Teknik Geologi ITB, Yan Rizal. "Selama ini, informasi geologi di Antartika dapat dikatakan jauh dari cukup. Saya harap ekspedisi ini dapat memberi tambahan informasi," katanya. Hanya, soal riset yang dilakukan, Yan sedikit pesimistis tim itu bisa mendapatkan informasi geologi secara komplet. Sebab, hampir seluruh permukaan Antartika ditutupi salju tebal. Tutupan es akan menyulitkan tim ekspedisi menjumpai singkapan batuan di permukaan.
Dalam dua bulan, Nugroho akan meneliti aspek geologi di Antartika di tiga titik. Selama berpindah-pindah, ia akan menggunakan helikopter atau kendaraan salju. Menurut Nugroho, benua bersalju ini merupakan sumber pengetahuan penting. "Antartika adalah benua yang paling berpengaruh pada perubahan iklim dan sistem laut," ujarnya.
Di permukaan bumi, ada tiga jenis batu: batuan beku, sedimen, dan metamorf. Batuan metamorf adalah bentukan dari batuan beku dan sedimen yang mengalami perubahan suhu dan tekanan. Jadi, menurut Nugroho, batuan metamorf menyimpan banyak informasi tentang proses pembentukan ketiganya. Batuan metamorf menggambarkan kondisi alam saat awal pembentukannya. "Ibaratnya, batuan metamorf itu adalah black box di pesawat terbang," katanya.
Batuan jenis ini menyimpan banyak informasi tentang evolusi bumi. Nugroho berharap di Antartika nanti menemukan batuan berumur 2,59-2,48 miliar tahun. Pada akhirnya, terbentuknya bumi dan pergerakan kontinen pada masa itu dapat kembali direkonstruksi. Sejauh ini, para ahli geologi telah menemukan adanya kemiripan jenis batu di Madagaskar, Australia, dan Antartika. Hal ini terjadi karena dulu wilayah tersebut berada dalam satu benua besar. "Nah, ini yang harus dibuktikan," ujarnya.
Menurut Yan Rizal, belum ada penelitian yang menjelaskan umur ataupun jenis batuan metamorf di Antartika secara rinci. Sejauh ini, batuan metamorf tertua di bumi diperkirakan berumur 4 miliar tahun. Lokasinya ditemukan di Australia, Afrika Selatan, Greenland, dan Kanada. Batuan metamorf yang menjadi dasar kontinen tua, kata Yan, berhubungan dengan temperatur dan tekanan tinggi.
Lantas apa hubungan penelitian ini dengan Indonesia? Menurut Nugroho, Indonesia adalah produk akhir. Batuan tertua di Indonesia diperkirakan berusia 300 juta tahun. Meski tak ada hubungan langsung dengan Antartika, tetap ada pengaruhnya. Sebab, semua benua di bumi pasti berhubungan. "Jika satu bergerak, yang lain pun akan bergerak," katanya.
Jahdi menambahkan, informasi geologi penting tentang eksistensi bumi bisa ditemukan juga di tempat lain. Indonesia merupakan salah satu wilayah yang sangat menarik dari aspek geologi, baik melalui pendekatan teori geosinklin—yang sudah lama ditinggalkan—maupun dengan teori tektonik global atau tektonik lempeng. "Indonesia adalah wilayah yang baik untuk studi dan pemahaman tentang pergerakan lempeng yang sekarang sedang aktif," ujarnya. Bukti pergerakan itu ditandai aktivitas gempa dan vulkanik.
Selama melakukan penelitian di Antartika nanti, selain harus menghadapi cuaca ekstrem, Nugroho tak akan merasakan kegelapan malam. Ya, matahari akan menyorot terus selama mereka di sana. "Kami tidak akan mengalami malam hari," katanya. Di Kutub Selatan, saat ini sedang musim panas. Posisi rotasi bumi ada di sudut 23,4 derajat. Artinya, seluruh daratan Antartika terpapar matahari selama 24 jam. "Namanya midnite sun, matahari di tengah malam," kata Nugroho.
Tri Artining Putri, Muh. Syaifullah, Anwar Siswadi
Peneliti Indonesia di Kutub Selatan
1996
Fadli Syamsuddin dan Muhammad Evri dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menjejakkan kaki di bongkahan es di Antartika.
2001
Agus Supangat dari Institut Teknologi Bandung dan Muhammad Lukman dari Universitas Hasanuddin bersama Australian Antarctic Division (AAD) melakukan penelitian oseanografi, menjejakkan kaki di Stasiun Riset Davis (Australia) di Antartika, dan memasang prasasti Presiden Megawati.
2001-2002
Vera Sabariah dari Universitas Papua dan Ichwan M. Nasution dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) bersama AAD meneliti biologi laut.
2003-2004
Utami Retno Kadarwati dari BRKP bersama AAD kembali meneliti biologi laut.
2004-2005
Lusia Manu dari Universitas Sam Ratulangi dan Anastasia Rita dari BRKP bersama AAD meneliti variabilitas cuaca di Samudra Selatan.
2016-2017
Rencana ekspedisi geologi yang pertama dari Indonesia dan terlama di Antartika bersama 58th Japan Antarctic Research Expedition.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo