Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Penderita Diabetes Wajib Waspadai Masalah Mata Ini

Sebanyak 43 persen penderita diabetes berisiko diabetik retinopati, penyebab utama kebutaan, dan 26 persen kehilangan penglihatan.

11 Oktober 2022 | 18.01 WIB

ilustrasi periksa mata (pixabay.com)
Perbesar
ilustrasi periksa mata (pixabay.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis mata Gitalisa Andayani dari Universitas Indonesia mengatakan sebanyak 43 persen penderita diabetes memiliki risiko menderita diabetik retinopati, penyebab utama kebutaan pada populasi usia kerja dan 26 persen di antaranya juga memiliki risiko kehilangan penglihatan. Ia mengatakan pada penderita diabetes, terlalu banyak gula darah dapat merusak pembuluh darah kecil di dinding belakang bagian dalam mata (retina) atau bisa saja menyumbat pembuluh darah secara keseluruhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"DME secara umum diakibatkan oleh keadaan hiperglikemia pada pembuluh darah retina yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama pada penderita retinopati diabetik," kata Gitalisa di webinar "World Sight Day 2022: Hindari, Cegah, dan Kontrol Komplikasi Mata pada Pasien Diabetes Melitus", Selasa, 11 Oktober 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Indonesia saat ini menempati peringkat ke-5 dunia dengan penderita diabetes terbanyak, di mana penderita diabetes tipe 1 dan 2 berisiko menderita Diabetik Makular Edema (DME) dan kehilangan penglihatan. DME merupakan salah satu gangguan penglihatan berat yang kerap terjadi pada usia produktif atau di bawah 50 tahun. Pada akhirnya, DME mampu menyebabkan hilangnya produktivitas hingga pendapatan.

"Secara sosial pun DME akan mempengaruhi hubungan dengan keluarga, komunitas, bahkan dengan masyarakat secara luas sehingga tak jarang penderitanya mengalami stres,” ujarnya.

Gejala awal DME biasanya diawali dengan penglihatan yang mulai kabur, lalu hilangnya warna kontras yang bisa dikenali mata, sampai akhirnya timbul titik buta.

“Maka, perlu kita pahami apa saja faktor risikonya. Beberapa faktor risiko DME seperti menderita Diabetes Melitus (DM) dalam waktu yang sudah panjang, memiliki riwayat hipertensi dan hiperkolesterol, obesitas, serta tidak mampu mengontrol gula darah,” katanya.

Dia menegaskan perlunya skrining DME, terutama untuk orang yang punya diabetes. Pasien dengan diabetes melitus tipe 1 direkomendasikan untuk melakukan skrining 3-5 tahun setelah terdiagnosis diabetes melitus. Sementara itu, penderita diabetes melitus tipe 2 perlu melakukan skrining segera setelah terdiagnosis DM lalu kemudian dianjurkan untuk melakukan skrining ulang setiap tahun.

“Kemudian diagnosis DME ditegakkan setelah ditemukan adanya penurunan tajam penglihatan, gambaran khas pada makula dengan pemeriksaan funduskopi, dan adanya penebalan makula yang disertai ditemukannya gambaran penebalan makula pada Optical Coherence Tomography (OCT),” tambahnya.

Penderita diabetes melitus bisa mengalami perkembangan penyakit retina, mulai dari NonProlifereative Diabetic Retinopathy (NPDR) yang ringan hingga berat. Kemudian, penyakit itu dapat berkembang menjadi Proliverative Diabetic Retinopathy (PDR) awal, risiko tinggi, dan tingkat lanjut.

"Dalam setiap tahapan tersebut dapat berubah menjadi DME jika kelainan terjadi pada makula dan jika tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan kebutaan,” sebut Gitalisa.

Tantangan tangani DME
Sementara itu, spesialis mata Elvioza dari Universitas Indonesia mengatakan perlu tatalaksana yang tepat untuk DME. Ia menjelaskan penanganan terapi DME dapat difokuskan menjadi dua, yaitu kontrol faktor sistemik dan memberikan terapi okuler. Kontrol faktor sistemik bertujuan untuk mencegah retinopati dan progresivitas penyakit dengan cara mengontrol gula darah, tekanan darah, dan kadar lemak darah.

"Sedangkan terapi okuler bertujuan untuk mencegah kehilangan penglihatan dan memperbaiki penglihatan dengan cara terapi anti-VEGF, terapi laser dan steroid,” tutur Elvioza.

Hanya saja, memang masih banyak tantangan dalam menangani DME selama ini. Beberapa di antaranya terkait ketiadaan dorongan untuk melakukan skrining secara dini, biaya terapi yang cukup tinggi, kurang optimalnya komunikasi dari penyedia layanan kesehatan dan pasien tentang biaya dan manfaat obat, serta yang juga masih menjadi tantangan besar adalah kerap kali pasien tidak patuh untuk melakukan kontrol dan pengobatan.

“Saat ini pengobatan untuk DME sudah berkembang dan inovatif. Pada penelitian Protocol T yang dilakukan oleh DRCR.net (Diabetic Retinopathy Clinical Research Network) menunjukkan bahwa ketiga anti-VEGF (Aflibercept, Ranibizumab dan Bevacizumab) menunjukkan efikasi yang sama baiknya pada pasien dengan penurunan penglihatan tidak terlalu berat. Namun, pada pasien dengan kondisi berat, Aflibercept menunjukkan efikasi yang lebih baik,” jelasnya.

Dalam hal pengobatan awal yang optimal, penelitian VIVID dan VISTA memberikan bukti pengobatan yang intensif untuk DME memberikan manfaat yang lebih baik. Penelitian VIVID dan VISTA menggunakan injeksi dibandingkan dengan pengobatan dengan laser. Hasil penelitian menunjukkan injeksi aflibercept dengan lima dosis awal memberikan manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan laser.

Selain itu, beberapa bukti dari kondisi nyata sehari-hari juga memberikan kesimpulan yang sama di mana pasien dengan pengobatan dini dan intensif mengalami perbaikan penglihatan dibanding pengobatan dengan aflibercept yang tidak intensif.

"Penglihatan itu bukan segalanya tapi segalanya tidak ada artinya tanpa penglihatan. Jadi, jagalah penglihatan dengan kontrol lebih dini. Bila ada diabetes melitus, kontrol ke dokter mata lebih dini. Pengobatan hasilnya akan lebih baik bila diobati sejak awal," katanya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus