Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sang guru, nasib dan ajarannya

Pengarang: ali akbar navis jekarta: pustaka jaya, 1977 resensi oleh: abdul hadi wm. (bk)

18 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMARAU novel Ali Akbar Navis Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta 1977. Cetakan: Kedua Gambar Jilid: Oesman Effendy Tebal: 117 halaman ALI Akbar Navis (lahir 1924) lebih dikenal sebagai pengarang satire. Karya-karyanya antara lain Robohnya Surau Kami (1956) Bianglala (1963) Hujan Panas (1964) dan sejumlah cerpennya yang belum sempat dibukukan, kaya dengan humor. Meskipun ceritanya lumrah-lumrah saja, tapi tetap mengasyikkan. Terutama yang menjadi bahan ejekan adalah tingkahlaku masyarakat kampung yang urban dan cara-cara mempraktekkan ajaran agama yang kolot. Seperti cerpen-cerpennya, Kemarau juga bermain di udik, di tengah masyarakat kampung yang urban dan masih dipenuhi dengan tahyul meskipun menganut agama Islam yang sebenarnya antitahyul. Tapi berbeda dengan kebanyakan karyanya, novel Navis yang pertama ini serba resmi dan serius. Kalau pun humor ada hanya untuk selingan belaka. Tapi tetap ceritanya dimaksudkan sebagai kritik sosial Di satu pihak terhadap pola hidup orang Minang dan di lain pihak terhadap praktek kehidupan beragama dan berekonomi yang jauh dari manusiawi dan tidak sehat. Pembaharu Isiam Mungkin karena tokoh utamanya orang terhormat dan mulia, alim, baik hati dan disiplin, maka Navis tak mau menurunkan humor-humornya di sini. Meskipun nasib pelaku utamanya, Sutan Duano, cukup konyol, namun toh kekonyolannya tak boleh ditertawakan. Dia adalah seorang guru ngaji yang mentafsirkan ayat suci dan takdir berbeda dari orang-orang sekitarnya, hingga meskipun dia disegani, namun dicurigai orang banyak. Sejumlah perempuan yang menjanda juga banyak menginginkan guru tua yang hidup menyendiri ini, hingga sering jadi bahan rebutan atau saling cemburu, yang kemudian menimbulkan konflik-konflik fisik. Navis menggambarkan tokohnya sebagai puritan, suatu profil ideal dari seorang pembaharu Islam. Tapi dia terasing, sukar mengambil hati masyarakat sekitarnya buat mengikuti ajaran-ajarannya. Dulunya Sutan Duano adalah urang yang bejat. Isterinya yang pertama dan yang sangat dicintai meninggal ketika dia masih muda. Mereka sempat punya anak satu. Sesudah kehilangan isterinya ini Sutan Duano goncang hidupnya, sering kawin cerai, keluar masuk rumah judi dan pelacuran. Anaknya yang masih kecil, Masri, mendapatkan ayahnya suatu kali di tempat pelacuran. Karena malu si anak lari. Ini merupakan kehilangan kedua, yang menyebabkan Sutan Duano bertobat. Akhirnya dia hidup menyendiri di sebuah surau tua, bekerja sebagai tani. Di akhir perang kemerdekaan, orang yang tak pernah diperhatikan orang ini tiba-tiba jadi perhatian orang. Sementara orang sibuk dengan politik dan lain-lain, dia mengerjakan tanah bekerja keras sambil mempelajari buku-buku agama. Jadilah dia yang yang cukup terpandang dan disegani. Membuat Pahala Navis mulai kisahnya ketika musim kemarau tiba. Suatu kemarau panjang yang melenyapkan harapan penduduk. Namun mereka hanya mengomel mengeluh dan melakukan upacara minta hujan yang bertentangan dengan esensi ajaran agama yang mereka anut. Hanya Sutan Duano yang bekerja. mengairi sawahnya dengan mengambil air dari danau setiap hari dengan rajinnya. Di sini pengarang melukiskan bagaimana nasib seorang pembaharu, yang ajarannya berbeda dengan kepercayaan yang melekat pada masyarakat, sebagai "tersisih". Ajakan Sutan Duano misalnya untuk gotong royong ditampik. Navis seolah tak mengerti perobahan sikap mental yang terjadi di tengah masyarakat yang mulai urban. Juga tidak mampu menyelusuri mengapa dalam keadaan sulit yang tak bisa diatasi, karena faktor-faktor sosial ekonomis yang kompleks, orang sering melarikan diri pada tahyul. Tentang takdir Navis menulis keyakinan tokohnya: "Ia yakin bahwa kehidupan ini tak lepas dari sebab akibatnya telah digariskan oleh takdir. Takdir telah ditetapkan pula oleh Tuhan atas Umatnya. Tapi hukum takdir bukanlah untuk menyuruhnya menyerah kalah, tapi berjuang. Berjuang ialah membuat pahala." Pengarang hanya mengambil katakata mutiara yang bertebaran di sekeliling kita dengan mudah, tanpa mengolahnya lebih jauh. Kalau novel ini dimaksudkan untuk mempersoalkan bagaimana seorang pembaharu menafsirkan takdir dan bahwa manusia dihargai karena usaha dan kerjanya, saya kira dalam masyarakat kita orang punya pandangan yang serupa dengan pengarang. Tapi dalam situasi understress harus dipahami bahwa usaha lebih banyak tergantung pada kesempatan yang ada, bukan melulu pada sikap mental. Jelas dalam banyak hal novel Navis ini tidak realistis dan sepihak dalam memandang masalah, sehingga menimbulkan kesan dibuat-buat. Navis belum menguasai masalah-masalah sosial secara luas, padahal bukunya diharapkan sebagai kritik sosial. Lagi pula novel ini berakhir dengan happy ending, berupa reuni kekeluargaan, antara Sutan Duano dengan janda Gudam, dan kedua anaknya, yang telah lama saling memendam cinta. Navis juga mempertemukan Sutan Duano dcngan anaknya, Masri, yang ternyata kawin dengan adik kandungnya lain ibu. Akhirnya mereka bercerai. Di Sini Navis meletakkan faktor hukum karma yang berlaku pada masyarakat kita, untuk menimbulkan kejutan. Seperti banyak novel Indonesia lainnya, Navis begitu mudah membereskan persoalan, seolah sudah kehabisan bahan cerita. Susunan jalan ceritanya pun biasa, dengan selingan-selingan sorot balik (fashback) yang rapi. Jalan cerita rupanya lebih penting daripada penukikan menuju masalah cerita berlangsung dalam hukum sebab-akibat, klimaks-antiklimaks, seperti novel realisme formal yang lain. Konflik baru Sampai pada konflik fisik dan ide permukaan. Belum sampai pada kontlik kejiwaan dan pikiran yang sungguh-sungguh Suatu kelemahan yang juga ditanggung banyak novel Indonesia yang pendek nafasnya dan mau gampangnya saja. Ia hanya mengandalkan kemampuan teknik, tapi tak sanggup memancarkan penguasaan yang kaya dari pengarangnya terhadap masalah. Dalam novelnya, yang pertama kali dicetak 1967 ini, Navis lebih banyak bertindak sebagai guru yang terlalu mendikte dan kurang membawa pembacanya pada suasana dan perenungan yang diam. Dilihat dari sudut tema cerita, penyusunan jalan cerita maupun pengolahan masalah, Kemarau sudah kadaluwarsa. Abdul Hadi W.M.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus