KEMARAU
novel Ali Akbar Navis
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta 1977.
Cetakan: Kedua
Gambar Jilid: Oesman Effendy Tebal: 117 halaman
ALI Akbar Navis (lahir 1924) lebih dikenal sebagai pengarang
satire. Karya-karyanya antara lain Robohnya Surau Kami (1956)
Bianglala (1963) Hujan Panas (1964) dan sejumlah cerpennya yang
belum sempat dibukukan, kaya dengan humor. Meskipun ceritanya
lumrah-lumrah saja, tapi tetap mengasyikkan. Terutama yang
menjadi bahan ejekan adalah tingkahlaku masyarakat kampung yang
urban dan cara-cara mempraktekkan ajaran agama yang kolot.
Seperti cerpen-cerpennya, Kemarau juga bermain di udik, di
tengah masyarakat kampung yang urban dan masih dipenuhi dengan
tahyul meskipun menganut agama Islam yang sebenarnya antitahyul.
Tapi berbeda dengan kebanyakan karyanya, novel Navis yang
pertama ini serba resmi dan serius. Kalau pun humor ada hanya
untuk selingan belaka. Tapi tetap ceritanya dimaksudkan sebagai
kritik sosial Di satu pihak terhadap pola hidup orang Minang dan
di lain pihak terhadap praktek kehidupan beragama dan berekonomi
yang jauh dari manusiawi dan tidak sehat.
Pembaharu Isiam
Mungkin karena tokoh utamanya orang terhormat dan mulia, alim,
baik hati dan disiplin, maka Navis tak mau menurunkan
humor-humornya di sini. Meskipun nasib pelaku utamanya, Sutan
Duano, cukup konyol, namun toh kekonyolannya tak boleh
ditertawakan. Dia adalah seorang guru ngaji yang mentafsirkan
ayat suci dan takdir berbeda dari orang-orang sekitarnya, hingga
meskipun dia disegani, namun dicurigai orang banyak. Sejumlah
perempuan yang menjanda juga banyak menginginkan guru tua yang
hidup menyendiri ini, hingga sering jadi bahan rebutan atau
saling cemburu, yang kemudian menimbulkan konflik-konflik fisik.
Navis menggambarkan tokohnya sebagai puritan, suatu profil ideal
dari seorang pembaharu Islam. Tapi dia terasing, sukar mengambil
hati masyarakat sekitarnya buat mengikuti ajaran-ajarannya.
Dulunya Sutan Duano adalah urang yang bejat. Isterinya yang
pertama dan yang sangat dicintai meninggal ketika dia masih
muda. Mereka sempat punya anak satu. Sesudah kehilangan
isterinya ini Sutan Duano goncang hidupnya, sering kawin cerai,
keluar masuk rumah judi dan pelacuran. Anaknya yang masih kecil,
Masri, mendapatkan ayahnya suatu kali di tempat pelacuran.
Karena malu si anak lari. Ini merupakan kehilangan kedua, yang
menyebabkan Sutan Duano bertobat.
Akhirnya dia hidup menyendiri di sebuah surau tua, bekerja
sebagai tani. Di akhir perang kemerdekaan, orang yang tak pernah
diperhatikan orang ini tiba-tiba jadi perhatian orang. Sementara
orang sibuk dengan politik dan lain-lain, dia mengerjakan tanah
bekerja keras sambil mempelajari buku-buku agama. Jadilah dia
yang yang cukup terpandang dan disegani.
Membuat Pahala
Navis mulai kisahnya ketika musim kemarau tiba. Suatu kemarau
panjang yang melenyapkan harapan penduduk. Namun mereka hanya
mengomel mengeluh dan melakukan upacara minta hujan yang
bertentangan dengan esensi ajaran agama yang mereka anut. Hanya
Sutan Duano yang bekerja. mengairi sawahnya dengan mengambil
air dari danau setiap hari dengan rajinnya.
Di sini pengarang melukiskan bagaimana nasib seorang pembaharu,
yang ajarannya berbeda dengan kepercayaan yang melekat pada
masyarakat, sebagai "tersisih". Ajakan Sutan Duano misalnya
untuk gotong royong ditampik. Navis seolah tak mengerti
perobahan sikap mental yang terjadi di tengah masyarakat yang
mulai urban. Juga tidak mampu menyelusuri mengapa dalam keadaan
sulit yang tak bisa diatasi, karena faktor-faktor sosial
ekonomis yang kompleks, orang sering melarikan diri pada tahyul.
Tentang takdir Navis menulis keyakinan tokohnya: "Ia yakin
bahwa kehidupan ini tak lepas dari sebab akibatnya telah
digariskan oleh takdir. Takdir telah ditetapkan pula oleh Tuhan
atas Umatnya. Tapi hukum takdir bukanlah untuk menyuruhnya
menyerah kalah, tapi berjuang. Berjuang ialah membuat pahala."
Pengarang hanya mengambil katakata mutiara yang bertebaran di
sekeliling kita dengan mudah, tanpa mengolahnya lebih jauh.
Kalau novel ini dimaksudkan untuk mempersoalkan bagaimana
seorang pembaharu menafsirkan takdir dan bahwa manusia dihargai
karena usaha dan kerjanya, saya kira dalam masyarakat kita orang
punya pandangan yang serupa dengan pengarang. Tapi dalam situasi
understress harus dipahami bahwa usaha lebih banyak tergantung
pada kesempatan yang ada, bukan melulu pada sikap mental.
Jelas dalam banyak hal novel Navis ini tidak realistis dan
sepihak dalam memandang masalah, sehingga menimbulkan kesan
dibuat-buat. Navis belum menguasai masalah-masalah sosial secara
luas, padahal bukunya diharapkan sebagai kritik sosial. Lagi
pula novel ini berakhir dengan happy ending, berupa reuni
kekeluargaan, antara Sutan Duano dengan janda Gudam, dan kedua
anaknya, yang telah lama saling memendam cinta. Navis juga
mempertemukan Sutan Duano dcngan anaknya, Masri, yang ternyata
kawin dengan adik kandungnya lain ibu. Akhirnya mereka bercerai.
Di Sini Navis meletakkan faktor hukum karma yang berlaku pada
masyarakat kita, untuk menimbulkan kejutan.
Seperti banyak novel Indonesia lainnya, Navis begitu mudah
membereskan persoalan, seolah sudah kehabisan bahan cerita.
Susunan jalan ceritanya pun biasa, dengan selingan-selingan
sorot balik (fashback) yang rapi. Jalan cerita rupanya lebih
penting daripada penukikan menuju masalah cerita berlangsung
dalam hukum sebab-akibat, klimaks-antiklimaks, seperti novel
realisme formal yang lain.
Konflik baru Sampai pada konflik fisik dan ide permukaan.
Belum sampai pada kontlik kejiwaan dan pikiran yang
sungguh-sungguh Suatu kelemahan yang juga ditanggung banyak
novel Indonesia yang pendek nafasnya dan mau gampangnya saja. Ia
hanya mengandalkan kemampuan teknik, tapi tak sanggup
memancarkan penguasaan yang kaya dari pengarangnya terhadap
masalah. Dalam novelnya, yang pertama kali dicetak 1967 ini,
Navis lebih banyak bertindak sebagai guru yang terlalu mendikte
dan kurang membawa pembacanya pada suasana dan perenungan yang
diam.
Dilihat dari sudut tema cerita, penyusunan jalan cerita maupun
pengolahan masalah, Kemarau sudah kadaluwarsa.
Abdul Hadi W.M.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini