Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pengawal-Pengawal Seribu Perak

Suka duka petugas satwal (satuan pengawal barang) mengawasi keamanan barang yang diangkut truk-truk. menghadang kalau ada pencoleng. berdiri seharian di jalanan.

27 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIANG itu, Jalan Jakarta By Pass ramai seperti biasanya. Mobil mobil dari segala jenis berseliweran dengan kecepatan tinggi. Sementara matahari kemarau menyengat segala yang ada di jalan. Panas dan gerah. Seorang lelaki tampak duduk di bangku di bawah pohon akasia yang banyak tumbuh di sepanjang Jalan Jakarta By Pass. Ia hanya sendirian. Memakai seragam biru tua dengan tulisan SATWAL di dada kirinya. Di dada kanannya tertulis namanya. Pada lengan kanan ada lambang jangkar. Ia memandang terus ke arah mobil yang lalulalang. Matanya tampak lebih awas kalau sebuah truk lewat dengan muatan sarat. "Tugas saya mengawasi keamanan barang yang diangkut truk-truk itu," katanya kepada TEMPO. Sebut saja namanya Sarkawi, 29 tahun. Sudah menjadi anggota Satwal (Satuan Pengawal Barang) sejak kesatuan itu didirikan 6 tahun yang lalu. Ia salah seorang dari sekitar 300 orang anggota Satwal yang mengamankan barang-barang yang diangkut ke atau dari pelabuhan Tanjung Priok. Setiap truk pembawa barang yang keluar atau masuk pelabuhan dikenakan biaya Rp 1000 untuk jasa pengamanan tersebut. Dari kesibukan ini, ratusan ribu rupiah setiap hari dapat dikumpulkan. Apalagi kalau kebetulan ada kapal yang mengangkut beras impor sedang bongkar muatan. Pada mulanya personil Satwal diambil dari Kamra (Keamanan Rakyat) yang berada di bawah koordinasi KP3 Komando Pelaksana Pengamanan Pelabuhan). Setiap truk yang keluar pelabuhan waktu itu akan dikawal oleh seorang Kamra sampai ke tujuan. "Waktu di Kamra bisa dapat duit banyak kalau kita rajin ngawal. Toke-toke yang punya barang sering ngasih duit lumayan kalau barang-barang sampai dengan selamat," kata Sarkawi. Apalagi kalau sempat bikin kejutan yaitu menggagalkan seorang pencoleng yang mau menggaet muatan. Kuli Bangunan Pada 1974 soal pengawalan itu diambil-alih oleh BPP (Badan Pengusahaan Plabuhan). Sarkawi sendiri tidak tahu apa alasannya. Ia cuma tahu sejak itu nama Kamra diubah jadi Satwal dan secara operasional kemudian berada di bawah koordinasi Kodim 0502 Jakarta Utara. Cara pengawalan pun diubah. Tak ada lagi "jagoan " Kamra yang ikut di atas truk. Tugas mereka dialihkan ke pinggir jalan dengan hanya mata mengikuti gerak-gerik truk tersebut. Truk tidak berarti lepas dari pengawalan, karena sepanjang jalan yang dilewatinya berserakan para Satwal. Di daerah yang dianggap rawan didirikan pos-pos. Misalnya di Jalan Bay Pass, Jalan Perintis Kemerdekaan, Daerah Cempaka Putih, Jalan Raya Cilincing, Jalan Raya Cakung, Jalan Ancol sampai ke daerah Kota, pintu gerbang pelabuhan dan gudang Cakung. Di samping itu masih diperkuat lagi dengan petugas keliling dengan motor bersenjata api, garrand atau sten gun. Yang terakhir ini disebut petugas "motoris". Sarkawi dulu seorang motoris, tapi kemudian dipindahkan ke pinggir jalan. "Habis saya tak tahan angin, sakit-sakitan melulu," katanya mengakui. Kini setiap pukul 07.00 ia sudah harus siap di kantor Satwal Jalan Cucut Tanjung Priok. Setelah mengisi buku absen dan apel, ia langsung menuju pos yang telah ditentukan atasannya. Daerah tugas setiap hari berubah. Untuk mencapai pos harus pakai kendaraan umum. Ini memang bagian dari keluhan para anggota Satwal. Kalau dibicarakan dengan komandan paling dijawab "berinisiatif dong!" Maksudnya anggotanya harus cari omprengan gratis sendiri-sendiri. "Kerja di Satwal seperti kerja kuli bangunan," keluh Sarkawi, "dapat duit kalau masuk kerja. Kalau tidak ya nihil." Berapa sih? Menurutnya hanya Rp 1.000 sehari, sekaligus untuk transpor, makan dan rokok. Itu pun bisa hampa kalau kebetulan ia tidak ada di pos pada saat ada kontrol, meskipun sudah bertugas sehari suntuk. Hitung-hitung paling banter hanya Rp 600 yang bisa dibawanya pulang untuk menghidupi istri dan kedua anaknya. Tidak Diperhatikan Kalau sakit, lumayan bisa berobat gratis di klinik BPP Tanjung Priok. Hanya malangnya kalau tak ada surat istirahat sakit dari dokter, dianggap tidak masuk kerja. Dan kalau salah seorang anggota keluarga sakit, tak ada jaminan apa-apa. Barangkali karena itu Sarkawi lantas bilang, "Ah, dinas di Satwal enggak ada sukanya. Kami selalu diminta berdisiplin, kerja yang baik, jangan lengah, tapi kesejahteraan tidak diperhatikan. Bos kami seperti tidak ambil pusing soal itu." Menghalau pencoleng bagi Sarkawi sudah kerja rutin. Di Ancol sekali peristiwa tatkala masih zamannya Kamra, ia pernah dikeroyok sekawanan Bajing Loncat. Di atas truk yang sedang jalan ia berjuang mati-matian melawan lima bajingan. Dan berhasil mengusir mereka tanpa kerugian barang. Hanya tangannya yang terluka kena sabet pisau. Kali lain, ia memergoki seorang penjambret menggaet tas seorang tua. Meskipun bukan tugasnya, Sarkawi langsung mengejar. Dan berhasil juga. Tapi seorang rekan Sarkawi belum lama ini mati dalam perkelahian dengan pencoleng. Temannya yang lain kena tusuk penjahat di punggung, sehingga terpaksa mondok di rumah sakit. "Pekerjaan ini kelihatannya ringan, hanya nongkrong di pinggir jalan, tapi sebenarnya kami mati-matian menyelamatkan barang orang," katanya. "Di Satwal ini kapan saja kami bisa dipecat dengan gampang," kata rekan Sarkawi, seorang pria berusia 39 tahun. Sebut saja namanya Mujono. Ia sudah dua kali menangkap pencoleng. Sekali sempat dikeroyok tatkala mengantar onderdil sepeda ke daerah kota. Untung waktu itu ia masih dibekali senjata maison. Dengan tembakan peringatan ke atas para pencoleng itu berhasil diusirnya. Satu di antaranya malahan tertangkap. Untuk itu Mujono dapat persen barang dan uang dari pemilik barang. Ini di zaman Kamra lho! Kuda Beban "Menurut pengalaman saya, pencoleNg-pencoleng itu takut melihat kami soalnya mereka tahu jumlah kami banyak," kata Mujono melanjutkan kisahnya. Di sepanjang by Pass menurut keterangannya, setiap 200 meter dihuni oleh seorang petugas Satwal. Kalau terjadi sesuatu mereka segera tolong menolong. Sehingga kendati tidak lagi dibekali senjata api, mereka disegani. "Sebenarnya kalau ada kerjaan lain saya nggak pilih jadi penjaga barang," kata Karim (nama samaran), petugas Satwal yang berusia 56 tahun. Ia merasa seperti kuda beban. Tenaga dikuras, tapi makan tidak diurus. Sebenarnya ia sendiri tidak terlalu mikir soal uang, karena ia toh masih punya uang pensiunan dari pekerjaannya yang lama. "Saya hanya kasihan melihat anak-anak muda jadi anggota Satwal. Honornya tidak sebanding. Apalagi banyak di antara mereka yang lulusan SMA atau STM," ujarnya. Menurut Karim tanggungjawab Satwal berat. Kalau ada barang hilang di atas truk di kawasan yang berdekatan dengan posnya, ia akan langsung dipecat. "Meskipun kita tidak tahu kejadian itu," katanya. Menurut Somad (bukan nama sebenarnya), semua anggota Satwal dapat latihan bela diri karate dua kali dalam seminggu. Dengan modal itu mereka bertugas. Itu sebabnya Somad tidak takut bertugas malam hari di tempat sepi dengan tangan kosong. la juga mengeluh karena pendapatan begitu kecil. Tapi "ini hanya sebagai batu loncatan untuk pekerjaan lain nanti," ujarnya. Nasib pengawal pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, kelihatannya sedikit berbeda. Di situ ada 40 orang pengawal. Tigapuluh di antaranya adalah pensiunan marinir. "Setelah saya pensiun dari marinir dengan pangkat kopral Satu, saya dikaryakan komandan di sini. Ya saya senang, timbang nganggur," ucap Sutrisno kepada TEMPO. Lelaki berusia 45 tahun itu bahkan berjanji akan bekerja sebagai pengawal pelabuhan sampai tua. Sutrisno dan kawan-kawannya memakai baju biru muda dan celana biru tua. Mengenakan peci ala angkatan laut dan tanda pangkat statusnya adalah pegawai Pelni. "Memang kerja di sini tidak sekeren dulu yang kalau bertugas menyandang senjata," kata Sutrisno lebih lanjut. Tapi dengan honor tetap plus uang pensiunan yang berjumlah Rp 23 ribu ia kelihatannya cukup puas. Habis kerjaannya juga santai. "Sehari masuk sehari prei," katanya. Tapi pengawal yang lain, Mardjoeki, lain lagi. Ia mengeluh karena sudah 10 tahun kerja belum juga diangkat sebagai pegawai negeri. Ia sering mempertaruhkan nyawa semata-mata untuk mengamankan barang dari tangan pencoleng. "Setiap saya dapat pencoleng, jangankan dapat hadiah, malah rugi ongkos kendaraan ke pengadilan," ujarnva dingin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus