SIANG itu, Jalan Jakarta By Pass ramai seperti biasanya. Mobil
mobil dari segala jenis berseliweran dengan kecepatan tinggi.
Sementara matahari kemarau menyengat segala yang ada di jalan.
Panas dan gerah.
Seorang lelaki tampak duduk di bangku di bawah pohon akasia yang
banyak tumbuh di sepanjang Jalan Jakarta By Pass. Ia hanya
sendirian. Memakai seragam biru tua dengan tulisan SATWAL di
dada kirinya. Di dada kanannya tertulis namanya. Pada lengan
kanan ada lambang jangkar. Ia memandang terus ke arah mobil yang
lalulalang. Matanya tampak lebih awas kalau sebuah truk lewat
dengan muatan sarat.
"Tugas saya mengawasi keamanan barang yang diangkut truk-truk
itu," katanya kepada TEMPO. Sebut saja namanya Sarkawi, 29
tahun. Sudah menjadi anggota Satwal (Satuan Pengawal Barang)
sejak kesatuan itu didirikan 6 tahun yang lalu. Ia salah seorang
dari sekitar 300 orang anggota Satwal yang mengamankan
barang-barang yang diangkut ke atau dari pelabuhan Tanjung
Priok.
Setiap truk pembawa barang yang keluar atau masuk pelabuhan
dikenakan biaya Rp 1000 untuk jasa pengamanan tersebut. Dari
kesibukan ini, ratusan ribu rupiah setiap hari dapat
dikumpulkan. Apalagi kalau kebetulan ada kapal yang mengangkut
beras impor sedang bongkar muatan.
Pada mulanya personil Satwal diambil dari Kamra (Keamanan
Rakyat) yang berada di bawah koordinasi KP3 Komando Pelaksana
Pengamanan Pelabuhan). Setiap truk yang keluar pelabuhan waktu
itu akan dikawal oleh seorang Kamra sampai ke tujuan. "Waktu di
Kamra bisa dapat duit banyak kalau kita rajin ngawal. Toke-toke
yang punya barang sering ngasih duit lumayan kalau barang-barang
sampai dengan selamat," kata Sarkawi. Apalagi kalau sempat bikin
kejutan yaitu menggagalkan seorang pencoleng yang mau menggaet
muatan.
Kuli Bangunan
Pada 1974 soal pengawalan itu diambil-alih oleh BPP (Badan
Pengusahaan Plabuhan). Sarkawi sendiri tidak tahu apa alasannya.
Ia cuma tahu sejak itu nama Kamra diubah jadi Satwal dan secara
operasional kemudian berada di bawah koordinasi Kodim 0502
Jakarta Utara. Cara pengawalan pun diubah. Tak ada lagi "jagoan
" Kamra yang ikut di atas truk. Tugas mereka dialihkan ke
pinggir jalan dengan hanya mata mengikuti gerak-gerik truk
tersebut.
Truk tidak berarti lepas dari pengawalan, karena sepanjang jalan
yang dilewatinya berserakan para Satwal. Di daerah yang dianggap
rawan didirikan pos-pos. Misalnya di Jalan Bay Pass, Jalan
Perintis Kemerdekaan, Daerah Cempaka Putih, Jalan Raya
Cilincing, Jalan Raya Cakung, Jalan Ancol sampai ke daerah Kota,
pintu gerbang pelabuhan dan gudang Cakung. Di samping itu masih
diperkuat lagi dengan petugas keliling dengan motor bersenjata
api, garrand atau sten gun. Yang terakhir ini disebut petugas
"motoris".
Sarkawi dulu seorang motoris, tapi kemudian dipindahkan ke
pinggir jalan. "Habis saya tak tahan angin, sakit-sakitan
melulu," katanya mengakui. Kini setiap pukul 07.00 ia sudah
harus siap di kantor Satwal Jalan Cucut Tanjung Priok. Setelah
mengisi buku absen dan apel, ia langsung menuju pos yang telah
ditentukan atasannya. Daerah tugas setiap hari berubah. Untuk
mencapai pos harus pakai kendaraan umum. Ini memang bagian dari
keluhan para anggota Satwal. Kalau dibicarakan dengan komandan
paling dijawab "berinisiatif dong!" Maksudnya anggotanya harus
cari omprengan gratis sendiri-sendiri.
"Kerja di Satwal seperti kerja kuli bangunan," keluh Sarkawi,
"dapat duit kalau masuk kerja. Kalau tidak ya nihil." Berapa
sih? Menurutnya hanya Rp 1.000 sehari, sekaligus untuk transpor,
makan dan rokok. Itu pun bisa hampa kalau kebetulan ia tidak ada
di pos pada saat ada kontrol, meskipun sudah bertugas sehari
suntuk. Hitung-hitung paling banter hanya Rp 600 yang bisa
dibawanya pulang untuk menghidupi istri dan kedua anaknya.
Tidak Diperhatikan
Kalau sakit, lumayan bisa berobat gratis di klinik BPP Tanjung
Priok. Hanya malangnya kalau tak ada surat istirahat sakit dari
dokter, dianggap tidak masuk kerja. Dan kalau salah seorang
anggota keluarga sakit, tak ada jaminan apa-apa. Barangkali
karena itu Sarkawi lantas bilang, "Ah, dinas di Satwal enggak
ada sukanya. Kami selalu diminta berdisiplin, kerja yang baik,
jangan lengah, tapi kesejahteraan tidak diperhatikan. Bos kami
seperti tidak ambil pusing soal itu."
Menghalau pencoleng bagi Sarkawi sudah kerja rutin. Di Ancol
sekali peristiwa tatkala masih zamannya Kamra, ia pernah
dikeroyok sekawanan Bajing Loncat. Di atas truk yang sedang
jalan ia berjuang mati-matian melawan lima bajingan. Dan
berhasil mengusir mereka tanpa kerugian barang. Hanya tangannya
yang terluka kena sabet pisau.
Kali lain, ia memergoki seorang penjambret menggaet tas seorang
tua. Meskipun bukan tugasnya, Sarkawi langsung mengejar. Dan
berhasil juga.
Tapi seorang rekan Sarkawi belum lama ini mati dalam perkelahian
dengan pencoleng. Temannya yang lain kena tusuk penjahat di
punggung, sehingga terpaksa mondok di rumah sakit. "Pekerjaan
ini kelihatannya ringan, hanya nongkrong di pinggir jalan, tapi
sebenarnya kami mati-matian menyelamatkan barang orang,"
katanya.
"Di Satwal ini kapan saja kami bisa dipecat dengan gampang,"
kata rekan Sarkawi, seorang pria berusia 39 tahun. Sebut saja
namanya Mujono. Ia sudah dua kali menangkap pencoleng. Sekali
sempat dikeroyok tatkala mengantar onderdil sepeda ke daerah
kota. Untung waktu itu ia masih dibekali senjata maison. Dengan
tembakan peringatan ke atas para pencoleng itu berhasil
diusirnya. Satu di antaranya malahan tertangkap. Untuk itu
Mujono dapat persen barang dan uang dari pemilik barang. Ini di
zaman Kamra lho!
Kuda Beban
"Menurut pengalaman saya, pencoleNg-pencoleng itu takut melihat
kami soalnya mereka tahu jumlah kami banyak," kata Mujono
melanjutkan kisahnya. Di sepanjang by Pass menurut
keterangannya, setiap 200 meter dihuni oleh seorang petugas
Satwal. Kalau terjadi sesuatu mereka segera tolong menolong.
Sehingga kendati tidak lagi dibekali senjata api, mereka
disegani.
"Sebenarnya kalau ada kerjaan lain saya nggak pilih jadi penjaga
barang," kata Karim (nama samaran), petugas Satwal yang berusia
56 tahun. Ia merasa seperti kuda beban. Tenaga dikuras, tapi
makan tidak diurus. Sebenarnya ia sendiri tidak terlalu mikir
soal uang, karena ia toh masih punya uang pensiunan dari
pekerjaannya yang lama. "Saya hanya kasihan melihat anak-anak
muda jadi anggota Satwal. Honornya tidak sebanding. Apalagi
banyak di antara mereka yang lulusan SMA atau STM," ujarnya.
Menurut Karim tanggungjawab Satwal berat. Kalau ada barang
hilang di atas truk di kawasan yang berdekatan dengan posnya, ia
akan langsung dipecat. "Meskipun kita tidak tahu kejadian itu,"
katanya.
Menurut Somad (bukan nama sebenarnya), semua anggota Satwal
dapat latihan bela diri karate dua kali dalam seminggu. Dengan
modal itu mereka bertugas. Itu sebabnya Somad tidak takut
bertugas malam hari di tempat sepi dengan tangan kosong. la juga
mengeluh karena pendapatan begitu kecil. Tapi "ini hanya sebagai
batu loncatan untuk pekerjaan lain nanti," ujarnya.
Nasib pengawal pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya,
kelihatannya sedikit berbeda. Di situ ada 40 orang pengawal.
Tigapuluh di antaranya adalah pensiunan marinir. "Setelah saya
pensiun dari marinir dengan pangkat kopral Satu, saya dikaryakan
komandan di sini. Ya saya senang, timbang nganggur," ucap
Sutrisno kepada TEMPO. Lelaki berusia 45 tahun itu bahkan
berjanji akan bekerja sebagai pengawal pelabuhan sampai tua.
Sutrisno dan kawan-kawannya memakai baju biru muda dan celana
biru tua. Mengenakan peci ala angkatan laut dan tanda pangkat
statusnya adalah pegawai Pelni. "Memang kerja di sini tidak
sekeren dulu yang kalau bertugas menyandang senjata," kata
Sutrisno lebih lanjut. Tapi dengan honor tetap plus uang
pensiunan yang berjumlah Rp 23 ribu ia kelihatannya cukup
puas. Habis kerjaannya juga santai. "Sehari masuk sehari prei,"
katanya.
Tapi pengawal yang lain, Mardjoeki, lain lagi. Ia mengeluh
karena sudah 10 tahun kerja belum juga diangkat sebagai pegawai
negeri. Ia sering mempertaruhkan nyawa semata-mata untuk
mengamankan barang dari tangan pencoleng. "Setiap saya dapat
pencoleng, jangankan dapat hadiah, malah rugi ongkos kendaraan
ke pengadilan," ujarnva dingin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini