MASALAH pribumi dan non pribumi kembali diperdebatkan dengan
meledaknya sengketa Innismo vs. Marubeni-Nissan. Pihak Jepang
yang ingin menggusur kepemimpinan Affan bersaudara di PT
Innismo, menimbulkan kesan ingin menggeser posisi sekelompok
pengusaha pribumi. Benarkah?
Beberapa suara di DPR, ketika dengar pendapat Gaakindo dengan
Komisi VI baru-baru ini, ada juga menyinggung soal itu. Sutanto
dari F-PP misalnya menghubungkan kasus Affan-Marubeni itu dengan
kasus Aseyma Motors, yang dulunya menjadi agen tunggal Suzuki.
Menurut Sutanto, Jepang yang merasa tak puas dengan CV Aseyma
yang pribumi itu berhasil mencabut keagenan itu. Lalu
memindahkannya kepada kelompok Indo Mobil yang non-pribumi.
Kejadian yang dikemukakan Sutanto, kalau pun benar terjadi, tak
dengan sendirinya mewakili sikap pengusaha mobil Jepang dalam
mencari partnernya di Indonesia. Almarhum A. Wahab Affan --
sebelum meninggal dunia di Negeri Belanda bulan Maret 1976 dalam
usia 48 tahun --terkenal sebagai pengusaha pribumi yang lincah.
Karena sikapnya yang pandai bergaul itu pula yang membuat
Sudjono Humardham, kini Irjenbang, tertarik pada almarhum Wahab.
Dan Mayjen Sudjono, yang sewaktu menjabat Aspri Presiden dikenal
amat dekat dengan swasta Jepang, telah memperkenalkan Wahab
kepada orang-orang Nissan. Maka Wahab Affan, yang mulanya
menjadi penyalur tunggal mobil-mobil Nissan dalam bentuk CBU,
kemudian meneruskan memimpin PT Innismo bersama empat
saudaranya.
Thaib Affan yang kabarnya tak selincah abangnya boleh dibilang
tergolong pengusaha yang fanatik pribumi juga. Papan nama
Innismo yang bertengger di pabrik perakitan Immer Motor di
Surabaya, yang merakit mobil-mobil Nissan-Datsun, diberinya
tulisan "Pribumi". Dan Thaib Affan bersaudara yang bersedia
mundur dari manajemen PT Innismo, memberi persyaratan: agar yang
menggantikan mereka adalah pribumi yang dianggap profesional.
Ada yang menyebutkan sebanyak 50% saham Innismo, jika berhasil
dioper dari tangan Thaib bersaudara, akan diberikan kepada pihak
Pepabri.
Soal pri dan nonpri ini bagi sementara pengamat agak berlebihan
diperkirakan. Alasannya: dari 22 agen tunggal dan perakit mobil,
sebanyak 16 perusahaan sebenarnya tercatat sebagai milik pribumi
(lihat Tabel).
Adakalanya perusahaan milik pribumi itu memang dipimpin oleh
non-pribumi, karena dianggap cakap. Ini antara lain terdapat di
PT Garuda Mataram milik Yayasan Kostrad. Dan Sofjan Wanandi, di
masa aksi mahasiswa 1966 dikenal sebagai Liem Bian Koen, sejak
beberapa tahun menjadi direktur utama di sana. Jebolan FE-UI itu
menyatakan tak memiliki saham selembar pun di Garuda Mataram.
Saat ini boleh dikatakan posisi antara yang pri dengan
non-pribumi dalam bisnis permobilan adalah kurang lebih
seimbang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini