Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERGAUL akrab dengan perangkat komputer di masa kiwari sudah jamak. Bahkan, demi tugas atau kesenangan dan hobi—seperti bermain game—orang rela berjam-jam memelototi layar beradiasi itu setiap hari. Mata pedih, panas, dan berair hingga kepala cenat-cenut pun diabaikan. Padahal itu merupakan tanda-tanda terkena computer vision syndrome, gejala akibat terlalu lama menggunakan perangkat dengan layar berpendar (computer display terminal).
National Institute of Occupational Safety and Health, Amerika Serikat, menyebut prevalensi sindrom ini mencapai 88 persen dari pengguna komputer yang menatap layar lebih dari tiga jam sehari. Di Indonesia memang belum ada data, tapi dipastikan jumlah penderitanya meningkat dari waktu ke waktu melihat makin terikatnya orang dengan layar komputer. ”Gejala ini seperti fenomena gunung es. Yang terlihat di permukaan hanya sedikit, tapi kejadiannya di masyarakat lebih besar lagi,” kata Cosmos Mangunsong, dokter spesialis mata dari Royal Progress, Sunter, Jakarta Utara.
Seminar berjudul ”Mata untuk Dunia”, yang digelar di Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang, Banten, Jumat tiga pekan lalu, salah satunya membahas gejala ini. Computer vision syndrome didefinisikan sebagai kumpulan gejala akibat pemakaian komputer secara berlebihan, antara lain bisa terjadi pada mata dan sistem visual, pada sistem muskuloskeletal atau otot dan persendian, serta pada sistem saraf.
Pada mata dan sistem visual, gejala yang dialami antara lain mata lelah dan merasa mengantuk; penglihatan kabur serta ganda; dan kelopak mata sering berkedut. Sedangkan gejala pada sistem otot dan persendian di antaranya rasa pegal pada otot dan persendian leher serta pegal pada otot punggung atau tulang belakang. Gangguan pada sistem saraf berupa pusing, yang sering terjadi pada kepala bagian belakang.
Gejala computer vision syndrome sepertinya tak terlalu berbahaya. Tapi, bila dibiarkan berlarut-larut, ini bisa mengakibatkan mata juling seperti yang menimpa Julie Soewari, 42 tahun. Perempuan yang bekerja sebagai sekretaris eksekutif di sebuah perusahaan tekstil asing ini memang akrab dengan komputer. Rata-rata setiap hari dia bekerja dengan komputer selama enam jam. Mata lelah, leher kaku, dan pusing sudah sering dia alami. Namun pengalaman mata juling yang berlangsung hingga lima hari ini sangat di luar dugaan.
Musibah itu terjadi pada suatu petang akhir Maret lalu ketika Julie menginap di rumah teman perempuannya di Warakas, Jakarta Utara. ”Mbak, kok matamu juling. Kenapa?” tanya temannya itu. Mulanya Julie tidak paham maksud teguran itu. Namun dia memang merasakan keanehan pada matanya. Pandangannya kabur serta berkabut, dan semua obyek yang dilihatnya menjadi ganda. Julie juga tak mampu lagi berjalan akibat pusing dahsyat.
Dia juga tak bisa menyelaraskan gerak tubuhnya. Saat Julie hendak kamar kecil, misalnya, ”Saya tahu letak kamar kecil di sebelah kiri, tapi saya malah bergerak ke kanan.” Mual dan lemas menambah deritanya. Julie pun dibawa ke Rumah Sakit Royal Progress, Sunter, Jakarta Utara. ”Sampai di rumah sakit, saya sudah tak mampu berjalan, sehingga harus dibantu dengan kursi roda,” katanya.
Menurut dokter yang memeriksanya, Cosmos Mangunsong, Julie mengidap computer vision syndrome, yang ditandai dengan astenopia alias mata lelah. Pasien dengan gejala ini bukan baru bagi Cosmos. Ia sudah berkali-kali menangani kasus sindrom mata lelah akibat komputer, meski tak sampai separah Julie.
”Timbulnya computer vision syndrome bisa karena panjangnya durasi di depan komputer, penerangan ruangan yang kurang baik, atau posisi tubuh saat menggunakan komputer yang tidak baik,” kata Cosmos, yang juga dosen Divisi Kedokteran Kerja, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kebiasaan memelototi layar komputer 8-10 jam sehari pulalah yang membuat Silvana Ginting, 24 tahun, mengalami sindrom mata lelah. Sebulan lalu, karyawan The Nielsen Company, Jakarta, itu mengeluh sakit kepala bagian belakang saat hendak pulang kerja. Padahal ia jarang pusing. Lehernya juga terasa kaku dan nyeri jika menengok atau menunduk. Beruntung, atas saran dokter Cosmos, Silvana hanya diminta tidur tanpa bantal, tidak seperti Julie, yang harus dirawat di rumah sakit selama masih juling dan dilarang menggunakan komputer seminggu.
Proses menjadi juling temporer juga bermula kelelahan mata yang dibiarkan berlarut-larut. Pandangan mata menjadi kabur karena otot-otot akomodasi, yang berfungsi memfokuskan lensa di dalam bola mata, lelah. Pandangan juga dobel karena keletihan otot-otot penggerak bola mata yang terus-menerus melihat obyek dari jarak dekat dan menengah, sehingga kedua bola mata mendekat (konvergen).
Juling temporer bukan satu-satunya dampak parah kelelahan mata kronis. ”Penelitian terakhir menyatakan kelelahan mata bisa memicu peningkatan tekanan bola mata, yang menjadi risiko terjadinya glaukoma,” kata Cosmos. Tanpa pengobatan tepat, glaukoma bisa berujung pada kebutaan.
Selain memberikan tetes mata, vitamin, antioksidan, atau obat-obatan, Cosmos biasa menangani pasien pengidap mata lelah akibat komputer dengan pijat atau relaksasi. Menurut pengelola Klinik Relaksasi dan Stimulasi Mata RS Royal Progress ini, sebelum ada obat-obatan modern, pijat di sekitar bola mata termasuk terapi. ”Pemijatan ringan di bawah mata, misalnya, bisa melancarkan aliran getah bening dan darah di mata,” katanya.
Ferdiriva Hamzah, dokter spesialis mata di iCare Lasik and Cataract Center, Jakarta, memilih memberikan air mata artifisial dan menyarankan istirahat bagi pasien computer vision syndrome. ”Tak ada pijatan khusus,” kata Ferdiriva, yang mengaku sering menemukan pasien dengan sindrom ini, pekan lalu.
Berbagai terapi memang mampu menyembuhkan, tapi yang terbaik adalah pencegahan. Saran Cosmos dan Ferdiriva sama. Misalnya, untuk mencegah sindrom tersebut, layar komputer diposisikan sejajar dengan mata, menggunakan kursi dengan tatakan lengan serta yang bisa diatur sandaran dan ketinggiannya, sehingga telapak kaki menapak nyaman di lantai.
”Lakukan relaksasi mata secara berkala di sela-sela penggunaan komputer,” kata Cosmos. Rumus 20-20-20 bisa dilakukan, yakni setiap 20 menit melihat komputer, berhentilah selama 20 detik, untuk melihat ke arah lebih dari 20 feet (6 meter). Setel alarm di komputer sebagai pengingatnya. Kini Julie berusaha keras mengikuti saran itu. ”Takut juling kembali.”
Dwi Wiyana
Sehat dalam Lima Menit
Bagi yang terlalu banyak memelototi layar komputer dan tak ingin terkena computer vision syndrome, hanya perlu lima menit setiap hari setelah bangun tidur untuk melakukan hal-hal berikut ini.
- Cek ketajaman penglihatan: lihat jam dinding atau kalender. Apakah angka-angkanya masih bisa terbaca dengan jelas atau ada penurunan tingkat penglihatan dibanding hari-hari sebelumnya.
- Cek tekanan bola mata: tekan bola mata, lalu bandingkan dengan permukaan telapak tangan bagian atas (pada pangkal jempol). Posisi jari-jari tangan mengepal. Jika tekanan bola mata sama dengan di telapak, berarti bola mata normal. Jika bola mata terasa lebih kencang atau keras, apalagi terasa sakit, itu indikasi ada yang tidak beres, termasuk risiko glaukoma.
- Cek keadaan bola mata: becerminlah. Amati bila terjadi perubahan pada tampilan luar bola mata, misalnya benjolan di bagian kelopak atau ada selaput yang menutupi kornea.
DW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo