Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA ”Yesus hitam” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pekan lalu. Di salah satu dinding ruang pamer terpampang sesosok tubuh lelaki hitam telanjang yang disalib di kayu berbentuk T. Kepalanya bermahkotakan duri dan kelaminnya ditutupi koteka. Karya tanpa judul ini dibikin Sigit Santoso, perupa lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Patung itu salah satu karya yang mendapat banyak perhatian pengunjung dalam pembukaan Pameran Besar Patung Kontemporer ”Ekspansi” pada Kamis malam dua pekan lalu. Dengan memajang 107 karya para seniman, pameran ini menjadi pameran patung terbesar yang pernah digelar di Indonesia.
Karya Sigit itu mengingatkan saya pada patung Yesus di Gereja Asmat di Sawaerma, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Barat. Patung Sigit mulus dan proporsional, sedangkan orang Asmat membuat patung dari kayu hitam yang telanjang tanpa koteka, lebih kasar, dan bentuknya tak proporsional, seperti lazimnya patung tradisional Asmat.
Sigit pada mulanya pelukis. Pada 1994, karyanya masuk 10 Lukisan Terbaik The Philip Morris-Indonesian Art Awards dan menjadi karya terbaik Biennale IV Yogyakarta. Tapi beberapa tahun belakangan ini dia juga membuat karya-karya tiga dimensi.
Hal serupa terjadi pada Aditya Novali, lulusan Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, yang terjun ke dunia seni rupa. Karyanya bahkan terpilih sebagai finalis Indonesia ASEAN Art Award 2003. Di dinding lain dekat patung Sigit terpajang karya Aditya, Devotion #123.
Patung itu berupa tiga salib setinggi sekitar setengah meter yang masing-masing terbuat dari semen, lilin merah, dan es yang dibingkai seng. Di dalamnya terdapat tumpukan kerangka manusia berukuran mini. Ada kengerian yang dipancarkan dari patung-patung itu. Ada api menyala di beberapa titik pada salib dari lilin, sehingga tetesan lilin yang merah itu mengesankan darah dan bagian badan patung jadi bolong dan menampakkan sebagian tulang-belulang manusia yang tertanam di dalamnya. Patung dari es bersifat tembus pandang, sehingga kerangka terlihat nyata, dan mencair pelan-pelan. Tapi, untuk melihat kerangka pada patung semen, orang harus menghancurkan semennya dan Aditya menyediakan sebuah palu di dekat situ.
Patung-patung dalam pameran ini memang tidak lagi mengacu pada patung dalam pengertian tradisional. Patung diciptakan tak lagi sebatas untuk dipandang. Penonton bisa berinteraksi dengannya. Kita dapat menghancurkannya, seperti pada karya Aditya, atau berfoto bersama, seperti pada karya Wilman Syahnur, Revolution Without America, berupa patung mirip Ayatullah Khomeini yang sedang duduk bersila di atas permadani.
Hardiman Radjab, lulusan Jurusan Kriya Kayu Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Kesenian Jakarta, membuat patung [email protected]. Karya itu adalah jamban yang tutupnya terbuka dan menampakkan bagian dalam berupa ruang sidang mini dan kursi-kursi yang menghadap layar bergambar porno. Bau pesing menguar dari jamban itu. Toh, banyak penonton yang melongokkan kepalanya ke dalam jamban.
Perluasan bentuk dan bahan terjadi hingga menjadikan rumah sebagai karya. Itulah Rumah Kita karya Tisna Sanjaya. Karyanya berupa rumah bobrok seluas sekitar seperempat lapangan bola voli yang beratap dan berdinding seng. Tisna adalah pelukis yang kini banyak membuat instalasi yang terkait dengan proyek Cigondewah, termasuk karyanya ini.
Sejak empat tahun lalu, Tisna mengubah kawasan Cigondewah yang penuh sampah menjadi Pusat Kebudayaan Cigondewah yang asri dan ramai oleh kegiatan masyarakat. Baginya, karya seni perlu bergeser, dari karya individual menjadi seni sosial, karya yang memasyarakat. ”Karya ini mengangkat tema lingkungan, bagaimana lahan kotor menjadi ruang yang nyaman,” katanya.
Menurut Asikin Hasan, yang jadi kurator bersama Asmudjo Jono Irianto dan Jim Supangkat, pameran ini menunjukkan munculnya dua kelompok besar seniman. Kelompok pertama adalah perupa kontemporer, yang berlatar pendidikan macam-macam dan mengabaikan batas-batas kesenian, seperti Sigit dan Tisna. Jay Subiakto, yang berlatar dunia arsitektur dan film, dan Garin Nugroho, yang lebih dikenal sebagai sutradara, masuk kelompok ini. Kelompok kedua adalah pematung yang memang berlatar pendidikan seni patung, seperti Nyoman Nuarta dan Dolorosa Sinaga.
”Kelompok pertama menekankan gagasan, sehingga tak terlalu memusingkan aspek teknik dan bahan, karena biasa memanfaatkan artisan. Sedangkan kelompok kedua justru menekankan bahan dan teknik, sehingga menghasilkan karya yang merupakan hasil penjelajahan terakhirnya,” ujar Asikin.
Contoh penjelajahan pada bahan dan teknik itu adalah karya Nyoman Nuarta, Tarian Daun. Karya itu menggambarkan orang-orang yang terjerat jeruji-jeruji besi. Seluruh patung itu dibuat dari anyaman kawat jaring. Pematung asal Tabanan dan lulusan Institut Teknologi Bandung 1979 ini sudah menggunakan bahan itu sejak 1989 dan karya terbarunya ini menunjukkan kerumitan dalam hal teknik, misalnya bagaimana membentuk kawat jaring itu menjadi seperti manusia yang terjepit atau tergantung terbalik di antara batang-batang jeruji. ”Pembuatan seperti ini sukar dilakukan artisan, jadi pastilah ditangani oleh senimannya sendiri,” kata Asikin.
Namun pengelompokan ini tentulah tidak ketat, karena banyak seniman kontemporer yang pada mulanya pelukis tapi kemudian banyak mendalami patung. Mereka juga telah bereksperimen dengan bahan, teknik, dan tema tertentu, yang lama-lama menjadi ciri karya mereka, seperti Agus Suwage, Heri Dono, Entang Wiharso, Putu Sutawijaya, Jompet, dan Rudi Mantofani.
Itu sebabnya judul pameran ini menggunakan kata ”kontemporer”. Istilah itu mampu menjadi payung bagi perkembangan mutakhir seni Indonesia. Menurut Jim Supangkat dan Asikin, istilah ”kontemporer” sebenarnya diperkenalkan pertama kali oleh Gregorius Sidharta Soegijo, perupa yang mendirikan Asosiasi Pematung Indonesia pada 1973. Saat itu Dewan Kesenian Jakarta hendak menggelar Pameran Patung Modern Indonesia yang ditaja Pertamina dan kepanitiaannya dipimpin Sidharta dan But Muchtar, pelukis dan pematung yang pernah menjadi Rektor Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Masalah muncul ketika dua kelompok calon peserta pameran berbeda pendapat soal istilah ”modern”. Kelompok pertama adalah pematung pendukung formalisme, yang menekankan pengolahan berbagai bentuk dalam penciptaan patung. Kelompok kedua adalah pematung yang memasukkan beragam aspek tradisional patung dalam karyanya. Kelompok pertama mengklaim diri sebagai pematung modern dan menganggap pematung tradisionalis tak masuk kategori pematung modern, sehingga tak bisa ikut pameran ini. Untuk menghindari batalnya pameran, Sidharta dan But Muchtar mengubah tema pameran menjadi Pameran Seni Patung Kontemporer Indonesia.
Pameran ”Ekspansi” ini sebenarnya mencoba menangkap perkembangan mutakhir seni patung Indonesia. Selain menampilkan keragaman bahan dan tema, pameran ini menunjukkan masuknya budaya visual masa kini, seperti komik dan animasi. Beberapa seniman menampilkan berbagai bentuk robot berukuran besar dan kecil, seperti Mission Failed karya Yudi Sulistyo dan Tyranto Saurus karya Jay Subiakto.
Pameran ini telah mewakili perkembangan seni patung Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir dan telah menunjukkan pergeseran-pergeserannya dibanding pameran berskala besar sebelumnya, seperti Trienal Jakarta II pada 1998 dan pameran Asosiasi Pematung Indonesia pada 2003. Perluasan itu telah terjadi, tapi belum muncul karya yang benar-benar menggigit. Banyak seniman yang berhasil mencapai tahap penguasaan teknik yang mengagumkan, tapi belum ada yang betul-betul mengguncang emosi penonton. Apalagi sebagian karya sudah pernah dipamerkan dalam pameran lain, sehingga efek kejutannya berkurang untuk sebagian penonton yang sering mengunjungi pameran.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo