Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Pikiran Melilit Jadi Sembelit

Depresi adalah salah satu pemicu konstipasi. Tidak terlalu diwaspadai karena depresi adalah penyebab psikis, bukan fisik.

14 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indriani, 30 tahun, punya kebiasaan hidup sehat selama bertahun-tahun. Perempuan penjual telepon seluler ini mengkonsumsi makanan berserat seperti sayur dan buah, minum air putih cukup, plus berolahraga aerobik. Secara teoretis, Indriani pasti terbebas dari konstipasi atau sembelit. Namun kenyataannya dia sulit buang air besar. ”Apalagi kalau menginap di rumah orang lain,” katanya. Kalau sudah merasa perutnya penuh hingga tak nyaman, Indriani pun mengandalkan obat pencahar untuk menguras isi perut.

Penyebab sembelit Indriani adalah depresi. Maklum, Indriani juga menjadi pasien psikiater. Yusuf Utomo, 35 tahun, punya cerita serupa. Musisi di sebuah kafe itu mengaku jarang buang air besar selama setengah tahun ini. Kalaupun bisa, dia butuh perjuangan luar biasa untuk mengejan. Padahal sebelumnya ”ritual” ini termasuk hal menyenangkan, yang bisa dia lakukan sembari membaca koran. Penyebabnya, Yusuf sedang dililit masalah keluarga. Psikiater yang dia datangi menyarankan Yusuf pindah dari Jakarta ke Bali agar tenang. ”Siapa tahu keluar dari kebisingan bisa baik,” katanya.

Dalam pertemuan Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia yang membahas perihal Konsensus Nasional Penatalaksanaan Konstipasi 2010, Minggu dua pekan lalu, dinyatakan bahwa depresi adalah salah satu penyebab sembelit. Meski bukan faktor dominan, yaitu hanya 10-20 persen dari penyebab konstipasi lainnya, depresi adalah satu-satunya penyebab sembelit yang nonfisik. Penyebab lainnya, seperti yang sudah kita hafal, adalah kebiasaan fisik, yaitu kurang asupan makanan berserat (30-40 persen) dan kurang minum air putih (30 persen). Konstipasi juga bisa disebabkan oleh obat tertentu, termasuk penggunaan pencahar berlebihan, iritasi pada usus, penyakit tertentu seperti stroke, dan gangguan pada usus.

Yang berbahaya, kehadiran depresi biasanya tidak dirasakan oleh si penderita, meski jumlah mereka cukup besar dan terus meningkat. Seperti yang dialami Indriani, yang rajin makan makanan berserat dan minum air putih. Ia tidak sadar sembelitnya disebabkan oleh depresi. Menurut Ari Fahrial Syam, dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, yang kerap menjumpai pasien konstipasi, ternyata mereka tengah depresi. ”Rata-rata tidak sadar jika mengalami depresi, ’bonus’-nya konstipasi,” katanya.

Bila terjadi kasus seperti ini, menurut Ari, yang harus diobati terlebih dahulu adalah depresinya, bukan konstipasinya. Dan setelah penyebab depresi ditemukan dan disembuhkan, konstipasi pun lenyap tak berbekas. Cara penanganannya tidak boleh salah, karena depresi memang sulit didiagnosis. Maklum, gejala yang ditimbulkan bisa berupa beragam gejala fisik, seperti sakit kepala dan sakit pada lambung. Bisa-bisa yang ditangani justru penyakit fisiknya, bukan depresinya.

Nah, mengapa depresi bisa mengakibatkan konstipasi? Secara sederhana, Ari menggunakan teori hubungan antara otak dan tubuh (brain-gut axis). ”Kalau saraf otak bermasalah, usus juga bermasalah,” tuturnya. Menurut Robyn Cosford, peneliti dari Australian College of Nutritional and Environmental Medicine dan pengajar di University of Newcastle, Australia, usus adalah otak kedua. ”Sistem saraf tubuh terbesar kedua setelah otak,” tuturnya. Maka koneksi antara otak dan usus melalui neurotransmitter—kimia otak yang berfungsi sebagai pembawa pesan atau sinyal antar sel saraf—sangatlah vital.

Penjelasan penemu istilah stres, Hans Selye, ahli fisiologi dari Universitas Montreal, Kanada, lebih gamblang. Stres, tahap awal depresi, akan mengaktifkan sistem saraf simpatis dan sistem hormon tubuh. Saraf simpatis dalam otak terkait dengan sistem vital tubuh, dari penglihatan, kardiovaskuler, hati, lemak, kemih, sampai pencernaan. Organ-organ tersebut bereaksi pada saraf simpatik. Reaksi organ pencernaan pada saat stres atau depresi adalah perlambatan pergerakan.

Saraf simpatis bersifat andregenik, yakni merangsang adrenalin dan gejalanya seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Sebaliknya, saraf para-simpatis bersifat non-andregenik, bekerja seperti kebalikan adrenalin, termasuk mengaktifkan saluran cerna.

Pada saat proses buang air besar (defakasi), yang diperlukan adalah rangsangan terhadap saraf para-simpatik untuk menghasilkan gerakan peristaltis usus. Ketika depresi, gerakan usus melamban karena yang aktif adalah saraf simpatis. Padahal gerakan usus mendorong tinja dari saluran pencernaan ke rektum (bagian akhir usus besar sebelum anus). Pada rektum terdapat bagian yang membesar (ampulla) yang menjadi tempat penampungan tinja sementara. Dengan demikian, proses membawa tinja ke penampungan sementara pun terhambat.

Peran saraf para-simpatis kembali menentukan kerja otot-otot dinding rektum untuk merangsang pengeluaran tinja ke luar tubuh. Bila rangsangan minimal, tinja di rektum dapat terhambat, akibatnya bisa kembali lagi ke usus besar. Risikonya, air pada tinja kembali diserap di usus besar sehingga menjadi sangat padat dan sulit dikeluarkan.

Repotnya, menurut pakar pengobatan alami Riani Susanto, pengobatan depresi, dengan memberi obat antidepresan, juga akan mengakibatkan konstipasi. ”Obat-obatan antidepresi bisa memperlambat kerja organ lain, karena obat itu kan menginstruksikan tenang, maka organ lain juga lamban.”

Riani pernah menjumpai kasus ekstrem yang menunjukkan kaitan gangguan kejiwaan dan gangguan pencernaan, sewaktu dia masih mempelajari pengobatan naturapati di Amerika Serikat. Seorang penderita depresi berusia 66 tahun menjalani pola aneh, yakni makan terus-menerus setiap hari, dan tidak pernah buang air besar selama sebulan. Sang pasien akhirnya meninggal.

Kasus tersebut sempat jadi bahan pengujian opini para praktisi kesehatan, antara yang berpendapat pasien meninggal karena serangan jantung dan yang beranggapan pasien keracunan makanan oleh tubuhnya sendiri.

Karena itu, yang terbaik adalah kenalilah gejala depresi, yaitu bila Anda merasa sedih dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang semula sangat Anda sukai. Selanjutnya, perbaiki atau tetaplah bertahan pada gaya hidup sehat, seperti makan makanan sehat, berimbang, minum air putih cukup, serta olahraga dan istirahat cukup.

Harun Mahbub

Depresi Konstipasi

Proses buang air besar bermula dari gerakan peristaltis otot-otot dinding usus besar yang menggerakkan tinja dari saluran pencernaan menuju ke poros usus (rektum) untuk disimpan sementara sebelum dikeluarkan. Bila depresi, gerakan peristaltis ini melambat sehingga proses itu terganggu.

Jika proses di rektum terus terhambat, tinja akan kembali lagi ke usus besar. Akibatnya, air tinja kembali diserap, tinja menjadi sangat padat sehingga makin sulit dikeluarkan.

Di rektum, otot dinding merangsang pengeluaran tinja keluar tubuh. Jika depresi, saraf yang mempengaruhi otot dinding tak membantu rangsangan pengeluaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus