Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Plester Penghilang Bekas Luka

Gumpalan kulit yang muncul pada bekas luka operasi sering mengganggu penampilan. Ada cara baru untuk menyamarkannya.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGAKUAN ini datang dari Indy Barends, seorang presenter yang kerap nongol di televisi. Setelah melahirkan anak pertamanya lewat operasi caesar tahun lalu, ia amat terganggu dengan bekas luka operasi pada perutnya. Berbagai cara telah dilakukan buat menghilangkannya, tapi tak membuatkan hasil. Iseng-iseng, ia mengikuti sebuah uji klinis penggunaan plester anti-keloid. Ternyata, "Hasilnya lumayan, lho. Dalam waktu empat minggu, bekas jahitan menipis dan kini hampir tak kelihatan lagi," katanya.

Bekas luka operasi yang merepotkan biasa disebut keloid. Istilah ini pertama kali diperkenalkan seorang ahli kulit Prancis, Jean-Louis, pada 1835. Keloid berbentuk tak beraturan, bulat atau lonjong dengan warna kemerahan atau lebih gelap dari kulit normal, sehingga amat mengganggu keindahan. Teksturnya sering kali keras, menonjol, dan terasa gatal. Tak jarang pula keloid bisa menimbulkan hilang kepekaan atau mati rasa di sekitar jaringan bekas luka.

Tidak hanya disebabkan oleh pisau operasi, keloid juga bisa muncul karena luka biasa, misalnya luka bacok. Bekas luka itu ada yang menghilang begitu saja, tapi ada pula yang bertahun-tahun dan malah semakin menonjol.

Mengapa keloid bisa muncul? Ini akibat proses perbaikan jaringan kulit yang tersayat atau rusak. Pada sebagian orang, lapisan kulit yang rusak melakukan perbaikan secara amat aktif atau biasa disebut hipertropik. Perbaikan ini melibatkan kolagen, protein yang amat penting buat menjaga kehalusan kulit. Jika proses perbaikan yang cepat itu tidak diimbangi dengan proses peleburan kolagen yang juga cepat, akan muncul keloid.

Itulah yang dialami oleh Rusdi, 56 tahun. Lima tahun lalu warga Depok, Jawa Barat, ini pernah menjalani operasi untuk mengangkat lipoma, gumpalan lemak yang mengeras di bawah ketiak kirinya. Operasi berjalan lancar. Tapi, setelah lukanya mengering, muncul gumpalan kulit sepanjang 5 sentimeter. Istri Rusdi, Martina, mencurigainya sebagai keloid. "Saya juga khawatir, kalau dibiarkan, akan terus melebar," ujarnya.

Sang istri kemudian mengkonsultasikan hal itu ke dokter. Oleh dokter, Rusdi diberi satu tube krim. "Syukur langsung hilang, tapi bekasnya masih ada. Kulit bekas luka itu berwarna lebih gelap dari kulitnya yang normal," kata Martina. Hanya, ia mengaku lupa apa jenis krim yang diberikan untuk suaminya saat itu.

Yang jelas, obat yang dipakai Rusdi berbeda dengan yang digunakan Indy Barends. Sang presenter menjalani terapi yang relatif baru, bernama hydroactive polyurethane. Sebenarnya uji klinis terhadap plester anti-keloid telah dilakukan pada 1995, tapi produk ini baru dipasarkan di Indonesia tahun ini. Polyurethane adalah sejenis polimer atau materi berbentuk lapisan dengan ikatan berupa rantai dari bahan urethane. Bahan ini bersifat lunak dan lentur, biasa juga digunakan sebagai bahan perekat, fiber, kondom, lapisan bawah karpet dan dash board mobil, atau kasur busa.

Terapi jenis baru itu ternyata cukup efektif. "Bukan hanya keloid yang baru muncul, keloid yang sudah menggumpal selama beberapa tahun pun bisa tersamarkan dengan polyurethane," kata Dr Rama Tjandra, ahli kandungan dari Rumah Sakit Gatot Subroto.

Tahun lalu, Rama telah menguji keampuhan polyurethane pada 40 pasien penderita keloid, sebagian besar akibat sayatan pisau operasi. Selama 10 pekan, mereka diharuskan memakai plester polyurethane selama 12 jam per hari. Hasilnya cukup baik, sebagian besar bisa disembuhkan. "Dalam empat pekan saja, bekas-bekas luka itu mulai tersamarkan," ujarnya.

Rama menduga keloid bisa disamarkan karena plester polyurethane melakukan penekanan dan mempengaruhi suhu di sekitar bekas luka. Dengan begitu, aliran darah bekerja lebih aktif dan mampu memperbaiki jaringan kulit.

Menurut Dr Tina Wardhani Wisesa, ahli kulit dari Klinik Sakti Medika, Jakarta, tak semua orang akan terkena keloid kendati ia habis menjalani operasi. Pasien penyakit ini umumnya berusia di atas 30-an tahun. "Mereka yang berkulit hitam atau gelap tampaknya lebih mudah mengalami keloid dibandingkan dengan mereka yang berkulit putih," ujarnya

Bagaimanapun, keloid tidak bisa disepelekan. Rasa gatal atau nyeri yang ditimbulkannya bisa membuat orang sulit tidur. Kalau terlalu sering dipegang-pegang, bekas luka itu kadang kala malah tumbuh membesar. Keloid juga sering membandel dan kambuh setelah diterapi. "Kalau sudah dua tahun tidak muncul lagi, barulah bisa dikatakan sudah sembuh betul," kata Tina.

Utami Widowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus