YOGYAKARTA dapat kehormatan lagi. Jika 27 tahun lalu, bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional Presiden Soekarno memilih daerah istimewa ini sebagai tempat pertama dimulainya kampanye pemberantasan penyakit malaria, Rabu pekan lalu, dari Desa Kringinan di provinsi ini, dalam rangka peringatan hari yang sama, Presiden Soeharto mencanangkan dimulainya penyebarluasan gagasan baru: pos pelayanan terpadu (posyandu). Sejumlah menteri dan semua gubernur ikut menyaksikan pencanangan yang dilakukan Kepala Negara sehubungan dengan peringatan Hari Kesehatan Nasional itu. "Dari Kringinan ini, saya ajak seluruh lapisan masyarakat agar bersama-sama mengembangkan posyandu di lingkungan masing-masing," kata Presiden. Posyandu, tak ayal, memang sebuah gerakan swadaya baru yang tengah dikampanyekan. Ia, pada dasarnya, adalah semacam wadah komunikasi sekaligus forum pelayanan kesehatan, dan, oleh, dan untuk masyarakat -- terutama ibu-ibu, yang biasanya berhimpun dalam PKK di setiap kelurahan. Pelaksanaan kegiatannya pun amat sederhana: sejumlah ibu berkumpul di sebuah rumah yang jadi pos kegiatan. Dan di pos ini, dengan bimbingan tenaga medis dari puskesmas, mereka memberikan penyuluhan (dalam keadaan darurat, bisa juga memberikan pertolongan) mengenai gizi, keluarga berencana, imunisasi, dan pelbagai pelayanan yang menyangkut kesehatan anak balita. Memang, anak-anaklah sasaran utama posyandu. Dan Presiden Soeharto sendiri, karenanya, menyebut kegiatan ini sebagai bagian yang strategis dari pelaksanaan Dasawarsa Anak 1986-1996. "Dengan posyandu diharapkan angka kematian bayi, anak balita, dan juga angka kelahiran dapat turun," kata Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Suyono Yahya. Ini soal penting, tentu saja. Sebab, angka statistik kematian bayi, bukan rahasia lagi, menjadi salah satu indikator yang biasa dipergunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan suatu bangsa. Malah ada anggapan, makin rendah tingkat kematian bayi di suatu negeri, berarti, kesejahteraan penduduk negeri itu makin baik. Buat Indonesia, statistik kematian bayi ini memang membaik belakangan ini. Pada 1980, misalnya, jumlah itu masih berkisar 107 per 1.000. Artinya, dari 1.000 bayi yang dilahirkan tahun itu, 107 orang meninggal dunia. Dan angka kematian ini berkurang menjadi hanya 80 pada 1985. Tapi, tetap saja, jumlah itu masih tertinggal jauh dibandingkan negeri-negeri maju, yang sudah bisa menekan kematian menjadi hanya berkisar 20 orang saja. Lewat pelbagai program yang digerakkan melalui Departemen Kesehatan, upaya mengurangi tingkat kematian ini sudah dilakukan. Antara lain dengan memperluas jaringan pelayanan kesehatan hingga ke kecamatan. Misalnya program pembukaan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), mulai 1975. Dan juga puskesmas pembantu. Hingga kini, di seluruh Indonesia, lebih dari 5.000 puskemas beroperasi dengan dana subsidi pemerintah. Tapi, itulah. Wilayah yang mau dijangkau begitu luas. Penduduk juga tak sedikit. Dan dengan keterbatasan tenaga dan dana -- yang terakhir ini, sekarang, malah diakui amat memprihatinkan -- satu-satunya jalan untuk mengatasi ini, memang tak ada lain, kecuali menarik masyarakat agar terlibat. Dan itu, bisa dipastikan, amat efektif -- setelah diuji sekitar 2 tahun di beberapa daerah -- lewat pemasalan posyandu. Jumlah pos pelayanan ini kini di seluruh Indonesia berkisar 66.000 buah. Dan diharapkan bisa bertambah menjadi sekitar 125.000 pada 1987. Program posyandu sendiri, menurut Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat, sebenarnya sudah dirintis sejak akhir Pelita III. Dimulai di sebuah desa di Pandeglang, Jawa Barat, pada 1983, lalu diteruskan ke daerah lain. Hasilnya memuaskan. "Cakupan pelayanan kesehatan pada masyarakat makin bisa ditingkatkan," kata Suyono Yahya. Misalnya untuk program imunisasi, dari cakupan sekitar 3%, sebelumnya, meningkat menjadi 30% setelah adanya posyandu. Demikian juga dalam peningkatan perbaikan gizi anak-anak balita. Sebelumnya, yang sudah memperoleh gizi baik atau sedang berkisar 67% saja. Dua tahun kemudian, jumlah ini menjadi 87%. Demikian juga penurunan tingkat kematian bayi, kendati belum mencolok, sudah mulai terlihat. Di Yogyakarta misalnya. Daerah ini, sebelumnya, memang terendah tingkat kematian bayinya, dibandingkan daerah lain -- itu pula alasan lain mengapa wilayah ini terpilih sebagai tempat dimulainya kampanye posyandu -- pada 1980 angka kematian itu 65 per 1.000 orang. Setelah ada posyandu, berkurang menjadi 62 per 1.000. Pengurangan angka kematian itu tentu bisa diperdebatkan, apakah hasil murni posyandu atau tidak. Apalagi kegiatan ibu-ibu di pos pelayanan itu, seperti cerita Dokter Noeryati Aryono, Kepala Bidang Bimbingan Pengendalian Kesehatan Masyarakat Kanwil Depkes DIY, masih terbatas dalam penyuluhan dan sedikit sekali pengobatan (misalnya baru dibolehkan memberikan oralit pada pasien yang kena diare). "Untuk hal-hal di luar itu, seperti penyuntikan, mereka tak boleh dan harus berkonsultasi dengan puskesmas terdekat," kata Noeryati. Pemerintah sudah mematokkan, selain akan memberikan bantuan sekitar Rp 500.000 buat sebuah posyandu yang baru dibentuk, juga akan terus mengisi keterampilan petugas di posyandu. Dan aparat yang bertugas di puskesmas sudah diinstruksikan sebagai pembina langsung mereka. "Puskesmas jelas perangkat Departemen Kesehatan, yang diwakili tenaga profesi kesehatan, untuk melayani kepentingan kesehatan masyarakat. Sedangkan posyandu milik masyarakat, yang melakukan pelayanan atas warganya," kata Suyono Yahya. Memang, dalam praktek sehari-hari, posyandu adalah tangga pertama banyak ibu di pelbagai desa sebelum ke puskesmas. Suasana di desa, agaknya, menyebabkan banyak ibu yang sakit, pertama-tama, mendatangi ibu-ibu PKK, yang mereka kenal sebagai kader kesehatan di posyandu. "Kami paling bisa menangani pasien yang kena penyakit ringan," kata Nyonya Yohanes Suwondo, 54, Ketua II PKK Pedukuhan Kringinan. Marah Sakti Laporan Biro Yogyakarta & Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini