Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bila mercy meluncur mulus

8 mobil mewah yang diselundupkan dari hong kong dan singapura disita kejagung. dua tersangka ditahan. di antaranya seorang karyawan deplu, prayitno. menyalah gunakan fasilitas corps diplomatic (cd). (krim)

22 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan teka-teki untuk anak-anak. Bila sebuah Mercy 260 E ngebut di Jalan Thamrin, Jakarta, dengan mulus, adakah yang aneh? Pihak polisilah dan kejaksaan yang mestinya segera menjawab. Yaitu bila pelat mobil itu bukan CD alias milik kedutaan asing di sini, juga bukan milik warga kedutaan itu, pintu perlu ditengok, jangan-jangan Indonesia kebobolan lagi. Mobil dari jenis yang tak dirakit di sini tentulah masuk dalam keadaan siap pakai alias completely built up (CBU). Bila itu bukan milik orang atau lembaga yang mendapat perlakuan khusus, tentulah mobil hasil selundupan. Di hari-hari belakangan ini, di halaman parkir Kejaksaan Agung, Jakarta, delapan mobil CBU nongkrong dengan tenang. Itulah mobil-mobil sitaan, yang diselundupkan dari Hong Kong dan Singapura. Sumber di Kejaksaan Agung membenarkan bahwa sudah dua tersangka yang kini ditahan. Seorang bekas anggota marinir, dan seorang lagi karyawan Departemen Luar Negeri. Sabtu pekan lalu, berkas perkara kedua tersangka dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Keduanya, kata sumber yang sama, diduga setidaknya terlibat dalam penyelundupan empat buah mobil mewah yang terdiri dari dua Mercy 230 E, sebuah Mercy 260 E, dan sebuah Honda 500. Empat buah lagi diperkarakan dengan tertuduh "orang yang tak dikenal". Semuanya keluaran tahun terbaru, 1986, termasuk kelas di atas 3.000 cc. Sementara mobil yang diselundupkan berharga di atas Rp 100 juta per biji, modus operandi penyelundupan itu sendiri boleh dibilang kuno: menyalahgunakan fasilitas Corps Diplomatic (CD). Para diplomat asing memang dibolehkan mengimpor mobil dan barang atau fasilitas lain, tanpa dikenai bea masuk. Juga para tenaga ahli asing yang bertugas d sini. Dan si tertuduh dari Deplu itu memang karyawan di bagian yang mengurusi fasilitas tersebut ini. Dari peraturan yang muncul pada 1950-an itulah, penyelundupan mobil berlangsung. Baik dalam kasus Robby Cahyadi, di awal 1970-an yang terkenal itu, sampai kasus sekarang ini: Bila pajak impor dan sebagainya bisa mencapai sebesar harga mobil itu sendiri, sementara peminat dan oknum-oknum yang akan menguruskan surat-surat resmi memang ada, sedikit saja orang punya keberanian, modal, dan ukuran moral yang agak miring, terjadilah penyelundupan. Kamali, si bekas marinir, dan Prayitno, pegawai Deplu itu, memang terlalu berani. Mereka memasukkan sejumlah mobil mewah yang jelas tergolong kendaraan yang haram dimiliki dan dipakai oleh umum di Indonesia. Seperti diketahui, mobil mewah di atas kelas 3.000 cc sejak tahun 1976 tak boleh dipakai, kecuali oleh korps diplomatik dan badan internasional. Bahkan peraturan mengatakan, bila si pemakai selesai bertugas di Indonesia, kendaraan harus kembali diekspor ke luar Indonesia. Justru mobil jenis itulah obyekan si bekas marinir dan karyawan Deplu itu. Apa pertimbangannya belum jelas. Memang, bila lolos, untung pun besar. Tapi dari jenis barangnya, sebenarnya gampang dicurigai ketaksahannya. Dari Prayitnolah Kamali tahu beberapa kedubes asing yang mempunyai jatah mengimpor mobil dalam keadaan siap pakai. Kemudian karyawan yang sudah hampir seperempat abad bekerja di Deplu itu pula yang sekaligus ditugasi mengusahakan surat-surat yang diperlukan. Yaitu surat dari Deplu dan Sekretariat Kabinet, yang memberikan izin dan persetujuan atas suatu kedubes yang hendak mengimpor mobil bagi diplomatnya. Untuk mengatur penyelundupan ini, Kamali mengontrak sebuah rumah di bilangan Rawasari, Jakarta Pusat, pada akhir Juni lalu. Dari rumah ini Kamali sering menelepon, antara lain ke Hong Kong dan Singapura. Entah siapa yang dia hubungi, tapi pada bulan Agustus lalu, empat mobil mewah tiba di pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta Utara. Sayang. Sebelum mobil bisa dikeluarkan dari pelabuhan, petugas mencium ada sesuatu yang tidak beres. Betul bahwa keempat mobil itu diimpor menggunakan fasilitas CD, dan telah memperoleh persetujuan Departemen Luar Negeri dan Sekretariat Kabinet. Tapi setelah diteliti, "Tanda tangan dan stempel dalam kedua surat persetujuan tersebut ternyata palsu." Mobil pun disita, Prayitno ditahan. Kamali, bersama keluarganya, sempat menghilang dari rumah kontrakan di Rawasari itu. Ia baru bisa ditangkap di Cirebon pada awal November lalu. Para tetangga Kamali terheran-heran. "Tak kami kira Kamali terlibat penyelundupan. Orangnya sangat sopan dan kalau lewat selalu bilang permisi," ujar Martotruno, ketua RT di Rawasari. Kepada para tetangga, Kamali yang kelihatan simpatik itu mengaku bekerja di Departemen Luar Negeri. Terkadang ia pulang ke rumah mengendarai mobil Honda Civic Wonder. Besoknya sudah berganti dengan Peugeot, dan di hari yang lain, ia naik Mazda. Di Ibu Kota nan ramai dan dengan tingkat kehidupan yang sangat beragam, blasa bila tak ada yang hirau akan hal ini. Mereka baru ramai setelah Kamali menghilang sekeluarga. Soalnya, "Dia meninggalkan rekening telepon Rp 200 ribu lebih, karena sering menelepon ke Hong Kong dan Singapura, tutur Nyonya Soemiyati, pemilik rumah. Sementara itu, Nyonya Prayitno tak yakin benar suaminya terlibat penyelundupan. "Tak tahulah. Tapi saya tidak yakin suami saya terlibat penyelundupan," katanya. Soal ini tentu baru bisa diketahui setelah hakim menjatuhkan vonis. ADA dugaan kuat, memang, kedua terdakwa sekarang bukanlah pelaku utamanya. Baik Prayitno maupun Kamali, tampaknya, sekadar orang yang diperalat oleh penyelundup yang sesungguhnya. Sebab, sulit dipercaya orang seperti Kamali dan memiliki modal cukup untuk mengadakan "bisnis" yang bernilai ratusan juta rupiah. Dan mobil-mobil yang sering dipakainya tempo hari itu, milik siapakah sebenarnya? Yang juga belum diketahui pihak Kejaksaan Agung secara jelas berapa sebenarnya mobil mewah yang telah diselundupkan lewat tangan Kamali dengan bantuan Prayitno. Sebuah sumber menyebutkan angka 20, yang berarti nilainya jauh di atas Rp 2 milyar. Namun, bukti yang tertangkap tangan baru empat. Bahkan empat mobil lagi -- 2 Honda Prelude, 1 Toyota Celica, dan 1 Datsun Sunny -- seperti telah disebutkan, dinyatakan diselundupkan oleh "orang yang tak dikenal". Tersebut terakhir ini mirip kasus yang diputus Pengadilan Negeri Jakarta Utara September lalu (lihat Mengadili Siluman). Tampaknya, ada gejala, dunia penyelundupan mirip dengan kasus kejahatan narkotik. Yakni yang sampai di pengadilan hanyalah kaki tangan si penyelundup. Tubuh dan kepalanya itu sendiri, sejauh ini, memang misterius. Maka, susah pula dihitung berapa sebenarnya negara telah dirugikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus