Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa hari terakhir ini berita bunuh diri marak (lagi) dibicarakan. Selasa 5 Juni 2018 menimpa seorang desainer Amerika Kate Spade.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa sebetulnya penyebab seseorang bunuh diri? Meski sudah beberapa kali ditulis, masih saja menjadi pertanyaan besar. Apalagi jika bunuh diri terjadi pada sosok terkenal, sukses bahakan sosok yang tidak kita duga seperti anak sekolah yang sedang bersemangat menjalani hidup.
Spesialis Kedokteran Jiwa dari Omni Hospital Tanggerang , Dr Andri, menyebutkan bahwa pada kasus-kasus tertentu , bunuh diri disebabkan oleh depresi yang sudah terjadi lama. Sayangnya, melihat mengenali seseorang yang sedang depresi itu tidak sesederhana kita melihatnya. "Seringkali malah mengabaikannya, karena kelihatannya kondisinya biasa-biasa saja," katanya yang dihubungi TEMPO.CO lewat pesan elektronik, Rabu 6 Juni 2018.
Baca juga: Bunuh Diri, Ini Pesan Terakhir Kate Spade untuk Putrinya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosok yang aktif menyuarakan tentang kesehatan jiwa lewat twitter @mbahndi ini pun menambahkan bahwa yang sering terjadi di masyarakat adalah mengabaikan keluhan yang dianggap biasa. Contohnya keluhan soal kehidupan, karier. "Bahkan diam-diam mengagap lebay terhadap orang-orang yang mengeluhkan hal tersebut," katanya.
Padahal, keluhan yang dianggap lebay itu juga sering diungkapkan para anak muda yang masih usia sekolah. Andri pun menegaskan bahwa gejala depresi pada anak usia sekolah tidak selalu dikaitkan dengan kesedihan. "Anak-anak usia sekolah itu malah menampilkan kondisi depresi mereka, misalnya dengan perilaku berbeda. Seperti gampang marah dan sensitif. Ada juga yang merasa sendirian meski temannya banyak atau keluarganya harmonis," katanya.
Jadi, menurut Andri, seringkali kita melihat penyebab bunuh diri adalah sesuatu yang dangkal atau sederhana. "Padahal penyebabnya kompleks dan seringkali juga tak bisa diungkapkan oleh keluarganya sendiri," katanya.
Apa yang harus dilakukan? Edukasi adalah salah satu hal penting. Sekarang ini, menurut Andri, sudah banyak komunitas yang memberi support untuk mengenali gejala dan melakukan pencegahan bunuh diri, seperti Into The Light.
Baca juga: Perceraian Tak Membuat Anak Gagal, Deddy Corbuzier Membuktikannya
Terpenting lagi adalah bagaimana stigma atau pendapat kita saat melihat seseorang mengalami gangguan suasana perasaan, seperti depresi atau kecemasan. "Kalau kita anggap normal atau biasa saja, suatu saat, kita akan kehilangan yang bersangkutan," katanya serius.
Pencegahan bunuh diri ini bisa dari hal kecil, kata Andri. Misalnya mengajak bicara saat anak atau kerabat kita sedih, sering marah, prestasi menurun, tidak mau lagi melakukan yang disukai, menarik diri dari pergaulan, dan jika merasa sudah tak berguna lagi. "Berupayalah memahami, jangan menggampangkan situasi, apalagi membandingkan dengan kehidupan lainnya karena meski lahir dari keluarga yang sama, belum tentu kasus yang dihadapi adalah sama," kata Andri wanti-wanti.
Caranya sebetulnya mudah saja, kata Andri menambahkan, Terpenting adalah jangan menghakimi soal masalahnya. Para kerabat dan orang tua harus lebih peduli, lebih positif terhadap masalah yang dihadapi anak atau kerabat. "Jangan membentengi diri dengan menganggap mereka lebay atau masalahnya yang biasa saja, sehingga apa yang dikeluhkan mereka kita tidak mau dengar," katanya. Baca juga: Ini Peran Meghan Markle pada Kesehatan Pangeran Harry