Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Repotnya Obat Halal

Undang-Undang Jaminan Produk Halal ditengarai mengancam kesehatan masyarakat. Obat akan sulit didapat dan mahal. DPR dan ulama membantah kekhawatiran ini.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Halal adalah harga mati bagi Rini Rakhmawati. Label halal dari Majelis Ulama Indonesia adalah patokannya dalam memilih produk makanan, obat, dan kosmetik. Kesetiaan menerapkan prinsip halal membuat Rini ogah menebus resep dokter yang belum berlabel halal MUI. "Kalau dikasih resep obat yang belum tentu halal, obat itu tidak aku minum," katanya Rabu pekan lalu. Bahkan, ketika melahirkan putra pertama pada akhir September lalu, ia tak menyentuh vitamin dan obat pelancar air susu dari dokter di rumah sakit. "Cukup buah dan sayur saja untuk memperlancar," ujar Rini.

Untuk orang-orang yang peduli pada kehalalan inilah Dewan Perwakilan Rakyat pada 25 September lalu mengesahkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Aturan ini tidak hanya mengurus kehalalan makanan dan minuman, tapi juga kosmetik, produk kimia, produk rekayasa genetik, produk biologi, dan obat-obatan. Diharapkan, dengan undang-undang tersebut konsumen yang peduli akan kehalalan yang mereka konsumsi tak lagi waswas. Ada kepastian akan kehalalan produk.

"Pada prinsipnya obat yang dikonsumsi muslim harus halal," ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh. Dalam setiap rekomendasinya, Majelis berharap pemerintah mendorong inovasi untuk mendapatkan bahan yang halal. Yang belum halal, kata anggota Komisi Agama DPR 2009-2014, Amran S.E., akan dicantumkan pula dalam labelnya bahwa masih mengandung bahan haram.

Namun, di balik hal positif tersebut, ada kekhawatiran dari sejumlah kalangan. Kekhawatiran pertama disuarakan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Dua tahun lalu WHO mengirim salah satu ilmuwan mereka, Lahouari Belgharbi, ke Indonesia khusus untuk mengingatkan bahaya yang akan timbul dari Rancangan Undang-Undang Halal, yang saat itu masih dibahas.

Dengan sebagian besar bahan baku yang masih diimpor dan teknologi yang belum ada, sulit membuat obat yang halal di Indonesia. Belgharbi menggarisbawahi enam potensi ancaman peraturan halal terhadap kesehatan masyarakat. Antara lain peningkatan angka kematian (mortalitas), kerentanan terhadap penyakit (morbiditas), penurunan target penghapusan polio, dan keamanan kesehatan internasional.

Pria kelahiran Aljazair ini mencontohkan pelabelan halal atau haram pada vaksin. "Jika vaksin dilabeli tidak halal, risiko masyarakat menolaknya akan meningkat," kata Belgharbi dari Departemen Vaksin, Imunisasi, dan Bahan Biologi WHO dalam presentasinya pada 10 September 2012. Penolakan yang meluas itu sama saja dengan membangunkan macan tidur. Penyakit polio yang di Indonesia sudah dapat dikendalikan dalam sepuluh tahun terakhir bisa bangkit jika banyak yang menolak imunisasi.

Kekhawatiran WHO dapat dimengerti karena ada vaksin imunisasi yang pembuatannya bersinggungan dengan babi. Di Indonesia, ada lima imunisasi dasar, yaitu BCG untuk tuberkulosis, polio, hepatitis B, campak, dan DTP (difteri, tetanus, pertusis). "Dari lima vaksin tersebut, yang bersinggungan dengan babi adalah polio," ujar vaksinolog dr Dirga Sakti Rambe, VPCD. Menurut pria yang mendapat gelar master vaksinologi dari Universitas Siena, Italia, itu, hingga saat ini belum ada pilihan vaksin polio lain.

Kekhawatiran Belgharbi dan Dirga itu ditampik oleh MUI. Setahun sebelum undang-undang itu disahkan, Majelis sebenarnya sudah mempersiapkan fatwa tentang obat dan pengobatan. Di antara isi fatwa bernomor 30 tahun 2013 itu adalah syarat-syarat dibolehkannya pemakaian obat dan vaksin berbahan najis atau haram pada kondisi tertentu. Produk seperti itu boleh dikonsumsi asalkan dalam kondisi terpaksa dan darurat, belum ada pengganti yang halal, dan ada rekomendasi paramedis yang kompeten.

Biofarma, badan usaha milik negara yang memproduksi vaksin polio, pun sudah mengantongi dua fatwa MUI untuk vaksin polio suntik dan oral. Keduanya diperbolehkan dikonsumsi karena darurat dan tidak ada penggantinya.

Masalah sepertinya selesai. Namun Dirga memandang pelabelan haram atau halal pada vaksin tetap akan memberi dampak psikologis di masyarakat bawah. Mereka pasti akan menjadi gusar jika mendapati vaksin yang dilabeli haram. "Obat dan vaksin ini tidak bisa diberlakukan sama dengan makanan," katanya. Kalau kurang berkenan dengan satu makanan, kita bisa memilih makanan lain. Atau tanpa diperintah pun orang mau memakan yang haram pada saat darurat. Dalam hal vaksin, kerap orang memilih tidak mengimunisasikan anaknya karena tidak tersedianya vaksin halal.

Membuat vaksin atau obat yang kehalalannya sesuai dengan syarat MUI tidaklah mudah. "Untuk sejumlah obat, kita belum memiliki teknologi untuk membuatnya secara halal," kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia Darodjatun Sanusi. Penyebabnya bukan hanya soal keterbatasan dana untuk riset, melainkan juga ketersediaan sumber daya manusia dan peralatan. Bahkan, dia yakin, untuk sejumlah obat ilmuwan dunia pun tidak memiliki formula pembuatan yang halal. "Ada miliaran umat Islam di dunia ini. Itu adalah pasar yang besar untuk obat dan vaksin halal. Mustahil industri farmasi dunia tidak berlomba-lomba untuk mengisinya," katanya.

Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat, dan Makanan MUI Osmena Gunawan membantah hal itu. Ia mencontohkan vaksin meningitis untuk jemaah haji. Beberapa tahun lalu vaksin ini sempat diributkan karena dituding tidak halal. Bahkan ada calon haji yang membatalkan niat ibadahnya karena enggan disuntik vaksin radang otak itu. Namun, pada 2010, ada vaksin dari perusahaan Novartis asal Italia dan Tianyuan dari Cina yang dinyatakan halal oleh MUI. "Dulu tidak ada vaksin yang halal, tapi setelah ada permintaan, ternyata bisa juga," ujar Osmena.

Salah satu penyusun sistem jaminan halal MUI, Anton Apriyantono, menyatakan kewajiban pelabelan halal untuk obat ini penting agar industri farmasi terpacu membuat obat halal. Sebab, kalau tidak diwajibkan, industri akan berleha-leha. "Sekarang halal menjadi tren dunia. Kalau enggak ada label halalnya, produk itu akan ditinggalkan," kata mantan Menteri Pertanian tersebut.

Anton tidak menampik anggapan bahwa perlu waktu untuk penerapan Undang-Undang Halal ini. "Ya, memang ada tahapan, ada yang harus ditunda, dan ada yang berusaha mencari gantinya," ujarnya pekan lalu. Undang-undang ini menyuratkan waktu lima tahun sebagai tenggang waktu sebelum pemberlakuan penuh sertifikasi halal untuk obat, makanan, dan kosmetik.

Kekhawatiran akan kelangkaan obat yang halal tidak hanya soal teknologi. Kalaupun teknologi pembuatan obat halal sudah ada, industri farmasi tetap kerepotan membuatnya. Sebab, di Pasal 27 Undang-Undang Halal disebutkan bahwa seluruh proses produksi obat halal dan haram harus terpisah. Dari pembuatan, pengepakan, distribusi, sampai penyimpanan di tempat tujuan. "Itu sama saja dengan membangun pabrik lagi," ujar Darodjatun. Bukan hanya pabrik baru, melainkan juga distribusi baru, gudang baru, bahkan tempat penyimpanan baru di apotek, rumah sakit, dan puskesmas.

Kekhawatiran itu kembali ditampik oleh Osmena. "Mereka kan belum memulai, jadinya semua ini seperti momok," kata Osmena, yang ditemui di kantor MUI di Jalan Proklamsi, Jakarta Pusat. Menurut dia, distribusi dan penyimpanan terpisah itu diberlakukan untuk produk yang dikhawatirkan tercampur. Sedangkan untuk obat yang didistribusikan dengan wadah tertutup rapat, kewajiban itu tak lagi berlaku.

Hal lebih mendasar yang mengancam dunia kesehatan akibat penerapan Undang-Undang Halal ini adalah soal pemahaman ulama terhadap proses pembuatan obat yang pelik. Hal ini bisa menimbulkan kesalahpahaman. Darodjatun mencontohkan soal vaksin yang dicap tidak halal karena dalam prosesnya bersinggungan dengan babi. "Padahal vaksin itu sama sekali tidak mengandung babi," katanya.

Memang, dalam penyemaian, bibit vaksin bersinggungan dengan babi. Setelah dibiakkan, pemanenan vaksin itu menggunakan tripsin yang berasal dari enzim pankreas babi. Tapi, setelah itu, vaksin dicuci dengan ultrafiltrasi berpuluh-puluh kali sehingga pada waktu vaksin dilempar ke pasar, kandungan dari babi itu sudah tidak ada lagi.

Bahkan, dalam pertemuan di Kuwait pada 1995, sejumlah ulama-seperti syekh Al-Azhar Dr Mohammad Sayed Thantawi dan ulama kondang Dr Yusuf Qardhawi-setuju bahwa bagian dari binatang najis seperti babi yang telah bertransformasi menjadi senyawa lain seperti gelatin halal dimakan. Pendapat seperti ini yang tampaknya susah diterima ulama di Indonesia. Yang terjadi kemudian adalah monopoli fatwa oleh lembaga tertentu dan menutup perbedaan fikih.

Karena itu, Darodjatun mengusulkan agar soal obat dan vaksin tidak diatur dalam Undang-Undang Halal. Toh, Badan Pengawas Obat dan Makanan pada Juni 2010 telah mengeluarkan peraturan serupa. Peraturan tersebut sudah mengharuskan label untuk bahan baku yang mengandung babi dan produk yang proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi. "Kalau undang-undang ini dibaca dengan teliti, hampir tidak mungkin dilaksanakan pasal per pasal," katanya.

Dianing Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus