Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau atlet kita menang di gelanggang bergengsi, apalagi setingkat Asian Games, pasti banyak orang bersorak. Tepuk tangan pun bergemuruh ketika medali diserahkan dan Indonesia Raya dikumandangkan.
Kemenangan kali ini sangat istimewa. Maria Natalia Londa, atlet lompat jauh, merebut medali emas di Asian Games 2014 Korea Selatan. Inilah pertama kali sepanjang sejarah ada atlet Indonesia merebut emas di nomor lompat jauh itu.
Dalam pertandingan di Stadion Utama Incheon, Korea Selatan, Maria berhasil mencetak lompatan terjauh, yakni 6,55 meter. Di final, atlet asal Bali berdarah Papua ini mengalahkan rivalnya asal Vietnam, Bui Thi Thu Thao, yang mencatatkan lompatan sejauh 6,44 meter. Lompatan Maria ini melebihi pencapaiannya saat SEA Games 2013, yakni 6,39 meter.
Padahal persiapan atletik ke Asian Games sangat terbatas. Latihan seadanya, uji coba pun sangat kurang. Maria berlatih di lapangan umum Mengwi, kota kecil di Bali, yang tak punya fasilitas apa-apa. Setiap kali berlatih, Maria membawa cangkul. Dia gemburkan lebih dulu pasir di lapangan agar tak begitu keras ketika ia "mendarat". Ketika berangkat ke Korea, dia tak bermimpi mendulang emas. "Saya hanya ingin bertanding secara maksimal," ucap gadis 23 tahun itu.
Maria bisa saja memilih berlatih di Stadion Madya, Jakarta, yang memiliki fasilitas lebih baik. Namun ia harus tetap berada di Bali untuk menjaga ibunya yang sakit dan bekerja di Dinas Pendidikan Provinsi Bali demi membiayai kebutuhan dua adiknya yang masih kuliah. Mereka dari keluarga sederhana dan sponsor pun tak ada. Bahkan Maria merogoh sakunya sendiri untuk membeli suplemen makanan guna menjaga kesehatan.
Pemerintah sudah lama tak menaruh perhatian pada atletik, ibu dari segala cabang olahraga. Atletik bukan olahraga yang populer seperti sepak bola atau bulu tangkis, yang mudah mendapatkan sponsor dan banyak diperhatikan pejabat. Di masa Orde Baru, jasa Bob Hasan tergolong luar biasa pada olahraga ini. Bob yang mempopulerkan atletik dan membangun sarana latihan olahraga itu di berbagai tempat, terutama di Senayan. Sayangnya, Bob tersandung kasus korupsi. Ketika ia berada di penjara, dunia atletik pun seperti mati suri. Tak ada lagi pengusaha yang memperhatikan atletik seperti yang ia lakukan.
Selepas dari bui, Bob Hasan kembali menangani atletik. Ia dipilih sebagai Ketua Umum PASI, induk organisasi atletik, sampai 2012. Meski ia sempat membentuk komisi baru, yaitu Komisi Pembinaan Yunior dan Remaja, yang bertugas mempersiapkan secara berkesinambungan regenerasi atlet atletik Indonesia, toh dunia atletik tak moncer seperti dulu. Semuanya harus dimulai dari awal dan Bob semakin tua, tak segesit dulu-termasuk dalam mengumpulkan dana dari donatur. Celakanya, perhatian pemerintah tak kunjung berubah.
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, atletik sangat dimanjakan. Termasuk juga di Cina, misalnya. Itu tampak dari berbagai kejuaraan internasional. Negara-negara itu memborong banyak medali dari cabang atletik. Indonesia terakhir kali mendapatkan dua emas di Asian Games pada 1998. Setelah 16 tahun tak memperoleh medali, sekarang Maria Londa mendulang emas. Momentum ini seharusnya menyadarkan pemerintah untuk kembali membina cabang yang merupakan ibu segala olahraga ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo