Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Air mata Nitya Krishinda Maheswari menitik jatuh. Pemain ganda bulu tangkis nasional Indonesia itu tak kuasa menahan haru. Medali emas Asian Games 2014, yang baru saja direnggutnya bersama Greysia Polii, bagai melemparkan dia ke kenangan pahit saat prestasi belum juga diraihnya.
"Di saat saya jatuh, yang paling berjasa (mendampingi) adalah keluarga saya," kata Nitya, 25 tahun, kepada Tempo di Gyeyang Gymnasium, Incheon, Korea Selatan, Ahad pekan lalu. Tentu saja ia juga tak mengabaikan pasangannya di lapangan, Greysia Polii. Selama dua tahun berlatih spartan di pemusatan latihan nasional (pelatnas) di Cipayung, Jakarta, mereka bersama-sama menghadapi kritik dan kecaman karena miskin prestasi.
Greysia menuturkan, sebelum prestasi emas ini dicapai, keduanya sudah gonta-ganti pasangan. Greysia, misalnya, sepanjang menjalani pelatnas di Cipayung pernah berpasangan dengan Liliyana Natsir, Jo Novita, Vita Marissa, dan Meiliana Jauhari. Jauh sebelum itu ia bahkan sudah berpasangan dengan Nitya, pada 2008, tapi cuma seumur jagung. "Akhir 2009, kami berpisah. Saya tidak tahu alasannya," ujar Greysia.
Gonta-ganti pasangan sebenarnya hal lumrah di nomor ganda bulu tangkis. Tapi tak semuanya bisa menjalani hal semacam itu. "Kami berdua bisa melewati. Dan sekarang ingin berfokus (mengejar prestasi)," tutur perempuan kelahiran Jakarta, 11 Agustus 1987, itu.
Meracik berbagai kemungkinan pasangan ganda bulu tangkis kelas juara memang susah-susah gampang. Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia Rexy Mainaky mengatakan tidak ada formula khusus dalam memadukan pasangan. "Kami menyerahkan ke pelatih untuk meramunya," kata Rexy.
Tentu saja, bagi pelatih, ada standar dasar yang menjadi patokan, yakni kemampuan teknik dan fisik. Namun, di luar itu, menurut Rexy, peran pelatih amat besar dalam menjodohkan pemain. Setiap pelatih di pelatnas memiliki pendekatan yang khas, meski mungkin hasil akhirnya sama, yakni menelurkan pasangan dahsyat.
Ini terlihat dari metode pelatih ganda putri, Eng Hian, yang tidak sama dalam meramu pasangan dengan jalan yang dipilih pelatih ganda putra, Herry Iman Pierngadi. Nyatanya, anak asuh kedua pelatih ini sama-sama meraih medal emas di Asian Games. Ya, pasangan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan, anak didik Herry, juga merenggut emas dalam pesta olahraga di Incheon ini.
Eng Hian berkisah, saat ia pertama kali menginjakkan kaki di Cipayung, para pemain putri sudah berpasangan. Saat itu ia tak serta-merta merombak, tapi memberi waktu kepada mereka untuk membuktikan kemampuan. Ternyata hasilnya tidak memuaskan. Dia pun punya alasan melakukan bongkar-pasang.
Eng Hian punya patokan dalam melakukan proses jodoh-menjodoh pemain itu. Syarat utama tentu saja kemampuan pemain. Yang kedua, dia melihat karakter permainan tiap atlet. Di nomor ganda, kata Eng Hian, biasanya ada pemain yang berfungsi sebagai playmaker dan finisher. "Saya meramu (berdasarkan) dua jenis karakter itu," ujar mantan pemain ganda putra ini.
Playmaker adalah pemain yang mengontrol pola dan ritme permainan. Sedangkan finisher akrab disebut "tukang tembak". Tanpa kesulitan, Eng Hian pun menemukan dua senyawa itu pada sosok Nitya dan Greysia. Di mata dia, Greysia bertipe pengatur permainan, sementara Nitya kuat di penyelesaian akhir.
Aspek kepribadian pemain tidak terlalu menjadi perhatian Eng Hian. Kehidupan di luar lapangan adalah urusan pribadi masing-masing. "Kalau mereka masuk lapangan dengan tujuan jelas, semua akan berfungsi dengan baik."
Greysia mengiyakannya. Menurut dia, urusan pribadi tidak mengambil porsi besar dalam menentukan cocok-tidaknya pasangan. Keyakinan dan kepercayaan kepada pelatih lebih berperan bagi pemain. Dia mengakui semua karakter pemain akan muncul saat bertanding. Saat itulah pelatih akan melihatnya dan memberi berbagai arahan. Greysia punya cara memadukan karakter dengan pasangannya. "Bagi saya, kedua pemain mesti bisa saling menerima kelemahan dan kelebihan, karena saling membutuhkan," ucapnya.
Cara agak berbeda dipilih pelatih Herry Iman Pierngadi. Dalam memadukan pemain, dia memilih atlet yang bisa seirama. Sistem perolehan poin yang menggunakan skema reli menuntut pemain bulu tangkis harus sama baiknya saat bertahan dan menyerang-meskipun, "Di ganda putra, prinsipnya adalah menyerang," katanya.
Bagi Herry, ketaatan pemain kepada pelatih juga penting. Dengan pegangan itulah ia mengawinkan Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan. Menurut Herry, keduanya tak sekadar memiliki teknik bermain mumpuni, tapi juga manut kepada pelatih. "Semua program latihan dilahap tanpa mengeluh," ujar Herry. Dia juga melihat kedua pemain ini sejiwa dan sejalan. Hendra bisa mengayomi Ahsan. Sedangkan Ahsan orang yang tidak pernah membantah kalau diberi tahu.
Herry ingat proses penyatuan keduanya sebenarnya atas inisiatif Hendra. Suatu hari, Hendra mendatangi Herry dan menceritakan sudah tak berpasangan lagi dengan Markis Kido. Herry, yang melihat kualitas Hendra masih bagus, lantas memasangkannya dengan Ahsan. Hasilnya luar biasa: pasangan ini langsung melejit menjadi juara dunia 2013.
Toh, prestasi kinclong tak menjamin pasangan akan dipertahankan. Kemungkinan bongkar-pasang masih selalu terbuka karena prestasi bukan patokan utama. "Perkembangan permainanlah yang menjadi tolok ukur pelatih," kata Herry.
Era kini memang berbeda dengan 1970-1980-an. Pada masa itu, pasangan ganda yang moncer bisa bertahan amat lama. Orang masih ingat dua pasangan legendaris Indonesia, Tjun Tjun/Johan Wahyudi dan Christian/Ade Chandra, yang bak tak terpisahkan. Pada masa kini, gonta-ganti pasangan begitu terbuka. "Sekarang pilihan pemain lebih banyak, sehingga kami selalu mencari yang lebih baik," ujar Eng Hian.
Sepertinya ini yang membuat kompetisi antarpemain juga naik ke level lebih tinggi. Sebab, kata Herry, untuk menjadi juara dunia, modal teknik saja tidak cukup. "Semua harus komplet. Kalau modalnya cuma satu kemampuan bermain, dia akan cepat hilang."
Ini bagai pukulan smash keras Herry kepada pemain!
Aditya Budiman, Gadi Makitan (Incheon)
Dari Lapangan yang Keras
Bagaimanakah Maria Natalia Londa, 24 tahun, juara lompat jauh Asian Games 2014, mempersiapkan diri? Sehari-hari, Maria menuju Lapangan Umum Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, tempat ia berlatih, dengan membawa cangkul. Alat itu digunakannya untuk menggemburkan pasir di boks, agar tidak terlalu keras saat kakinya mendarat. Ia kerap dibantu pelatihnya, Ketut Pageh, dan beberapa teman.
Sebagai atlet nasional, Maria sebenarnya bisa berlatih di Stadion Madya, Jakarta, dengan fasilitas lebih baik. Namun ia harus tetap di Bali menjaga ibunya yang sakit. Ia juga tak bisa absen dari tempat kerjanya di dinas pendidikan provinsi, demi membiayai kuliah dua adiknya.
Semua kerja kerasnya terbayar lunas ketika ia sukses meraih medali emas, Senin pekan lalu. "Kalau boleh, semua medali yang pernah saya dapatkan bisa diganti dengan mendapatkan kembali bapak saya yang telah meninggal," kata Maria. Tentu itu hanya pemerian untuk menghormati jasa bapaknya, yang pertama kali mengenalkannya pada atletik.
Maria mengaku sejak kecil lebih suka melompat-lompat ketimbang berlari. Jadi, lompat jauh memang menjadi pilihan putri pasangan Kamilus Kasih dan Anastasia Ariningsih ini. Dan, rupanya, prestasinya ikut melompat jauh. Ini pertama kalinya ia ikut Asian Games, dan langsung menjadi kampiun dengan lompatan sejauh 6,55 meter.
Prestasi ini tentu membanggakan ibunya, pegawai negeri sipil di Bali. "Saya semula tak percaya," ujar Ariningsih. Tapi kini sang ibu percaya anaknya menjadi yang terbaik di Asia.
Gadi Makitan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo