Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bukan Belanda Kolonial

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semua untuk Hindia
Penulis: Iksaka Banu
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, xiv + 154 halaman, 2014

Sejarah Indonesia sebagai fiksi, mengapa tidak? Sejak kedatangan Cornelis de Houtman pada akhir abad ke-16 sampai periode vakum kekuasaan Agustus 1945 (Jepang kalah, tapi Republik masih harus menegakkan wibawa), semua terpapar dalam kumpulan cerita pendek Semua untuk Hindia. Dalam 13 cerpen molek rupawan, Iksaka Banu membentangkan sejarah kelahiran Indonesia.

Memang Semua untuk Hindia tak berisi peristiwa-peristiwa besar yang sudah diketahui umum. Iksaka juga tak menampilkan tokoh-tokoh terkenal. Pilihannya adalah kejadian yang tak begitu kita tahu, dengan tokoh-tokoh yang sama sekali tak terduga.

Perlu ditegaskan, Iksaka membalik urut-urutan cerpennya. Cerita pembuka, "Selamat Tinggal Hindia", berisi kekacauan Ibu Kota begitu Jepang kalah dan orang-orang Belanda keluar dari interniran. Cerita terakhir, "Penabur Benih", berisi kisah tentang orang-orang Belanda zaman pra-VOC yang berlayar ke Nusantara dan tiba di Pulau Enggano. Di antara keduanya bisa dibaca cerita-cerita lain tentang pelbagai peristiwa penting dalam sejarah Indonesia.

Lebih dari itu, hampir semua pelaku utama 13 cerita ini (sebagai penutur "aku") adalah orang Belanda. Dengan begitu, Iksaka mengajak pembacanya menggunakan sudut pandang lain dalam menekuni sejarah Indonesia: sudut pandang Belanda. Itu masuk akal, bukankah Belanda juga terlibat dalam sejarah kita? Tentu saja mereka "bukan jenis Belanda sontoloyo" (halaman 20), melainkan orang Belanda yang bersimpati kepada kita, mereka yang mampu bersikap kritis terhadap kolonialisme sendiri.

Dengan rangkaian keistimewaan ini, bisalah dimaklumi kalau ada pembaca yang pangling, tak mengenali lagi sejarah kita sendiri. Cerita-cerita itu dituturkan bukan oleh orang Indonesia, melainkan oleh orang Belanda, si penjajah. Inilah keunikan buku Iksaka Banu: sarat hal yang menggugah, bahkan menggelitik.

Selama ini buku sejarah, media massa, dan film selalu menampilkan Belanda sebagai penjajah licik dan culas, tidak lebih dari angkara murka pemeras dan penindas. Iksaka tidak begitu suka pada semua yang klise. Ia yakin ada orang Belanda baik yang memihak kita. Tak pelak lagi, Semua untuk Hindia adalah ungkapan ketidaksetujuan penulisnya terhadap segala macam klise di zaman kolonial.

Cerpen paling menonjol adalah cerpen keenam, "Semua untuk Hindia". Tidak hanya karena ceritanya begitu dramatis, tapi juga lantaran Iksaka menampilkan pengetahuan sejarah yang sangat jempolan. Cerpen ini dibuka dengan surat seorang putri Puri Kesiman (Kerajaan Badung) kepada seorang wartawan harian De Locomotief (terbitan Semarang). Awal abad lalu, tatkala kolonialisme Belanda bercorak politik etis, De Locomotief termasuk koran progresif yang mendukung balas budi berupa peningkatan martabat inlanders melalui pendidikan.

Politik Etis sebenarnya punya sisi lain. Pada zaman itu, Batavia juga menaklukkan wilayah luar Jawa (disebut buitengewesten). Maka Aceh dicaplok, juga Tapanuli, Bone, dan Bali pada 1906. Untunglah fotografi sudah ada, sehingga ekspedisi militer itu terabadikan, yang kelak dikenal sebagai foto-foto keji Aceh. Di sini terlihat wajah bengis Politik Etis. Ternyata Belanda tidak hanya mendidik (kaum elite) pribumi, tapi juga melebarkan sayap imperialisme. Dengan sinis Iksaka menuturkan semua ini lewat wartawan Bastiaan de Wit, diselingi ejekan kepada kalangan militer yang maunya cuma pendekatan keamanan.

Maka tampak betapa jeli Iksaka mengamati sejarah. Ketika Aceh, Tapanuli, Bone, dan Bali baru ditaklukkan pada awal abad ke-20, apakah itu berarti Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun? Bukankah sampai abad ke-19 wilayah-wilayah itu masih merupakan kerajaan berdaulat? Inilah klise lain yang ditekankan oleh Semua untuk Hindia.

Sayangnya, pena Iksaka terpeleset ketika menulis bahwa Gubernur Jenderal Van Heutsz "fasis tulen" karena mengumbar nafsu ekspansionisnya. Di Italia, Benito Mussolini baru mendirikan partai fasisnya pada 1921, jadi pada 1906 itu masih terlalu dini untuk memberikan cap fasis kepada Van Heutsz.

Di balik kesalahan kecil tak berarti ini, Iksaka tetap tak tersaingi oleh penulis-penulis Belanda zaman sekarang. Sejak Eduard Douwes Dekker menulis riwayat Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar 154 tahun silam, makin sulit menemukan penulis Belanda yang menampilkan seorang inlander sebagai karakter utuh dalam karyanya.

Ada Hella S. Haasse, penulis Oeroeg. Tapi anak mandor perkebunan teh di Jawa Barat dalam novel itu melulu ditampilkan dalam bayangan anak majikannya yang Belanda tulen. Dalam Heren van de Thee, Haasse malah menulis tentang para juragan teh, tanpa satu pun inlander (baca: buruh teh) yang berarti. Sebagai bangsa terjajah, kita memang cuma figuran dalam karya sastra Belanda. Inilah kelebihan Iksaka dengan tokoh-tokoh Belandanya.

Menggubah fiksi sejarah adalah menulis sejarah tingkat lanjutan, bahkan, kalau berhasil, tingkat tinggi. Pengarang fiksi semacam ini tidak hanya dituntut paham sejarah, tapi juga harus bisa menciptakan tokoh yang pas. Lebih dari itu, ia harus pandai-pandai menerjemahkan sejarah dalam kehidupan tokoh-tokohnya. Masalahnya bukan di mana letak sejarah dalam fiksi, melainkan bagaimana tokoh-tokoh fiktif itu bisa tampil meyakinkan dalam setting sejarah yang dipilih. Iksaka Banu sudah berhasil melakukannya. Selayaknya dia berlanjut dengan novel sejarah.

Joss Wibisono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus