Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Salah resep, salah siapa salah resep, salah siapa

Apoteker made budhi melakukan penelitian. 40% dokter di rsu sanglah & wangaya, bali, salah menulis resep. mata kuliah farmakologi kerap tak sesuai dengan kenyataan. pemasaran obat baru makin agresif.

22 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENPASAR heboh. Para dokter di Rumah Sakit Pendidikan RS Umum Sanglah dan RS Umum Wangaya berang. Pekan lalu muncul berita, 40% dokter di kedua rumah sakit Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu telah salah dalam menuliskan resep. Kesimpulan ini berasal dari hasil penelitian apoteker Drs. Made Budhi. dari universitas yang sama. Pertengkaran meletup dan masalah ini pun naik ke tingkat rektoriat. Awal pekan ini, Rektor memanggil Kepala Pusat Penelitian Universitas Udayana, juga kelompok apoteker yang melakukan penelitian. Ternyata, ada salah pengertian yang kemudian dapat diluruskan. Semua pihak yang bersengketa, katanya, bisa menerima penjelasan Rektor. Toh suasana panas tak segera reda. "Saya sama sekali tidak menyimpulkan begitu," kata Made Budhi emosional, kepada Djoko Daryanto dari TEMPO. Para dokter, sementara itu, juga masih terlihat kesal. "Penelitian itu cari sensasi saja," kata dr. I G.N. Alit Bagiarta. Wakil Direktur RS Umum Sanglah. "Saya dengar penelitian itu punya tujuan pendidikan," kata dr. I G.A. Gde Oka, M.P.H., Direktur RS Umum Sanglah, yang juga staf pengajar FK Universitas Udayana. "Tapi mengapa diseminarkan secara terbuka." Penelitian yang dilakukan Budhi tentang penulisan resep bukanlah sebuah penelitian besar. Hanya semacam uji petik yang terbatas di lingkungan fakultas. Materinya: 3.556 resep yang masuk ke dua rumah sakit pendidikan, sejak Desember tahun lalu sampai Juli tahun ini. Resep-resep ini dibuat terutama oleh para dokter baru, yang sedang menjalani latihan. "Tapi ada juga yang senior atau berstatus asisten," kata Budhi. Hasilnya menunjukkan, 31,58% resep di RS Umum Sanglah, dan 40% resep di RS Wangaya, mengandung kesalahan. Kesalahan penulisan resep itu meliputi: salah menyingkat nama obat, salah menyebutkan nama obat, dan salah menuliskan jumlah. "Tapi tidak berarti masyarakat kemudian menerima obat yang salah," kata Budhi. Menurut apoteker ini, apotek wajib menelepon dokter, bila menemukan kejanggalan pada resep. Biasanya, kesalahan itu kemudian diperbaiki. "Karena itu, masyarakat tidak perlu resah." Lalu apa gunanya penelitian itu? "Yang ingin saya tunjukkan, ada kecenderungan menjadi ceroboh dalam penulisan resep," kata Budhi lagi. "Kalau ketahuan oleh apoteker tidak apa-apa, tapi kalau jadinya apoteker salah menafsirkan resep, kan bisa fatal?" Menjawab pertanyaan, ahli farmakologi FK Universitas Gadjah Mada, Dr. Budiono Santoso, berpendapat, kecerobohan menulis resep memang banyak terjadi. "Bukan cuma di Bali, saya kira di tempat lain juga banyak," katanya. Pangkalnya, menurut Budiono, terlalu banyaknya jenis dan merek obat yang beredar. Banyaknya jenis obat membuat mata kuliah farmakologi yang mengajarkan dasar-dasar pembuatan resep semakin lama semakin jauh dari kenyataan lapangan. Penambahan jumlah obat semakin sulit diikuti. Ahli farmakologi terkemuka Prof. Iwan Darmansjah sependapat dengan Budiono. Terlalu banyaknya merek dan jenis obat sangat membingungkan dokter. "Ini persoalan universal dan sudah berkali-kali diseminarkan WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia)," kata Iwan kepada Sri Pudyastuti dari TEMPO. Sekadar catatan, sekarang ada 12.606 merek obat terdaftar, yang diizinkan beredar di Indonesia. Bila dilihat lebih rinci, kebingungan dokter, menurut Iwan, diakibatkan antara lain karena agresifnya industri obat memasarkan produknya. Melalui penjaja obat, brosur dan penjelasan lisan, dipropagandakan berbagai keunggulan obat, lengkap dengan data-data penelitian. Tujuannya memang cuma menjual, "Tapi, dalam banyak hal dasar-dasar farmakologi yang diajarkan sering jadi terkacaukan," kata Iwan. Toh penelitian yang dilakukan oleh industri obat harus diakui bukan penelitian sembarangan. Namun, Iwan berpendapat, para doktcr juga tak bisa dibebaskan dari kesalahan. Peri laku dokter juga menentukan. Riuhnya lalu lintas obat dalam pelayanan kesehatan seharusnya bisa disiasati. Perangkatnya banyak, dan sebagian sudah diberikan dalam pendidikan ilmu kedokteran. Farmakologi, menurut Iwan, hanya satu bagian dari ilmu obat yang bisa digunakan untuk menilai obat apa pun. Setelah itu dalam pelajaran ilmu kedokteran, seorang calon dokter masih mendapat farmakologi klinis. Dalam latihan yang diberikan di tingkat-tingkat akhir ini, calon dokter diajar bagaimana menentukan obat yang tepat. "Sesudah menjadi dokter, informasi tentang obat baru juga tidak sedikit, asal mau membaca," kata Iwan lagi. Paling tidak dua kali setahun Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia menerbitkan ISO (Informasi Spesialite Obat -- Indonesia), indeks obat yang bisa digunakan untuk menevaluasi semua obat baru, isinya, dan manfaatnya. "Perkembangan farmakologi memang lebih cepat dibandingkan dengan ilmu kedokteran," kata seorang ahli farmakologi di Bandulig yang tak mau disebutkan namanya. Soalnya, perkembangan obat berada di jalur industri yang "ganas". Obat diproduksi bukan hanya demi kemajuan farmakologi, tapi juga untuk keuntungan. Ini memang tantangan berat bagi dokter. Risikonya, dokter kebingungan karena, sebelum menentukan obat yang baik dan tepat, masih harus memilah-milah, mana yang berguna dan mana yang tidak berguna. "Banyak dokter ternyata gagal menghadapi tantangan ini," kata farmakolog yang mendapat gelar doktornya di Jerman Barat itu. Bila dokter gagal menyiasati rayuan obat, maka obatlah yang ganti "melahap" dokter. Ini pendapat farmakolog Dr. Goeswin Agoes. "Kesalahan dalam menulis resep sangat mungkin akibat keadaan ini," ujar pengajar farmakologi pada Jurusan Farmasi, Fakultas Matematik dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB itu. Menurut Goeswin, banyak kejadian menunjukkan, karena kurang sabar, dokter tidak bisa memastikan penyakit apa yang diderita pasiennya. Diagnosanya: ada empat kemungkinan penyakit. Menghadapi keadaan ini, dokter kemudian menuliskan resep untuk keempat penyakit itu. "Masa salah satunya nggak mengena," tutur Goeswin. Menuliskan resep empat macam obat, secara teoretis, sangat mungkin melahirkan kecerobohan. Lebih dari itu, sering terjadi duplikasi. Dua obat yang diberikan, ternyata, mengandung zat aktif yang sama. "Ini berbahaya karena bisa terjadi overdosis," kata Goeswin. "Dokter yang jago akan menulis satu saja obat yang spesifik." Bila semua merek obat mau dihafal, sering semua jenis obat jadinya malah hilang dari pikiran, atau tercampur-campur. Lagi pula "Dosis obat yang prefabricated ini dibuat rata-rata, sementara obat idealnya diberikan secara individual." Menentukan takaran individual dari obat yang ukurannya rata-rata, menurut Goeswin, bisa mengakibatkan salah menulis resep. Di samping dokter, apotek juga direpotkan oleh "ledakan" merek obat yang 12.000 lebih itu. Apotek tidak terhindar dari serbuan ini. Menurut Nurhidayati, apoteker pada Apotek Kentungan, Yogyakarta, peredaran obat tidak selalu sama dengan indeks obat resmi. Ada obat yang hilang timbul peredarannya. "Kami jadi repot ketika menerima resep, yang obatnya sudah lama tidak diproduksi," katanya. Dan tak jelas apakah obat-obat baru juga akan digunakan dokter atau tidak. "Terus terang kami tidak berani membelinya, sebelum dokter menuliskan resep obat baru itu," kata Dra. Tjuk Abdulah Baso, apoteker pada Apotek Cilandak, Jakarta. Mengapa? "Banyak obat baru ternyata tak pernah diorder dokter, sampai kedaluwarsa." Apotek Cilandak, yang menyediakan 100.000 judul obat, toh tidak juga komplet. Kalau mau lengkap, kata Tjuk, perlu modal ratusan juta. Semua farmakolog yang diwawancarai berpendapat, jenis dan merek obat memang telah menjadi sangat besar tanpa kita sadari. Pemberian izin peredaran di masa lalu terlalu mudah. Padahal, ledakan jenis dan merek ini menyulitkan Departemen Kesehatan untuk melakukan pengawasan. "Justru karena itu, Menteri Kesehatan sekarang ini menyiapkan aturan untuk menciutkan jenis dan merek obat," kata Prof. Iwan Darmansjah. "Yang tidak berguna akan dibuang dari pasar." Jim Supangkat (Jakarta), Djoko Daryonto (Denpasar), Slamet Subagyo (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus