Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Nase dalam bahasa Mudara berarti nasi. Dan Jamila tak lain dari nama seorang ibu yang berjualan nasi campur ala Pamekasan ini sejak 1953. Meski Jamila kini tidak ada lagi, namun namanya tetap dipakai untuk menu sarapan yang bisa ditemukan di Pamekasan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usaha berjualan nasi campur pun diteruskan oleh menantunya, Sutri yang memang dari dulu kerap membantu mertuanya. Kini hampir seperempat abad lamanya Sutri berjualan di Jalan Agus Salim no 46, Pamekasan. Ia membuka kedainya sejak pukul 05.00, dan sekitar pukul 09.00 pun umumnya dagangannya sudah habis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang memang berbelanja untuk sarapan jadi lah pukul 05.00-06.00 pun sudah berdatangan. Setiap harinya, ia menghabiskan sekitar 10 kilogram beras.
Pedagang Nase Jamila, telah membuat pesanan nasi campur khas Pemekasan. Pilihan lauk untuk sarapan begitu berlimpah. TEMPO/Rully Kesuma
Teman nasi tersedia dalam wadah-wadah yang ada di depan Sutri. “Tergantung orang maunya apa,” ujar ibu empat anak. Bagi yang baru pertama kali sarapan di tempat ini seperti saya, dijamin kebingungan.
Maklum hidangan begitu berlimpah dan semuanya menggoda. Terutama yang bermandikan kuah kental dengan rasa pedas, seperti kalio daging. Selain itu ada otak goreng, limpa goreng, pepes tongkol, semur ati sapi, telur rebus, perkedel, paru dan hati goreng, juga sambal terasi. Harga tergantung pilihan menu, dengan tiga jenis lauk, harganya berkisar Rp 25 ribu.
Bumbunya begitu kental, membuat sarapan lezat yang mengenyangkan untuk memulai hari. Kebanyakan pembeli membawanya pulang, tapi ada juga yang makan di tempat, karena di samping Sutri ditata kursi-kursi lengkap dengan meja.
RITA NARISWARI