Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Sebutir Kepala untuk Kemajuan Ilmu

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persoalannya mungkin sesederhana ini: ia berutang budi, lalu membayarnya dengan kepala. Dulu, pada 1998, anaknya yang bungsu menderita kanker otak. Anak remaja yang kala itu berusia 13 tahun itu menderita berat. Mula-mula penglihatannya kabur, kemudian pendengaran berkurang, langkahnya melayang, kejang-kejang, bahkan lalu sempat koma beberapa hari. Hati Memed, sebut saja begitu panggilannya, seperti diiris, tapi tak kuasa meringankan penderitaan Indra, si bungsu. Dalam keterjepitan yang pengap ini, muncullah tim dokter yang mengulurkan tangan dinginnya. Enam kali mereka mengoperasi si anak sonder bayar, satu upaya panjang makan waktu, menyedot energi, yang ternyata berujung sebuah happy end. Indra, yang dulu menderita, sekarang hidup normal seperti anak seusianya, dan duduk di kelas tiga sebuah SMU di Jakarta. Memed tentu berutang budi pada tim dokter itu, tapi keputusannya menjadi donor kepala benar-benar sebuah sejarah baru. Tim dokter itu pun mulanya sukar percaya. Dr. Eka Julianta Wahjoepramono, pimpinan Asia Conference Neurological Surgeons, perkumpulan bedah saraf se-Asia, berulang-ulang menawarkan: keputusan membatalkan rencana itu masih terbuka. Tapi Memed, yang bekerja sebagai staf administrasi kemahasiswaan di Universitas Trisakti, Jakarta, itu tidak beringsut. Itulah kesediaan yang bermuara pada hal yang bermanfaat buat perkembangan bedah otak di Indonesia, tapi meninggalkan secarik kesan tidak biasa. Ia telah sepakat: beberapa jam setelah kematian memisahkan nyawa dari raganya kelak, kepala Memed akan cepat diceraikan dari badannya. Kepala itu akan dijadikan preparat buat mengasah kemampuan para dokter bedah otak kita. "Tekad saya sudah bulat, keluarga pun sudah setuju," kata Memed tegas. Para dokter menyerah dan menyambut anugerah yang datang sekonyong-konyong ini. Terus terang saja, para dokter saraf di negeri ini memang membutuhkan banyak kepala segar untuk mengasah kemampuan mengoperasi otak manusia. Kesulitan memperoleh preparat kepala buat latihan ini mengemuka dalam lokakarya se-Asia yang bertajuk "Teknik Operasi Dasar Tengkorak", di Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Tangerang, Januari lalu. Karena tiadanya pasokan kepala segar dari dalam, mereka mesti mengimpor dua kepala dari Florida, Amerika Serikat. Keduanya berharga US$ 15 ribu, itu pun masih ditambah kutipan di Bandara Sukarno-Hatta. Karena kepala itu dianggap barang impor, mereka harus mengeluarkan ekstra Rp 5 juta. Tapi Indonesia memang tak berpengalaman menghadapi kepala lokal. Tak ada landasan hukum menggarisbawahi legalitas donor kepala. Tapi Eka dan para koleganya telah bersepakat menerimanya. Siapa tahu, kata mereka, seiring dengan perjalanan sang waktu, landasan hukum donor kepala bisa disusun. Untuk latihan, para mahasiswa dan dokter Indonesia menggunakan mayat-mayat yang tak diklaim, tak diambil anggota keluarganya. Padahal mayat seperti ini sudah bersemayam 2 x 24 jam di kamar mayat, dan kepalanya sudah dibalur formalin. Tentu kondisi seperti ini jauh dari ideal—bila dibedah, otak mereka sudah kaku dan pembuluh darahnya tidak bisa diwarnai dengan warna sesungguhnya. Seperti diketahui, simulasi yang menyerupai keadaan sesungguhnya sangat dibutuhkan, dan kondisi mendekati situasi nyata bisa didapat pada jasad yang baru dinyatakan mati, yakni tidak lebih dari delapan jam setelah dokter menyatakan kematiannya. Kemampuan melakukan bedah otak bukan persoalan teoretis belaka. Ada sejumlah penyakit yang bercokol di otak yang hanya akan angkat kaki melalui pembedahan. Ada pelbagai kelainan pembuluh darah otak, termasuk kelainan aneurisma, yang menampakkan pembuluh menggelembung seperti balon. Atau kelainan bawaan seperti sindrom cruozon, dengan bentuk kepala sama sekali tidak bulat (peot). Di sinilah kepiawaian memotong dan mengebor tengkorak kepala tanpa mencederai saraf dan otak, serta kemampuan menjangkau sumber penyakit, jadi sesuatu yang tak bisa ditawar. Pada organ sepenting dan sesentral otak, satu kesalahan kecil akan berakibat fatal: cacat, bahkan mungkin mati. DW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus